BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahPENDAHULUAN
Keadaan geografis indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme pemerintahan negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini menyebabkan pemerinyah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan, maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat nerjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat.
Di era revormasi ini, sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat, namun tetap berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut sangat dibutuhkan karena mulai munculnya ancaman-ancaman terhadap keutuhan NKRI, hal tersebut ditandai dengan banyaknya daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang menegakan pengolahan sumber daya alam yang merupakan sumner pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional. Seperti yang kita ketahui, bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah lain. Karena itulah pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan di tingkat daerah yang disebut Otonomi Daerah.
Pada kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan begitu saja pada pemerintah daerah. Selain diatur dalam perundang-undangan, pemerintah pusat juga harus mengawasi keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah. Apakan sudah sesuai dengan tujuan nasional, yaitu pemerataan pembangunan di seluruh wilayah republik Indonesia berdasarkan pada sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari otonomi daerah?
2. Apa aspek dari otonomi daerah?
3. Apa prinsif dan tujuan dari otonomi daerah?
4. Apa hakikat dari otonomi daerah?
5. Bagaimana hubungan antara otonomi daerah dan demokratisasi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari otonomi daerah
2. Untuk mengetahui aspek dari otonomi daerah
3. Untuk mengetahui prinsif dan tujuan dari otonomi daerah
4. Untuk mengetahui hakikat dari otonomi daerah
5. Untuk mengetahui hubungan antara otonomi daerah dan demokratisasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi DaerahPEMBAHASAN
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1) F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2) Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3) Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia[1].
B.Aspek Otonomi Daerah
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
1) Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2) Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3) Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1) Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri
2) Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3) Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4) Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
C. Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
g) Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h) Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a) Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
b) Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian[2].
D. Hakikat Otonomi Daerah
Desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara campur baur (interchangeably). Desentralisas sebagai mana didefinisikan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) adalah:
Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui secara dekonsentrasi, misalnya pendelegrasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan d daerah.
Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai ”mandiri ”. Sedangkan dalam makna yang luas diartikan sebagai ” berdaya”. Otonomi daerah engan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Namun demikian, pelaksanan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintah dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
1. Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas penyelenggara pemerintah.
2. Sebagai sarana pendidikan politik.
3. Pemerintah daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
4. Stabilitas politik.
5. Kesetaraan politik (political equlity).
6. Akuntabilitas publik[3].
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintah malalui proses pemilihan secara langsung.
Visi Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintah mempunyai visi yang dapat dirumuskan dengan yang lainnya: politik, ekonomi, sosisl dan budaya. Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya mengandung pengertian bahwa otonomi daerah harus diarahkan pada pengelola , penciptaan dan pemeliharaan integrasi dan harmoni sosial. Pada saat yang sama, visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya adalah memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang di pandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global.
Bentuk dan Tujuan Desentralisasi dalam Konteks Otonomi Daerah
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu deconcentration, delegtion to semi-autonomous and parastatal agencies, develution to local governments, dan nongovernment institutions(privatization). Dekonsentrasi hanya berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya
Desentralsasi dalam Negara Kesatuan dan Negara Federal: Sebuh Perabandingan.
Dalam dimensi karakter dasar yang dimilki oleh struktur pemerintahan regional/lokal pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki soverienitas (kedaulatan), sedangkan dalam nagara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Dalam pembahasan sistem federal dikenal pembagian kekuasaan dan kewenangan secara vertikal antara negara bagian dan federal. Soveneritas dalam negara federal lazimnya didefinisikan sebagai kompetensi dan bukan sebagai kedaulatan awal negara bagian. Dalam perspektif teori negara federal dualitis (dualistiche bundesstaatstheorie), kepemilikan bersanma kedaulatan antara negara bagian dan federal bukanlah suatu kemustahilan[4].
E. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia.
Undang-undang nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 29 (dua) jenis daerah, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3(tiga) tingkatan daerah otonom yaitu propnsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil.
Sistem Otonomi Daerah
Yang dimaksud dengan faham atau sistem otonomi disini ialah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah tangga daerah dan tentang tata cara pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah menurut suatu prinsip atau pola pemikiran tertentu. (Sujamto; 1990)
Banyak istilah yang digunakan oleh para ahli untuk menerjemahkan maksud tersebut diatas. Penulis paling tidak mengidentifikasi ada empat istilah yang digunakan oleh para ahli untuk memahaminya. Istilah-istilah itu antara lain sistem, paham, ajaran, pengertian.
Adapun mengenai faham atau atau system otonomi tersebut pada umumnya orang mengenal ada dua faham atau system pokok, yaitu faham atau system otonomi materiil dan faham atau system otonomi formal. Oleh Sujamto (1990) kedua istilah ini lazim juga disebut pengertian rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip) dan pengertian rumah tangga formil (formeele huishoudingsbegrip)
Koesoemahatmadja (1978) menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang terkenal yaitu :
a. Ajaran Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsbegrip),
b. Ajaran Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Formil (formeele huishoudingsbegrip)
c. Ajaran Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsbegrip)
Pada ajaran rumah tangga meteril bahwa dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut diperinci dengan jelas dan diperiinci dengan tegas dalam Undang –Undang tentang pembentukan suatu daerah. Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu dalam Undang-Undang pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam perincian tidak termasuk dalam rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan pemerintah pusat. Jadi ada perbedaan sifat materi antara tugas pemerintah pusat dam pemerintah daerah.
Adapun mengenai ajaran rumah tangga formil disini tidak terdapat perbedaan sifat antara tugas-tugas yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh pemerintah daerah. Apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah pusat pada prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh pemerintah daerah demikian pula sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan atas pertimbangan rasional dan praktis. Artinya pembagian tugas itu tidaklah disebabkan karena materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-mata karena keyakinan bahwa kepentingan daerah itu lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan sendiri daripada diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Jadi pertimbangan efisiensilah yang menentukan pembagian tugas itu bukan disebabkan oleh perbedaan sifat dari urusan yang menjadi tanggung jawab masing-masing[5].
Perkembangan kebijakan otonomi daerah di Indonesia
a. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit[6].
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administrative belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.
Dari uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang dianut oleh Undang-undang ini.
b. Undang-Undang Pokok tantang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya a s/d c tyang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayatsebagi berikut
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah diserahkan kemudian dengan UU.
Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut system atau ajaran materiil. Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Hanya saja system ini ternyata tidak dianut secara konsekwen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri system rumah tangga formil bahwa. Jadi pada dasarnya UU ini menganut dua system rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja karena sifat-sifat system materiil lebih menonjol maka namyak yang beranggapan UU ini menganut system Materil.
Perlu dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja Bundar, dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan Kalimantan. Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini diberlakukan sampai tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.
c. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah system otonomi riil, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang system otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Denagn peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan lain.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut system yang dapat diberi nama sendiri yaitu system otonomi riil. (Sujamto;1990)
Penyempurnaan pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit Presiden 5 Juli 1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini daerah tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai Pegawai Negara.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960.
Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan masih berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965) yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak berbicara apa-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai system atau faham atau pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip. (Sujamto; 1990)
Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas maka terlihat sesungguhnya UU adalah menganut system atau ajaran rumah tangga material . dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan ciri dari system rumah tangga formil.
f. UU Nomor 22 tahun 1999
Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Unutk dapat mengetahui system atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan yang diberikan kepada daerah.
Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
2. Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat system atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil. Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga formil[7].
F. Otonomi Daerah Dan Demokratisasi
Otonomi daerah sudah menggelinding berbarengan dengan reformasi. Ia merupakan terobosan untuk memperkuat Indonesia sebagai sebuah negara bangsa dengan mengakomodasi keragaman daerah. Akomodasi ini bukan untuk memperlemah, tapi sebaliknya, untuk memperkuat Indonesia.
Dalam konteks itu otonomi daerah adalah sistem untuk membuat hubungan kongruen antara pusat dan daerah. Sejauhmana kongruensi ini telah terbangun?
Dilihat dari sikap dan perilaku politik warga, otonomi daerah yang sudah berjalan sampai hari ini belum mampu menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan. Hubungan antara kedaerahan dan keindonesiaan masih negatif, dan yang punya sentimen kedaerahan dibanding keindonesiaan masih banyak. Selain itu, otonomi daerah belum mampu menyerap keragaman dalam keindonesiaan.
Sumber utama dari belum mampunya otonomi daerah menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan, belum mampunya menciptakan sistem politik yang kongruen antara pusat dan daerah, adalah kinerja otonomi daerah itu sendiri yang dinilai publik belum banyak menciptakan keadaan lebih baik dibanding sistem pemerintahan yang terpusat sebelumnya.
Akar dari belum berkinerja baiknya otonomi daerah terkait dengan evaluasi publik atas kinerja pemerintah daerah. Evaluasi positif publik atas kinerja otonomi daerah tergantung pada apakah kinerja pemerintah akan semakin baik, atau sebaliknya. Bila tidak, maka sikap negatif publik pada otonomi daerah akan menjadi semkin kuat, dan pada gilirannya akan semakin menjauhkan daerah dengan pusat, kedaerahan dan keindonesiaan.
Namun demikian, tidak terkaitnya secara berarti antara otonomi daerah dan keindonesiaan masih tertolong berkat demokrasi. Demokrasilah yang menggerus kedaerahan, bukan otonomi daerah. Untungnya, demokrasi pula yang berhubungan secara sistemik dengan otonomi daerah.
Demokrasi menjadi titik temu antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan demokrasi menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara keindonesiaan dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI. Bila demokrasi melemah, terutama dilihat dari kinerjanya, maka otonomi daerah bukan memperkuat NKRI melainkan memperlemahnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada tiga aspek otonomi daerah yaitu :
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Keadaan geografis indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme pemerintahan negara, sehingga diperlukan adanya otonomi daerah untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerrintahan yang ada di Indonesia.
Dalam otonomi daerah terdapat prinsip dan tujuan dari otonomi daerah, Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Kemudian dalam otonommi daerah, terdapat demokrasi yang menjadi titik temu antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan demokrasi menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara keindonesiaan dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI.
DAFTAR PUSTAKA
Sarundajang,S.H, 1999, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Soejito, Irawan, 1976, Sejarah Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2, Pradnya Paramita, Jakarta
Koesoemahamadja,R.D.H., 1978, Fungsi & Struktur Pamongpraja, Alumni, Bandung
http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2062077-pengertian-otonomi-daerah/#ixzz1erLuWWTP
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
http://otonomidaerah.wordpress.com/
http://images.opayat.multiply.multiplycontent.com/attachment
[1] http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2062077-pengertian-otonomi-daerah/#ixzz1erLuWWTP
[2] Koesoemahamadja,R.D.H., 1978, Fungsi & Struktur Pamongpraja, Alumni, Bandung
[3] http://otonomi_daerah/co.id.html
[4] Soejito, Irawan, 1976, Sejarah Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2, Pradnya Paramita, Jakarta
[5] http://otonomidaerah.wordpress.com/
[6] Soejito, Irawan, 1976, Sejarah Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2, Pradnya Paramita, Jakarta
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
0 komentar:
Posting Komentar