1. Perobahan peradaban.
Ada satu ungkapan yang perlu disimak
bahwa "hampir setiap orang senantiasa mengamati dan mencermati perubahan
cepat peradaban dunia ini, tetapi hanya sedikit diantara mereka yang
memperhatikan perubahan pada dirinya sendiri". "Every body thing of the
world change, but they never mind of theirs own changes".
Berbicara
tentang Nasionalisme tentu tidak terlepas dengan hal ikhwal yang
berkaitan dengan jati diri bangsa itu sendiri. Faham tentang kebangsaan
secara ideologis akan mengikat komunitas suatu masyarakat yang membangsa
dan menegara dengan ciri-ciri dan identitas khas bangsa tersebut. Jati
diri ke-Indonesiaan itu harus dipertahankan sebagai nilai-nilai budaya
dan peradaban yang bersumber dari tanah air sendiri yang membuat bangsa
Indonesia tidak menjadi bangsa yang mudah terapung diatas gelombang arus
dan buihnya perubahan dunia.
Banyak pakar menilai bahwa
globalisasi itu adalah suatu proses yang misterius, bahkan teka-teki
yang dapat memancing diskusi berkepanjangan. Prof. George Lodge dari
Harvard Business School menilai "tidak satupun pakar didunia ini mampu
memprediksi arah globalisasi, kecuali ia utusan dari langit".
Bagaimana
tidak misterius bila suatu bangsa selalu mendapat kejutan peristiwa
yang berdampak luas baik dalam lingkungan lokal, regional maupun
internasional.
Mungkin kita terkejut beberapa waktu lalu para
buruh pabrik produk elektronik Sony di Jakarta mendadak terkena PHK dan
kemudian perusahaan itu hengkang (relokasi industrinya) ke luar
Indonesia. Di bagian lain sekian banyak karyawan PT. Indosat berdemo
karena sebagian besar saham Indosat dijual kepada Perusahaan Singapura.
Begitu pula soal pencabutan subsidi BBM, melonjaknya harga minyak mentah
dunia, mahalnya "power supply" listrik, dan lain-lain menjadi lebih
menyedihkan. Peristiwa aktual penyerangan AS dan Inggris ke Irak,
rencana "preemtive strike" Jepang kepada silo-silo rudal di Korea Utara,
membuat peristiwa demi peristiwa silih berganti dan mengejutkan dunia.
Semua itu adalah fenomena sosial maupun politik yang terus berubah, baik
di lingkungan dekat kita maupun yang jauh disana.
Fenomena
sosial yang mencuat yakni tumbuhnya sifat inter-koneksitas,
inter-dependensi antar bangsa dan sifat-sifat saling mempengaruhi kian
lama makin menguat. Tidak bisa dalam suatu peristiwa maupun tragedi
hanya dirasakan bangsa sendiri, paling tidak akan terjadi transparansi
dan dengan wahana multi media, maka tersebarlah peristiwa itu ke seluruh
pelosok dunia.
Dikatakan teka-teki karena sukar diprediksi. Berbagai
antisipasi yang dilakukan suatu bangsa menghadapi perkembangan politik,
ekonomi, budaya dan keamanan cenderung meleset. Isu sentral tentang Hak
Asasi Manusia (HAM), demokratisasi dan lingkungan hidup yang dulu
dipelopori oleh bangsa-bangsa barat/Eropa dengan menempatkan dirinya
seolah-olah sebagai negara maju, kampiun HAM dan demokrasi, ternyata di
awal abad 21 ini semuanya memudar dan diingkari sendiri. Contoh aktual
adalah serangan AS - Inggris dan sekutunya yang memerangi Irak, yang
cenderung tidak mengenal batas-batas perikemanusiaan.
Invasi AS dan
sekutunya ke Irak, sama sekali tidak berlandaskan hukum internasional
(ilegal) tidak mematuhi seruan PBB, tidak mendengar unjuk rasa dan
demonstrasi di berbagai belahan bumi ini, yang menentang agresinya ke
Irak. Sebagai pertanda bahwa adikuasa telah merasa "hyper power" yang
menerapkan hukum rimba dengan leluasa, tidak lagi memperhatikan dan
menghormati HAM dan menghancurkan negara berdaulat. Pada sisi lain
terjadi "ironi demokratisasi" sementara orang berpikir dan berharap
banyak tentang nuansa demokrasi yang serba sehat, bebas dan dijamin hak
asasinya, tetapi nyatanya tidak membuat masyarakat menjadi sejahtera dan
tenteram hidupnya.
Para pengamat politik mengartikulasikan
demokrasi, ada dua konotasi, pertama bahwa demokrasi sebagai suatu
sistem yang menjamin kebebasan lewat berbagai mekanisme politik, dan
kedua, demokrasi sebagai budaya politik yang berdasarkan pada kehidupan
plural (pluralisme) (Kompas, 01 April 2003). Demokrasi sebagai suatu
sistem kehidupan didalam masyarakat dijamin keleluasaannya untuk
mengekspresikan kepentingan. Pada kalimat terakhir itulah yang kemudian
berkembang bahwa kepentingan kelompok cenderung akan lebih besar
daripada kepentingan nasional. Demi kepentingan kelompok/partai, mereka
rela menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan untuk
memperbesar cengkeramannya pada upaya penguasaan bangsa. Pada
kenyataannya kepentingan rakyat dan kepentingan Nasional justru
diabaikan pada hal mereka itu adalah konstituen yang harusnya mendapat
perhatian dan kesejahteraan.
2. Dampak Globalisasi terhadap Kehidupan Bangsa Indonesia.
Dari
aspek ideologi, Pancasila yang merupakan "way of life" bangsa Indonesia
saat ini menghadapi tantangan serius, bukan saja orang enggan bicara
tentang Pancasila, tetapi justru nilai-nilai yang terkandung didalamnya
nyaris tidak lagi dihayati dan diamalkan. Mungkin hal ini adalah akibat
dan sikap traumatis dari pengalaman masa lalu, atau dapat pula karena
terlahir generasi baru yang telah menganggap bahwa Pancasila sudah tidak
bermakna lagi.
Distorsi pemahaman dan implementasi yang terjadi saat ini, dapat kita amati fenomenanya antara lain :
•
Terjadinya kemerosotan (dekadensi) moral, watak, mental dan
perilaku/ etika hidup bermasyarakat dan berbangsa terutama pada generasi
muda.
• Gaya hidup yang Hedonistik, materialistik konsumtif dan
cenderung melahirkan sifat ketamakan atau keserakahan, serta mengarah
pada sifat dan sikap individualistik.
• Timbulnya gejala politik yang berorientasi kepada kekuatan, kekuasaan dan kekerasan, sehingga hukum sulit ditegakkan.
•
Persepsi yang dangkal, wawasan yang sempit, beda pendapat yang
berujung bermusuhan, anti terhadap kritik serta sulit menerima perubahan
yang pada akhirnya cenderung anarkhis.
• Birokrasi pemerintahan
terlihat semakin arogan berlebihan, cenderung KKN dan sukar menempatkan
diri sebagai pelayan masyarakat. Pemberan-tasan korupsi yang berakar
pada birokrasi ini yang terasakan amat sulit karena telah membudaya.
Perkembangan
sistem politik di Indonesia menunjukkan tatanan yang makin amburadul,
walaupun orang berkilah karena dianggap masih masa transisi, sehingga
apapun yang terjadi di tengah masyarakat ini dianggap pula wajar. Tetapi
sebenarnya sistem politik kita cenderung mengarah kepada ketidak
serasian dan perpecahan bangsa. Pengertian kedaulatan di tangan rakyat
makin disalah artikan, sehingga tumbuh menjamurnya berbagai partai
politik yang pernah tercatat hingga lebih dari 100 partai akan
menyulitkan untuk melaksanakan Pemilu. Kepemimpinan nasional yang kurang
berwibawa dalam menghadapi masalah-masalah besar, ditambah pula kondisi
birokrasi pemerintahan yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme,
menjadikan keberadaan pemerintah menghadapi cercaan masyarakat. Dinilai
tidak mampu mengendalikan mekanisme kerja jajarannya dan mungkin pada
gilirannya nanti bisa menjadi "lumpuh". Budaya politik yang melahirkan
primordialisme sempit dan khususnya bagi partai yang berkuasa hanya
berorientasi pada kekuasaan dan pemaksaan kehendak, maka mereka tidak
pernah lagi memikirkan nasib rakyat secara keseluruhan. Selama lima
tahun berkuasa dapat diamati bahwa kemakmuran dan kesejahteraan hanya
ada pada partai yang berkuasa itu, sambil terus mengupayakan agar
bagaimana dapat memenangkan Pemilu berikutnya dan merebut kekuasaan
lagi.
Pada aspek ekonomi, boleh disoroti bahwa selama "era reformasi"
ini apakah pemerintah telah mampu meletakkan dasar-dasar dan landasan
pembangunan ekonomi yang kuat ? Dengan masih dirasakan terjadinya
fluktuasi moneter, tidak adanya tambahan investasi, kecilnya minat asing
untuk menanamkan modal di Indonesia dan belum bangkitnya sektor riil,
akan semakin mempersempit peluang kerja, meluasnya gejala PHK, tidak
tertampungnya angkatan kerja baru dan lengkap sudah kemiskinan,
pengangguran dan kebodohan menimpa rakyat kita.
Kecenderungan
akselerasi perekonomian global yang bebas menembus batas negara, melalui
banjirnya produk, jasa, dana dan informasi ke berbagai pelosok dunia,
menjadikan Indonesia hanya sebagai sasaran dan arena pemasaran.
Sementara produk dalam negeri mengalami kelesuan sulit menembus pasar di
luar negeri. Produk-produk luar negeri dengan kualitas yang baik dan
harga yang relatif murah, terus masuk dengan dilandasi komitmen "free
trade". Kondisi ekonomi yang melanda Indonesia saat ini juga disebabkan
oleh iklim politik, penegakan hukum, dan keamanan yang tidak menunjang.
Stabilitas nasional selalu terganggu, keamanan usaha tidak terlindungi,
akibatnya produktivitas anjlok.
Pada bagian lain, terutama aspek
sosial budaya dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama pada bidang komunikasi, transportasi dan informasi telah
merubah paradigma sosial begitu cepat, khususnya aspek budaya. Meluasnya
masyarakat majemuk yang sangat heterogen, baik dari segi suku, agama,
adat istiadat, kebiasaan dan perilakunya. Walaupun ada segi positifnya,
namun tidak sedikit akibat negatif yang ditimbulkan. Kecenderungan
pelanggaran hak asasi manusia, sulitnya orang mencari keadilan,
kriminalitas yang berkadar tinggi, serta kebringasan sosial yang
seringkali sulit dikendalikan semua itu menunjukkan bahwa kita belum
mampu mengendalikan perobahan tersebut. Perobahan sosial berikutnya
bahwa pluralitas tidak terfocus hanya pada aspek SARA, tetapi dimasa
yang akan datang kemajemukan itu ditandai dengan adanya sinergi dari
peran, fungsi dan profesionalisme individu atau kelompok. Sehingga
kontribusi profesi individu/kelompok itulah yang akan mendapat tempat
dimanapun mereka berprestasi.
Pembangunan pendidikan di semua
strata/level belum menghasilkan lulusan yang optimal baik dari segi
penguasaan ilmu dan keterampilan maupun budi pekerti mereka. Polemik
yang berkembang sekarang adalah soal anggaran pembangunan pendidikan
yang terlalu kecil. Minimnya sarana, prasarana dan degradasi kualitas
tenaga pengajar. Belum lagi perobahan kurikulum dan tentang
kesejahteraan guru atau dosen.
Di bidang keamanan, masih sangat
memprihatinkan. Sebagai "limbah" dari berbagai permasalahan hidup, maka
derajat kriminalitas sekarang ini sangat "menakutkan", mengganggu
ketentraman dan kenyamanan hidup bermasyarakat. Kasus-kasus kriminal
yang berkembang saat ini justru sudah tidak lagi memperhatikan hak asasi
manusia dan naluri kemanusiaan. Kejahatan yang dilakukan oleh manusia
sudah tidak seuai dengan harkat kemanusiaan itu sendiri.
3. Esensi Nasionalisme Indonesia yang harus Dipertahankan.
Sesungguhnya
nilai-nilai nasionalisme (faham tentang kebangsaan) itu bersumber dari
sosio-kultural bangsa dan bumi Indonesia. Sekalipun akan mengalami
interaksi dengan dunia luar dalam era globalisasi, tetapi hakekatnya
tidak boleh berubah. Seperti halnya nilai-nilai Pancasila sebagai esensi
pertama, secara intrinsik tidak akan berubah, apalagi hal itu memiliki
nilai-nilai mendasar dan sebagai "way of life" bangsa Indonesia, serta
sebagai dasar Negara Republik Indonesia akan tetap dapat dipertahankan.
Sekalipun saat ini mengalami pasang surut dan mungkin sedikit "memudar"
sifatnya tentu sementara.
Esensi kedua adalah UUD' 45 sebagai sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia, akan tetap menjadi kaidah utama.
Kita sadari dan di implementasi-kan bahwa untuk menata negara dan
masyarakat diperlukan berbagai undang-undang dan peraturan yang tentunya
harus bersumber pada Undang-Undang Dasar ini. Faham kebangsaan kita
menyadari dengan sepenuhnya, bahwa semua tata kehidupan bangsa, harus
telah tertuang dan teratur didalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar
tersebut. Hal ini sekaligus merupakan komitmen kita bersama dalam
mendirikan Negara Republik Indonesia.
Esensi ketiga adalah Rasa
cinta tanah air dan rela berkorban. Sebagai bangsa yang merdeka karena
perjuangan melawan penjajah dan telah mengorbankan jiwa raga beribu-ribu
pahlawan bangsa, maka rasa kebangsaan kita harus dilandasi oleh tekad
dan semangat terus berupaya mencintai tanah air Indonesia dengan segala
isi yang terkandung didalamnya sepanjang masa. Karena hanya dengan rasa
cinta tanah air, bangsa ini akan tetap utuh dan akan rela berkorban pula
bagi kejayaan bangsa dan Negaranya. Sekalipun "hujan emas" di negeri
orang tentu tidak seindah hidup di negeri sendiri, walaupun serba
menghadapi kesulitan dan kemiskinan.
Esensi keempat adalah rasa
persatuan dan kesatuan bangsa didalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini yang sekarang terkoyak-koyak dan nyaris menghadapi
disintegrasi. Pengaruh globalisasi sangat besar, eforia-reformasi, telah
membuat bangsa Indonesia hampir-hampir kehilangan arah dan tujuan. Ide
sparatisme dan upaya-upaya memisahkan diri dari NKRI oleh beberapa
daerah, adalah contoh nyata yang perlu kita cegah. Kalau ide tersebut
dibiarkan berkembang maka Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami
ancaman yang serius. Sudah tentu hal tersebut mengingkari akar
nilai-nilai persatuan dan kesatuan, yang telah dirintis oleh para
pendahulu Republik ini.
Esensi kelima tentang wawasan kebangsaan
yang bersumber dari wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional hendaknya
terus dapat melekat pada hati dan dihayati sepenuhnya oleh warga Negara
Indonesia, sehingga tertanam pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang
sarwa Nusantara, merangkul semua kepentingan dan mengarahkan pada
cita-cita dan tujuan pembangunan Nasional.
Yang terakhir adalah
disiplin nasional. Bangsa yang ingin maju dan mandiri harus memiliki
disiplin nasional yang tinggi. Nasionalisme berakar pula pada budaya
disiplin bangsa tersebut. Justru antara disiplin nasional dan
nasionalisme, merupakan dua sisi mata uang yang saling berpengaruh.
Makna dan esensi disiplin nasional akan terlihat pada disiplin para
penyelenggara Negara, tertib dan lancarnya pelayanan masyarakat, serta
dalam berbagai kehidupan sehari-hari.
4. Bagaimana Memupuk Nasionalisme di tengah-tengah Gelombang Pengaruh Globalisasi ?
Upaya
memupuk nasionalisme agar tidak rentan, mudah pudar dan bahkan terkikis
habis dari "dada bangsa Indonesia" tentu perlu keseriusan dan
optimisme. Ada sasanti di beberapa lembaga pendidikan yang mungkin
pernah kita dengar atau dilihat, bahwa dalam rangka kaderisasi
calon-calon pemimpin bangsa, hendaknya terus dimantapkan "dwi warnapurwa
- cendekia wusana". Secara sepintas inti maksudnya adalah untuk
menciptakan kader-kader pemimpin bangsa ini, agar memiliki rasa dan jiwa
nasionalisme yang tinggi dan serta berpikir cerdas dan patriotik. Merah
putih lebih dulu, baru kecakapan intelektualitas dan kecendikiawanan
yang tinggi untuk melengkapinya. Tidak kita inginkan dimasa datang
banyak pemimpin kita cakap dan cerdas tetapi tidak memiliki jiwa
kejuangan atau mentalnya lemah. Walaupun pengaruh globalisasi "mendera"
dan "melarutkan" apa saja yang ada dimuka bumi ini, tentu tidak boleh
larut dan tersapu semua nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme
tersebut. Oleh sebab itu yang perlu dipupuk pada dasarnya adalah jati
diri Bangsa Indonesia. Beberapa esensi jatidiri antara lain :
a. Bangsa Indonesia Sebagai Bangsa Pejuang dan Anti Penjajah.
Sebagaimana
tercatat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, telah menjadi pelajaran
dan melegitimasi citra Bangsa Indonesia, dimata dunia, bahwa Bangsa
Indonesia akan tetap dikenal sebagai bangsa yang anti penjajah dan rela
berkorban bagi kejayaan bangsanya. Semangat ini dipupuk terus dengan
penerusan implementasi nilai-nilai, melalui wahana pendidikan di
berbagai strata bagi generasi penerus bangsa.
Tidak boleh bosan-bosan
menanamkan sikap anti penjajah ini bagi generasi muda, karena di pundak
merekalah masa depan bangsa ini akan kita wariskan.
b. Bangsa Indonesia Cinta damai dan Lebih Cinta Kemerdekaan.
Dengan
politik luar negeri yang bebas dan aktif, senantiasa terus menggalang
persatuan dunia menuju pada tata kehidupan dunia yang lebih damai dan
sejahtera. Itulah jati diri Bangsa Indonesia sebagai lambang
Nasionalisme dan sekaligus Internasionalisme sebagai bangsa yang aktif
dan turut serta untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi.
Di
dalam situasi seperti sekarang ini dimana dunia sedang "terancam perang"
di berbagai belahan benua, maka di pandang perlu Indonesia tampil dan
memelopori usaha-usaha perdamaian melalui berbagai forum Internasional
bersama-sama bangsa lain yang sejalan.
c. Sebagai Bangsa Indonesia yang Berbudaya Luhur ramah dan bersahabat.
Keluhuran
budaya Indonesia terletak pada karakter dan citra bangsa yang ramah dan
bersahabat. Karena kita anti penjajah dan cinta perdamaian, maka
memupuk pesahabatan antar bangsa menjadi motivasi dan langkah-langkah
kongkrit untuk merealisasikan cita-cita perdamaian. Budaya demikian itu
terus di pupuk, di kembangkan dan dipromosikan ke semua bangsa di dunia
ini, agar keberadaan Indonesia dan perannya dapat mengangkat derajat dan
martabat bangsa Indonesia.
Budaya Nasional yang merupakan akumulasi
dari puncak-puncak budaya daerah, hendaknya terus dapat dipelihara dan
dijaga kelestariannya. Hanya bangsa yang bisa mempertahankan jati diri
dan budaya Nasionalnya yang akan bisa menjadi bangsa yang besar.
d. Kesetaraan dan Kemandirian Perlu Dipupuk Terus Untuk Mengejar Ketinggalan.
Martabat
Bangsa Indonesia adalah ingin setara/sejajar dengan bangsa-bangsa lain,
oleh karena itu upaya untuk mengejar kemajuan dan kemandirian adalah
suatu tekad dan semangat yang tidak boleh terputus sekalipun menghadapi
berbagai kendala. Persaingan antar bangsa akan semakin terlihat pada
persaingan kualitas sumber daya manusianya dan bukan saja pada sumber
daya alamnya.
Selain hal-hal normatif dan mendasar yang masih
menuntut aktualisasi dan representasi tersebut, terdapat juga komitmen
dan tekad baru yang kini tampak sebagai "trend" dan fenomena cemerlang
untuk memelihara nasionalisme.
Pertama, keunggulan kompetitif
sumber daya manusia (SDM). Sebenarnya tidak kurang bibit unggul dan
kader potensial dari putra-putri Indonesia yang kelak diharapkan dapat
menjadi patriot-patriot pembangunan dan mampu membawa Indonesia ke pintu
gerbang kegemilangan dan kejayaan. Berbagai sekolah unggulan dan
lulusan pendidikan di dalam maupun di luar negeri terbukti cukup
apresiatif dan bahkan telah mampu menjuarai berbagai olympiade sains dan
teknologi. Putra-putri seperti inilah yang bisa membagi kebanggaan.
Tidak sedikit manager muda berbakat pada lembaga pemerintah ataupun
swasta dengan menampilkan kepiawaian manajemen. Hal ini tentu dapat
memberikan semangat kepada generasi baru yang akan datang lebih dapat
memacu diri untuk berprestasi dan bangga akan teman-teman sebangsanya.
Kedua,
Pluralitas yang menghasilkan sinergisme. Kemajemukan bangsa Indonesia
yang kian hari kian terbentuk secara alami dan menuju pada sikap
inklusif dari berbagai suku agama, ras dan golongan, akan terus
berkembang pesat dan bahkan tak mungkin dihambat. Kecenderungan masa
kini dan dimasa yang akan datang integrasi bangsa Indonesia tidak lagi
terfocus pada faktor suku, agama, ras dan golongan tersebut, tetapi
lebih mengarah pada integrasi dan sinergi yang lebih maju, yakni
berkaitan dengan peran, fungsi dan profesi orang per orang maupun dalam
hubungan kelompok. Dimasa yang akan datang orang tidak lagi bertanya
"kamu dari mana, suku apa, dan agamanya apa ?" tetapi lebih banyak pada
pertanyaan "kamu memiliki kemampuan dan skill" apa atau keahlian dan
profesi apa, yang bisa di ajak bekerja sama untuk menghasilkan suatu
karya. Disini akan tersirat sikap dan sifat-sifat saling memberi dan
saling menerima segala macam perbedaan yang pada muaranya akan dapat
melahirkan rasa bangga dan nasionalisme yang luas.
Ketiga,
semangat tidak kenal menyerah dan tahan uji. Ada berbagai ungkapan dan
perasaan sebagian besar bangsa Indonesia yang tetap tahan uji dan cukup
membanggakan. Berbagai musibah bencana dan malapetaka terus datang silih
berganti, seperti yang kita rasakan datangnya "tsunami", tanah longsor,
bencana banjir, flu burung, demam berdarah, busung lapar dan lain
sebagainya namun tetap membuat kita tawakal dan berusaha untuk mengatasi
secara bergotong royong baik antara Pemerintah dan lembaga resmi/tidak
resmi maupun solidaritas antar masyarakat sendiri.
Begitu pula
tatkala menghadapi "ancaman" negara lain dalam bentuk pelanggaran
perbatasan, penyerobotan pulau, bahkan penghinaan oleh kelompok bangsa
tertentu, ternyata kita tahan uji dan bahkan mampu membangkitkan
semangat Nasionalisme yang tinggi untuk menghadapi semuanya.
Keempat,
semangat demokrasi menjadi pilihan bersama. Era demokratisasi, sudah
membangkitkan tekad dan semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk menata
kembali kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat.
Negara demokrasi sebagai pilihan tepat karena dari sinilah akan lahir
bingkai-bingkai sehat, dimana orang-orang bersepakat dan bersama-sama
dalam menentukan pilihan bersama. Dengan demikian tata kehidupan
berdemokrasi inilah yang akan menjadi semangat baru dan semangat bersama
generasi penerus bangsa Indonesia yang sekaligus akan menjadi semangat
nasionalisme yang kental dalam era yang baru.
Kelima, semangat
desentralisasi dan otonomi daerah. Kebijakan Pemerintah dalam upaya
desentralisasi kekuasaan kepada daerah-daerah dan memberikan otonomi
yang luas kepada tiap-tiap daerah, akan melahirkan semangat kebebasan
dan semangat kemandirian untuk membangun daerahnya masing-masing. Ada
kompetisi didalamnya, tetapi juga tuntutan kreativitas di masing-masing
daerah untuk lebih maju dan semakin dapat mensejahterakan masyarakatnya.
Disentralisasi
tidak boleh mengarah pada federalisme apalagi memecah belah integrasi
Nasional. Otonomi daerah juga tidak boleh mengarah kepada disintegrasi
bangsa. Oleh karena itu rambu-rambu untuk tetap dapat menjaga utuhnya
NKRI harus difahami bersama dan didasari oleh semangat demokrasi,
integralistik dan wawasan kebangsaan Indonesia yang lebih mendalam.
5. Penutup.
Sebagai
kesimpulan secara umum bahwa Nasionalisme bangsa Indonesia belum
memudar, sekalipun saat ini didera oleh pengaruh globalisasi dan
liberalisasi serta proses demokratisasi. Tantangan baru ini harus
dihadapi dengan serius dan optimisme, bilamana tidak di pupuk kembali
dan tidak mendapat dorongan semangat baru oleh para pemimpin bangsa ini,
maka tidak mustahil faham tentang kebangsaan ini akan tersapu oleh
peradaban baru yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur
sosio-kultural bangsa kita.
Hanya tekad dan semangat yang disertai
usaha yang serius melalui wahana pendidikan akan dapat diharapkan mampu
melestarikan semangat nasionalisme. Tidak salah kiranya bahwa perhatian
para pemimpin, tokoh masyarakat, serta seluruh komponen kekuatan bangsa
untuk bersama-sama membenahi sistem pendidikan nasional, agar mampu
menghasilkan lulusan/hasil didik sebagai generasi penerus bangsa yang
dapat membawa kemajuan dan kejayaan di era Indonesia baru.
Pada sisi
lain sosialisasi nilai-nilai Intrinsik nasionalisme melalui berbagai
lembaga dan masyarakat harus terus diupayakan. Karena generasi bangsa
ini terus diperbarui oleh generasi baru yang menuntut pemahaman yang
hakiki.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.tniad.mil.id/1artikel.php?pil=2&dn=20080711010639
Sabtu, 22 September 2012
MEMPERTAHANKAN NASIONALISME DALAM ERA GLOBALISASI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar