Sabtu, 05 Mei 2012

Materi Ilmu Gizi - AKG

| Sabtu, 05 Mei 2012 | 1 komentar

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kelapangan dan kemudahan sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Makalah dengan judul "Angka Kecukupan Gizi ( AKG ) & Masalah – Masalah Gizi Yang Dihadapi Masyarakat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Mata kuliah Ilmu Gizi.
Dalam penyusunan Makalah ini tentu tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat.
Penyusun menyadari dengan sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, untuk itu kritik dan saran yang konstruktif dari rekan-rekan pembaca sangat penyusun harapkan.
Akhir kata, semoga Makalah ini bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca. Dan semoga kesemuanya ini tercatat sebagai amal ibadah di sisi-Nya. Amin.
Pancor,   Oktober 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang.
Masalah gizi tidak terlepas dari masalah makanan karena masalah gizi timbul sebagai akibat kekurangan atau kelebihan kandungan zat gizi dalam makanan. Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang melebihi kecukupan gizi menimbulkan masalah gizi lebih yang terutama terjadi di kalangan masyarakat perkotaan. Dilain pihak empat masalah gizi kurang seperti gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), anemia gizi besi (AGB), kurang viatmin A(KVA), kurang energi protein (KEP) masih tetap merupakan gangguan khususnya di pedesaan.
Dengan meningkatnya taraf hidup sebagian masyarakat yang tinggal baik di perkotaan maupun di pedesaan akan memberikan perubahan pada gaya hidup. Pemilihan makanan yang cenderung menyukai makanan siap santap dimana kandungan gizinya tidak seimbang. Rata-rata makanan jenis ini mengandung lemak dan garam tinggi, tetapi kandungan serat yang rendah. Disamping itu masih banyak masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan dimana pemenuhan kebutuhan makanan kurang sehingga timbul masalah gizi kurang. Jadi masalah gizi yang timbul, baik masalah gizi kurang maupun masalah gizi lebih sebenarnya disebabkan oleh perilaku makan seseorang yang salah yaitu tidak adanya keseimbangan antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizinya.
Ada pergeseran konsep standar gizi yang digunakan pada masa lalu dan masa kini. Pada masa lalu hanya dibuat satu standar gizi, yaitu angka kecukupan gizi yang dianjurkan (recommended dietary allowances, RDA) untuk keperluan berbagai tujuan. Pada masa kini standar gizi dibuat tidak tunggal lagi, tergantung tujuan penggunaannya, yaitu kebutuhan rata-rata (estimated average requirement, EAR), asupan gizi yang cukup (Adequate Intake, AI), kecukupan gizi (recommended dietary allowances, RDA), dan batas atas asupan (Tolerable Upper Intake Level, UL). Untuk keperluan di Indonesia hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 menetapkan tiga standar gizi, yaitu angka kecukupan gizi (AKG), batas atas asupan (UL), dan acuan label gizi (ALG).
1.2        Rumusan Masalah
2. Apakah yang dimaksud dengan Angka Kecukupan Gizi ?
3. Apakah kegunaan Angka Kecukupan Gizi ?
4. Apa sajakah factor yang mempengaruhi Angka Kecukupan Gizi ?
1.3        Tujuan
a. Tujuan Umum.
Agar mahasiswa dan pembaca mengerti tentang pentingnya angka kecukupan gizi (AKG) & Masalah-masalah gizi yang sering dihadapi masyarakat
b. Tujuan Khusus.
§ Menjelaskan pengertian Angka Kecukupan Gizi ( AKG )
§ Menjabarkan Konsumsi Pangan dan Kecukupan Gizi  
§ Menjelaskan kegunaan angka kecukupan gizi
§ Menyebutkan factor yang mempengaruhi kecukupan gizi  
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut Prof Soekirman Ph.D., Guru Besar Ilmu Gizi IPB Bogor, Masalah Gizi  adalah Gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang, kelompok orang atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidak seimbangan antara asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit (infeksi).
Ketidak seimbangan atau gangguan dari masalah gizi bisa karena kekurangan asupan bisa juga karena kelebihan asupan. Dari berbagai penelitian dan pemantauan pada konsumsi gizi masyarakat, ketidak seimbangan atau  gangguan  yang  muncul  dapat mengakibatkan :
1.     Menurunnya pertahanan tubuh terhadap penyakit (imunitas) yang berdampak pada tingginya angka penyakit infeksi dan kematian bayi dan balita
2.     Gangguan pertumbuhan fisik pada siklus kehidupan manusia sejak janin, bayi baru lahir,balita yang dapat berdampak sampai dewasa
3.     Gangguan perkembangan otak pada janin, bayi dan balita yang berdampak pada kecerdasan pada usia sekolah
4.     Rendahnya produktifitas kerja
5.     dan Gangguan-gangguan gizi dan kesehatan lainnya
3.2  Jenis Masalah Gizi
Jenis masalah gizi didasarkan pada ketidak seimbangan asupan makanan terhadap kebutuhan tubuh, yaitu yang pertama adalah ketidak seimbangan  karena kekurangan asupan dari kebutuhan tubuh dan yang kedua adalah ketidak seimbangan karena kelebihan asupan dari kebutuhan tubuh akan zat-zat (gizi) yang terdapat dalam makanan
Jenis masalah gizi yang pertama adalah ketidak seimbangan karena kekurangan asupan makanan dari kebutuhan tubuh  biasa disebut  dengan gizi yang kurang atau yang lazim disebut dengan “gizi kurang” atau biasa juga diistilahkan dengan  “kelaparan”, baik yang kentara maupun tidak kentara.  Gizi kurang juga  dibedakan  atas kekurangan komponen-komponen gizinya yaitu “gizi kurang makro” dan “gizi kurang mikro”. Gizi kurang makro dikenal dengan “kurang energy protein”. Sedang gizi kurang mikro yang banyak ditemukan atau menjadi masalah adalah Kurang Zat Yodium, Kurang Zat Besi, Kurang Vitamin A, Kurang Zat Zeng, Kurang Asam Folat, Kurang Vitamin B12 dan lain-lain.
Jenis masalah gizi yang kedua adalah ketidak seimbangan karena kelebihan asupan dari kebutuhan tubuh, dikenal dengan istilah “gizi lebih”, contohnya kegemukan dan penyakit Degeneratif. Gizi lebih ini lebih dikenal dengan “lebih Karbohirat” atau banyak makan dan juga “lebih lemak” atau banyak makan lemak/minyak masakan. Kesemuanya dikenal dengan istilah “energy Lebih”. Contoh penyakit gizinya, bila kelebihan Karbohidrat maka dalam darah akan kelebihan glukosa, bila glukosa ini sempat diproses menjadi glikogen maka seseorang akan terlihat Kegemukan, bila glukosa tidak sempat diproses menjadi glikogen alias glukosa darah tetap tinggi maka seseorang akan menderita penyakit gula, akan lebih parah lagi bila seseorang telah mengalami proses degeneratif. Ini terjadi juga pada keadan gizi lebih karena “lebih lemak” atau banyak makan lemak/minyak masakan, lemak yang dimakan akan tertimbun pada pembulu darah dan ini akan menimbulkan penyakit jantung, penyakit darah tinggi dan akibat-akibat lainnya.
3.3  Pengertian Angka kecukupan gizi (AKG)
Angka kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis, seperti kehamilan dan menyusui. Konsep kecukupan energi kelompok penduduk adalah nilai rata-rata kebutuhan, sedangkan pada kecukupan protein dan zat gizi lain adalah nilai rata-rata kebutuhan ditambah dengan 2 kali simpangan baku(2 SD).
3.4  Kegunaan Angka Kecukupan Gizi
Kegunaan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan adalah sebagai berikut.
1.  Untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi, makanan bagi penduduk/golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survei gizi/makanan;
2. Untuk merencanakan pemberian makanan tambahan balita maupun untuk perencanaan institusi;
3.   Untuk merencanakan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional;
4.   Untuk patokan label gizi makanan yang dikemas apabila perbandingan dengan angka kecukupan gizi diperlukan;
5.  Untuk bahan pendidikan gizi.
3.5  Faktor Yang Mempengaruhi Kecukupan Gizi
Di samping kegunaan kecukupan gizi tersebut yang mempunyai beberapa keterbatasan. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.
1. Tahap pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
2. Ukuran dan komposisi tubuh.
3. Jenis kelamin.
4. Keadaan kesehatan tubuh.
5. Keadaan fisiologis tubuh.
6. Kegiatan fisik.
7. Lingkungan.
8. Mutu makanan.
9. Gaya hidup.
Angka kecukupan gizi yang sudah ditetapkan untuk orang Indonesia meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, vitamin C, tiamin, riboflavin, niacin, piridoksin, vitamin B12, asam folat, kalsium, fosfor, magnesium, besi, seng, iodium, mangan, selenium, dan fluor. Angka kecukupan energi tingkat nasional yang pada taraf konsumsi 2000 kkal dan taraf persediaan 2200 kkal. Sedangkan angka kecukupan protein tingkat nasional pada taraf konsumsi 52 gram dan taraf persediaan 57 gram. Kecukupan gizi untuk pelabelan produk makanan yang dikemas disebut dengan acuan label gizi (ALG).
3.6  Prinsip Menyusun Menu Seimbang
1.  Bahan makanan mempunyai tiga fungsi bagi seseorang, yaitu fungsi biologi, psikologi dan sosial.
2.  Makanan dapat dikelompokkan menurut slogan empat sehat lima sempurna menjadi lima golongan, yaitu makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, buah dan susu
3.  Pemilihan bahan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : keadaan psikologi, pendidikan, pendapatan, sosial budaya dan geografi
4. Dalam memilih bahan makanan perlu memperhatikan jenis dan tanda kerusakan bahan makanan serta ciri-ciri bahan makanan yang baik
5. Pengertian menu seimbang adalah susunan hidangan beberapa macam makanan yang mengandung energi dan zat gizi secara cukup, baik jenis maupun jumlahnya.
6. Manfaat yang diperoleh dari menyusun menu seimbang adalah kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi; dapat memilih bahan makanan yang baik, dan sesuai dengan keadaan sosial, ekonomi dan budaya; mengurangi kehilangan zat gizi selama penyiapan makanan; serta mengurangi kebosanan akan menu makanan
7. Dalam merencanakan menu seimbang perlu memperhatikn berbagai faktor, yaitu : kecukupan zat gizi, pemilihan bahan makanan yang baik dan sesuai , serta penyelenggaraan makanan
8. Proses yang harus dilakukan dalam menyusun menu adalah menentukan kecukupan gizi, menentukan hidangan, penentuan pemilihan bahan makanan, serta pengolahan bahan makanan
3.7  Cara Mengukur Angka Kecukupan Gizi
Angka Kecukupan Gizi (AKG) setiap individu akan berbeda sesuai dengankondisi masing-masing. Untuk mengukur AKG bagi orang dewasa secara cepat,kebutuhan kalori/energi dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
Jenis Kelamin
Angka Kecukupan Gizi ( AKG )
Ringan
Sedang
Berat
Laki – Laki
1,56 x BMR
1,76 x BMR
2,10 x BMR
Perempuan
1,55 x BMR
1,70 x BMR
2,00 x BMR
Prinsip untuk menentukan Angka Kecukupan Energi didasarkan pada pengeluaran energi dimana komponen Basal Metabolic Rate merupakan komponen utama. Nilai BMR ditentukan oleh berat dan susunan tubuh serta umur dan jenis kelamin. Secara sederhana nilai BMR dapat ditaksir dengan menggunakan rumus regresi linier sebagai berikut
Rumus untuk menaksir nilai BMR
Kelompok Umur ( Tahun )
BMR ( kkal/hari )
Laki - laki
Wanita
0 – 3
60,9 BB + 54
61,0 B + 51
3 – 10
22,7 BB + 495
22,5 B + 499
10 – 18 
17,5 BB + 651
12,2 B + 746
18 – 30
15,3 BB + 679
14,7 B + 496
30 – 60
11,6 BB + 879
8,7 B + 829
> 60
13,5 BB + 487
10,5 B + 596
Sumber : FAO/WHO/UNU, 1985 (dengan penyesuaian) (dikutip dari Widyakarya Pangan dan Gizi VI, 1998)
Keterangan :
BB = Berat Badan (dapat digunakan actual weight atau BB ideal/norma tergantung tujuan)
Dengan komposisi makanan sehari 60% dari sumber karbohidrat, 20% dari protein dan 20% dari lemak. Kecukupan protein yang dianjurkan adalah 0,8 gram/kgBB/hari. Konsumsi protein yang berlebih dapat membebani fungsi ginjal. Pada kondisi tertentu, seperti gizi buruk atau masa penyembuhan konsumsi protein dapat ditingkatkan antara 1,2-1,8 gram/kgBB/hari. Dianjurkan memenuhi kebutuhan protein dari protein nabati dan hewani dengan perbandingan 3:1. Widya Karya Pangan dan Gizi VI tahun 1998, menetapkan AKG bagi orang dewasa secara nasional berdasarkan kebutuhan energi/kalori dari protein, sebagai berikut:
Indikator Tingkat
Konsumsi Tingkat
Persediaan
Energi
2.150 K Kalori
2.500 K Kalori
Protein
46,2 gram
55 gram
(9 gram protein ikan, 6 gram protein hewani lain dan 40 gram protein nabati)
AKG diatas bila kita jabarkan menurut takaran konsumsi makanan sehari pada orang dewasa umur 20-59 tahun, yaitu: nasi/pengganti 4-5 piring, lauk hewani 3-4 potong, lauk nabati 2-4 potong, sayuran 1 ½ - 2 mangkok dan buah-buahan 2-3 potong. Dengan catatan dalam keadaan berat badan ideal.
3.8  Konsumsi Pangan dan Kecukupan Gizi  
 Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi  yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional  atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia  dalam keluarga dan masyarakat (Sedioetama 1996). Konsumsi pangan merupakan faktor  utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energy bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh  serta untuk  pertumbuhan (Harper et al.1986).
Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Harper et al. (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi (Sedioetama 1996), lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi  dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. 
Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal  akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun  yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut  akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada  perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian (Hardinsyah dan Martianto 1992). 
  Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi  kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok umur, jenis  kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian  zat gizi   yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis  kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi  (Hardinsyah dan  Tampubolon 2004).
 Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin,  ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi. Untuk  kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh,  status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Hardinsyah dan  Tampubolon 2004).
3.9  Susu sebagai Sumber Kalsium
 Susu sebagaimana bahan pangan hewani lainnya yang dikenal kaya dengan  kandungan gizi, tingkat konsumsinya semakin meningkat di seluruh  dunia. Menurut  Bruinsma (2003), antara tahun 1997/1998 hingga tahun 2030, konsumsi susu dan produk  olahannya di negara-negara berkembang  konsumsinya diperkirakan akan meningkat dari  45 kg menjadi 66 kg per kapita dan di negara-negara maju meningkat dari 212 kg  menjadi 221 kg per kapita. Selain susu, konsumsi pangan hewani lainnya juga akan  meningkat. Konsumsi daging setiap tahunnya di negara-negara berkembang akan  meningkat dari 25,5 kg menjadi 37 kg per kapita, sementara di negara-negara maju akan meningkat dari 88 kg menjadi 100 kg per kapita. Untuk telur, konsumsi akan meningkat  dari 6,9 kg menjadi 8,9 kg di negara-negara berkembang dan di negara-negara maju meningkat dari 13,5 kg menjadi 13,8 kg per kapita.
 Selain mengandung kalsium, susu juga mengandung hampir seluruh dari zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Pada pedoman gizi empat sehat lima sempurna  (4S5S), yang pertama kali dicetuskan oleh ”Bapak Gizi Indonesia” yaitu Prof. Poerwo  Sudarmo pada tahun 1950-an, susu dikategorikan sebagai bahan pangan yang dapat menyempurnakan (Depkes 2002). Konsumsi susu secara nyata memacu perbaikan minera tulang pada  wanita remaja. Wanita berusia 12 tahun yang mengonsumsi dua gelas susu dengan kadar lemak rendah setiap hari mempunyai peningkatan yang sangat besar pada kepadatan dan massa tulang, akan tetapi tidak menambah berat massa lemak dibandingkan dengan kelompok kontrol (Cadogan  et al. 1997). Susu mempunyai peranan penting untuk mencegah osteoporosis. Susu adalah sumber kalsium dan fosfor yang sangat penting  untuk pembentukan tulang (Khomsan 2004). Menurut Wattiaux (2005), kalsium dan fosfor dari susu lebih mudah dicerna, hal ini terutama dihubungkan dengan adanya kasein yang merupakan protein utama susu, yang dapat membantu meningkatkan daya serap kalsium.
Berbagai faktor, seperti genetik dan lingkungan (gizi dan aktivitas fisik) mempengaruhi kesehatan tulang dan risiko terhadap osteoporosis. Di antara  faktor gizi, kecukupan konsumsi kalsium adalah faktor yang penting pada seluruh tahap kehidupan. Usia muda adalah saat untuk memaksimalkan  kemampuan genetis dalam pencapaian massa puncak pertumbuhan tulang, dan usia lanjut adalah saat untuk memelihara massa tulang dan meminimalkan kehilangan massa tulang seiring dengan bertambahnya usia.
Selain kalsium terdapat zat gizi lain seperti protein, fosfor, magnesium, potasium, seng, vitamin A dan D yang juga membantu menjaga kesehatan tulang. Walaupun banyak para peneliti lebih menitikberatkan penelitiannya pada zat gizi tunggal,  akan tetapi fakta bahwa mengonsumsi zat gizi secara alami dari pangan yang kaya zat gizi seperti susu dan produk olahan lainnya dapat memperbaiki status mineral tulang dan membantu mengurangi risiko terjadinya osteoporosis (Heaney dan Whiting 2004).
Wanita yang mengonsumsi sedikit susu pada masa anak-anak dan remaja  mempunyai massa tulang yang berisiko tinggi tehadap kerapuhan saat dewasa. Wanita  berumur 20 – 49 tahun,  yang sewaktu kecil mengonsumsi susu kurang dari satu gelas  sehari, mempunyai kandungan mineral tulang yang lebih rendah dibandingkan dengan  wanita yang mengonsumsi susu lebih dari satu gelas sehari (Kalkwarf et al. 2003). Hasil  penelitian Du  (2002), juga menemukan bahwa remaja wanita yang mengonsumsi susu  mempunyai kepadatan tulang yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak atau  hanya sedikit mengonsumsi susu.
Wanita usia remaja yang meningkatkan asupan kalsium untuk memenuhi  kecukupan yang dianjurkan dengan mengonsumsi lebih banyak susu, keju dan yogurt  pada menu makanan mereka, memperlihatkan peningkatan kepadatan tulang  dibandingkan dengan wanita yang hanya mengonsumsi makanan secara normal.
Peningkatan asupan susu atau produk olahannya juga ternyata tidak berhubungan dengan peningkatan lemak tubuh (Chan et al. 1995).
3.10    Kalsium dan Kepadatan Tulang
Kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan kerangka tubuh. Selama pertumbuhan dan pematangan kerangka, yaitu hingga usia awal dua puluhan pada manusia, kalsium berkumpul di kerangka dengan rataan 150 mg per hari. Selama masa pematangan, tubuh dapat menjadi berlebihan atau kekurangan dalam keseimbangan kalsium. Mulai usia sekitar 50 an pada pria dan saat menopause pada wanita, keseimbangan tulang menjadi negatif dan kehilangan tulang dari seluruh tempat kerangka. Kehilangan tulang ini dihubungkan dengan makin meningkatnya kejadian patah tulang, khususnya pada wanita. Kecukupan asupan kalsium adalah sangat penting
untuk mencapai massa tulang puncak optimal dan mengurangi laju kehilangan tulang karena bertambahnya usia (National Institute of Health 1994). Suatu keseimbangan kalsium positif dibutuhkan sebelum pertumbuhan tulang terjadi. Asupan kalsium dan pembentukan tulang menentukan keseimbangan kalsium selama pertumbuhan.
Pada umumnya kalsium tersimpan di dalam kerangka tulang (Eastwood  2003). Asupan kalsium mempengaruhi pencapaian massa tulang puncak dan juga zat ini dengan baik mampu untuk mempertahankan kalsium kerangka sepanjang kehidupan.
Kalsium adalah zat gizi yang penting, yang melibatkan sangat banyak proses metabolis dan memberikan kekuatan mekanis pada tulang dan gigi. Homeostatis kalsium negatif  disebabkan oleh kurangnya asupan makanan, penyerapan yang lemah atau pengeluaran yang berlebihan yang mengakibatkan kehilangan kalsium dari tulang dan selanjutnya dapat meningkatkan kejadian patah tulang. Dalam hal ini terdapat data secara epidemiologis yang menunjukkan adanya hubungan positif antara asupan kaslium dan kepadatan tulang (Wimalawansa  2004).  
 Selain jumlah kalsium yang cukup dalam makanan yang dikonsumsi, penyerapan kalsium dari makanan tersebut juga merupakan faktor penting yang menentukan kalsium untuk membangun dan memelihara tulang. Dengan demikian, diperlukan identifikasi komponen pangan dan atau komposisi pangan fungsional yang secara positif dapat mempengaruhi penyerapan kalsium yang dapat menjamin bahwa bioavailabilitas kalsium dari bahan pangan dapat diharapkan dengan baik (Kennefick dan Cashman 2000). 
3.11    Vitamin D dan Kepadatan Tulang
 Vitamin secara umum merupakan senyawa organik yang selalu dibutuhkan tubuh
yang berfungsi untuk metabolisme sel secara normal, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh (Keith 1994). Salah satu  vitamin yang terkait dengan  pembentukan jaringan tulang adalah vitamin D. 
Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang fungsinya di dalam tubuh cukup unik karena mirip dengan fungsi hormon. Fungsi biologis utama dari vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor serum dalam kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk menyerap mineral-mineral tersebut dari makanan. Sumber utama vitamin D terutama diperoleh dari susu serta berbagai produk olahannya (Muhilal dan Sulaeman 2004). 
  Status vitamin D yang rendah banyak terjadi pada lansia yang kurang terkena sinar matahari dan vitamin D plasma yang rendah, dihubungkan dengan peningkatan risiko patah tulang panggul ( Lips 2001). Suatu penelitian di Boston menunjukkan bahwa keragaman kepadatan tulang  terkait dengan perubahan musim, yang dihubungkan dengan pemaparan dengan sinar matahari dan status vitamin D (Krall dan Dawson-Hughes,1999).
3.12    Vitamin C dan Kepadatan Tulang
Selain vitamin D, vitamin C juga cukup mempunyai peranan dalam pembentukan tulang. Fungsi vitamin C antara lain adalah sebagai antioksidan yang larut dalam air dan juga berperan dalam berbagai reaksi hidroksilasi yang dibutuhkan untuk sintesis kolagen, karnitin dan seronin. Dengan demikian vitamin C bermanfaat untuk meningkatkan aktivitas tubuh (Keith 1994). Selain itu, fungsi vitamin C pada tubuh juga sebagai anti radang gusi (scurvy), antioksidan, pertahanan tubuh dan penyembuhan luka. Sumber utama dapat diperoleh dari buah dan sayuran segar (Setiawan dan Rahayu 2004).
Pada proses pembentukan tulang, vitamin C berfungsi untuk stabilitas kolagen dan pembentukan tulang. Defisiensi vitamin C dihubungkan dengan terganggunya hubungan antar jaringan tubuh (Peterkofsky 1991). Serum asam askorbat (vitamin C) pada pria berhubungan nyata dengan kepadatan tulang . Pada wanita pasca menopause dengan sejarah merokok dan penggunaan esterogen, peningkatan 1 standar deviasi (SD) kadar serum asam askorbat dapat dihubungkan dengan penurunan prevalensi patah tulang sebesar 45%. Akan tetapi, pada wanita dengan sejarah tidak merokok dan  tidak menggunakan esterogen, kadar serum asam askorbat tidak tampak berhubungan dengan rendahnya kepadatan tulang (Tucker 2003).
3.13    Fosfor dan Kepadatan Tulang
  Sebagai suatu bahan anorganik, jumlah fosfor dalam tubuh manusia terbanyak ke dua setelah kalsium, di mana 85% fosfor ini terikat dalam kerangka. Fosfor dapat diperoleh dari berbagai bahan pangan, seperti daging, unggas, ikan, telur, susu dan produk olahannya, kacang-kacangan, biji-bijian dan sayur-sayuran. Tujuan utama mengonsumsi fosfor adalah untuk menunjang pertumbuhan dan sebagai pengganti fosfor yang hilang dari tubuh. Konsumsi fosfor telah meningkat 10%  hingga 15% lebih dari 20 tahun terakhir karena peningkatan penggunaan garam fosfat sebagai bahan pangan tambahan (food additives) dan pada minuman berkarbonat (Ilich dan Kerstetter 2000).
Hal yang perlu dicatat adalah bahwa database zat gizi belum mencerminkan perubahan ini dan masih di bawah perkiraan asupan fosfor secara nyata (Calvo  dan Park 1996).
  Walaupun fosfor adalah zat gizi yang penting, perlu dipertimbangkan bahwa jumlah yang berlebihan dapat merusak tulang. Sebagai contoh, suatu  peningkatan konsumsi makanan yang mengandung fosfor akan meningkatkan konsentrasi fosfor serum, akan menghasilkan suatu penurunan sementara kalsium terionisasi dalam serum mengakibatkan peningkatan sekresi hormon paratiroid yang potensial menyerap tulang.
Fungsi utama hormon paratiroid adalah untuk mencegah hipokalsemia dengan meningkatkan penyerapan kalsium pada tulang. Hipotesis bahwa asupan fosfor yang berlebihan adalah berbahaya pada tulang telah dicobakan pada orang dewasa yang secara terkontrol mengonsumsi makanan yang mengandung 1660 mg fosfor dan 420 mg kalsium. Setelah 24 jam, makanan yang dikonsumsi menghasilkan peningkatan indeks aktivitas hormon paratiroid (Calvo et al. 1988).  Penelitian lain menenemukan bahwa konsumsi pangan yang banyak mengandung fosfor tinggi seperti minuman berkarbonat mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan bagi tubuh. Beberapa studi telah menunjukkan adanya penurunan massa tulang dan peningkatan kejadian patah  tulang akibat konsumsi minuman berkarbonat (Wyshak  et al.1989 ; Petridou et al. 1997.) Akan tetapi hasil penelitian Whitting et al. (2002) menunjukkan tidak terdapat hubungan nyata antara asupan fosfor dengan kepadatan tulang.
3.14    Protein dan Kepadatan Tulang
 Asupan protein harian  seseorang  seimbang dengan nitrogen yang dikeluarkan tubuh untuk menjaga keseimbangan energi pada tingkat aktivitas sedang.  Sumber utama protein adalah susu, ikan, telur, daging dan kacang-kacangan (Hardinsyah danTampubolon 2004).
  Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa asupan protein yang tinggi terkait  erat dengan keluarnya kalsium melalui urin. Hal ini karena adanya peningkatan muatan asam yang bertindak sebagai  buffer kalsium tulang, asupan protein yang lebih tinggi diperkirakan dapat dihubungkan dengan lebih rendahnya kepadatan tulang. Secara umum juga diasumsikan bahwa kandungan belerang yang relatif tinggi pada daging menyebabkan adanya muatan asam endogenus yang menyebabkan berkurangnya kepadatan tulang (Tucker 2003). Heaney (2001) menyatakan bahwa asam dari protein hewani tidak lebih tinggi daripada protein nabati. Sebastian  et al. (2001) menegaskan  bahwa produk asam bikarbonat  zat non-protein dari tumbuhan dapat menetralisir asam belerang , karena sumber protein tumbuhan lebih banyak dikonsumsi daripada sumber proten hewani. Suatu penelitian membuktikan bahwa asupan kalsium yang tinggi tidak dapat mencegah keseimbangan kalsium yang negatif dan berkurangnya kepadatan tulang
yang disebabkan asupan tinggi protein (Allen et al. 1979). Penelitian lain menunjukkan bahwa tidak terdapat keterkaitan yang nyata antara asupan protein dengan kepadatan tulang (Whitting et al. 2002)
 Pada umumnya penelitian yang memperlihatkan konsumsi protein yang tinggi berpengaruh negatif pada kepadatan tulang hanya dilakukan pada waktu yang singkat dan tidak dilakukan dalam waktu yang lebih lama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada masyarakat yang hidup bebas, kekurangan asupan protein berkontribusi pada keseimbangan kalsium yang negatif dan juga dihubungkan dengan peningkatan risiko patah tulang pada saat usia lanjut (Patterson et al. 1996 ; Bastow et al. 1983).
Penelitian yang dilakukan oleh  Iowa Women’s Health Study (Munger  et al. 1999) menunjukkan bahwa asupan protein hewani yang lebih tinggi sebesar 70% berhubungan dengan pengurangan  kejadian patah tulang panggul. Penelitian penggunaan suplementasi protein pada wanita lansia setelah kejadian patah tulang panggul, menunjukkan adanya pengaruh menguntungkan pada kepadatan tulang dan kekuatan tubuh.
Dari penelitian-penelitian ini menunjukan bahwa kekurangan protein, khususnya saat lansia, berkontribusi pada terjadinya osteoporosis.
3.15    Energi dan Kepadatan Tulang
 Peningkatan asupan energi dapat meningkatkan berat dan tinggi badan. Terdapat hubungan yang konsisten antara berat badan dan kepadatan tulang. Pengaruh  positif yang kuat yang terdapat pada berat badan dan kepadatan tulang diduga  disebabkan adanya tekanan dari berat badan pada kerangka tubuh (Felson  et al. 1993 ; Harris dan Dawson-Hughes. 1996).  Demikian juga, kehilangan berat badan 10% dapat menyebabkan menurunnya kepadatan tulang sebesar 1% hingga 2% (Compston  et al. 1992 ; Hyldstrup et al. 1993). Kondisi kehilangan berat badan yang lebih berat  karena kekurangan gizi dapat menimbulkan faktor risiko osteoporosis. Risiko ini juga dipengaruhi oleh banyak faktor seperti rendahnya asupan gizi makro (termasuk protein) dan mikro (termasuk kalsium, vitamin D, vitamin K), yang dapat meningkatkan kecenderungan mudah jatuh karena lemahnya kekuatan otot dan berkurangnya  perlindungan lapisan lembut pada bagian panggul (Ilich dan Kerstetter 2000).
Berkurangnya kepadatan tulang (dari osteopenia hingga osteoporosis berat) dan meningkatkan kerapuhan ternyata berhubungan dengan kesalahan pola makan, khususnya pada penderita  anorexia nervosa (Power 1999). Kondisi ini tidak hanya terjadi pada wanita, tetapi juga dapat terjadi pada pria (Andersen  et al. 2000). Khusus pada kasus anorexia nervosa, peningkatan penyerapan tulang dan menurunnya pembentukan tulang menyebabkan kehilangan tulang dan kerusakan struktur tulang (Lennkh et al. 1999).
 Secara etiologi, kehilangan tulang dan demineralisasi pada  anorexia nervosa disebabkan oleh banyak faktor. Hal ini pada umumnya juga diakibatkan oleh  lamanya kejadian  amennorhea (dan yang masih ada hubungan dengannya), hipoestrogenemia, hiperkortisolemia, rendahnya indeks massa tubuh, rendahnya lemak dan massa tubuh, akibat sangat terbatasnya asupan zat gizi khususnya kalsium, vitamin D dan protein (Power 1999). Secara patologis, mudah patahnya tulang punggung dan  panggul  dapat terjadi   dalam waktu 7 hingga 15 tahun setelah terjadinya kesalahan pola makan. Hal yang paling penting untuk peningkatan kepadatan tulang dan mengurangi risiko osteoporosis pada penderita kesalahan pola pangan adalah dengan meningkatkan berat badan (Power 1999).
3.16    Zat Besi dan Kepadatan Tulang
 Zat besi merupakan zat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan menurunnya kemampuan untuk beraktivitas, kelelahan, dan muka pucat. Keberadaan zat besi besi dalam tubuh dapat dilihat dari keberadaan hemoglobin (Hb), ferritin dan transferin. Menurut Sauberlich (1999), pengukuran Hb, ferritin dan transferin selain mudah dilakukan, juga lebih dapat dipercaya untuk menggambarkan status besi dalam darah. Dari hasil penelitian yang dilakukan, terdapat hubungan antara massa tulang dengan ferritin dalam percobaan klinis selama empat tahun melalui  pemberian suplementasi kalsium pada wanita remaja. Terdapat suatu  kecenderungan  hubungan yang positif antara kepadatan tulang lengan bawah dan ferritin  serum awal.
Suatu kecenderungan yang sama terjadi antara kepadatan tulang tubuh total dan  kandungan ferritin serum selama empat tahun studi, tetapi hanya pada kelompok plasebo  (Ilich  et al. 1998). Studi-studi berikutnya sangat diperlukan untuk menjelaskan  kecenderungan tersebut, khususnya pada masyarakat yang menderita defisiensi zat besi  (Ilich dan Kerstetter 2000).
 Penyerapan zat besi dapat dihambat oleh asupan yang tinggi mineral lainnya dan  trace element, khususnya kalsium. Sejumlah studi telah menunjukkan adanya pengaruh hambatan dari kalsium pada zat besi dari berbagai suplemen (garam) atau bahan pangan  yang mengandung kalsium (Gleerup et al. 1995 ; Minihane dan Fairweather-Tait 1998).
Akan tetapi, apabila konsumsi kalsium yang terjadi terpisah dari  makanan yang  mengandung zat besi, pengaruhnya tidak jelas (Turnlund et al. 1990 ; Reddy dan Cook  1997). Terdapat catatan yang berlawanan, bahwa zat besi yang tinggi dapat menjadi  racun pada sel tulang dan berkontribusi pada terjadinya osteoporosis atau penyakit tulang  lainnya pada masyarakat yang metabolisme zat besinya buruk dan mengonsumsi zat besi  berlebihan (Schnitzler et al. 1994). Walaupun pada umumnya sarapan pagi dengan sereal  dan terigu telah difortifikasi dengan zat besi, akan tetapi bioavailabilitas dari bahan  tersebut rendah. Zat besi juga ditemukan pada sayur-sayuran berwarna hijau gelap  (dengan bioavailabilitas yang lebih rendah). Sumber zat besi yang  terbaik adalah dari  daging merah, khususnya hati dan organ daging lainnya (Ilich dan Kerstetter 2000).
BAB IV
PENUTUP
Menurut Prof Soekirman Ph.D., Guru Besar Ilmu Gizi IPB Bogor, Masalah Gizi  adalah Gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang, kelompok orang atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidak seimbangan antara asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit (infeksi).
Angka kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis, seperti kehamilan dan menyusui. Konsep kecukupan energi kelompok penduduk adalah nilai rata-rata kebutuhan, sedangkan pada kecukupan protein dan zat gizi lain adalah nilai rata-rata kebutuhan ditambah dengan 2 kali simpangan baku(2 SD).
Kegunaan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan adalah sebagai berikut.
1.  Untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi, makanan bagi penduduk/golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survei gizi/makanan;
2. Untuk merencanakan pemberian makanan tambahan balita maupun untuk perencanaan institusi;
3.   Untuk merencanakan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional;
4.   Untuk patokan label gizi makanan yang dikemas apabila perbandingan dengan angka kecukupan gizi diperlukan;
5.  Untuk bahan pendidikan gizi.
Faktor Yang Mempengaruhi Kecukupan Gizi
Di samping kegunaan kecukupan gizi tersebut yang mempunyai beberapa keterbatasan. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.
1. Tahap pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
2. Ukuran dan komposisi tubuh.
3. Jenis kelamin.
4. Keadaan kesehatan tubuh.
5. Keadaan fisiologis tubuh.
6. Kegiatan fisik.
7. Lingkungan.
8. Mutu makanan.
9. Gaya hidup.
DAFTAR PUSTAKA
1. Almatsier, S. ”Prinsip Dasar Ilmu Gizi”. Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama.     Jakarta : 2006.
2. Sediaoetama, Drs. Ahmad Djaeni. ”Ilmu Gizi”. Penerbit : Dian Rakyat. Jakarta : 2006.
3. Moehdi, S. ” Ilmu Gizi”. Penerbit : Papasinar Sinanti. Jakarta : 2002.
4. Kartasapoetra, Drs.G. ”Ilmu Gizi”. Penerbit : Rineka Cipta. Jakarta : 2003.
5. http//www.google.com//gizi buruk//2008.
6. http//www.google.co.id//journal tentang protein.// 2008.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Bab 2 tidak ada

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
© Copyright 2012. Makalah Cyber . All rights reserved | Makalah Cyber.blogspot.com is proudly powered by Blogger.com | Template by Makalah Cyber - Zoenk