Senin, 30 April 2012

Makalah Pancasila tentang PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

BAB I
PENDAHULUAN
1.1            LATAR BELAKANG MASALAH
Pancasila sebagai dasar Negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila. Kesadaran etik yang merupakan kesadaran relational akan tumbuh subur bagi warga masyarakat Indonesia ketika nilai-nilai pancasila  itu diyakini kebenarannya, kesadaran etik juga akan lebih berkembang ketika nilai dan moral pancasila itu dapat di breakdown kedalam norma-norma yang di berlakukan di Indonesia .
Pancasila juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan suatu nilai, Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar.
Nilai-nilai pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila juga merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa materialis).
Pancasila bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
1.2              RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang ada di makalah ini adalah
1.      Apa pengertian etika?
2.      bagaimana pengertian  nilai, norma dan moral?
3.      Apa itu hierarkhi nilai?
4.      Bagaimana hubungan antara nilai, norma dan moral?
5.      Bagaimana pengertian etika politik dan politik?
6.      Apa definisi dimensi politisi manusia?
7.      Nilai-nilai apa yang tergandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik ?
1.3               TUJUAN PENULISAN
Tujuan dalam makalah ini adalah
1.      Untuk mengetahui pengertian nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik.
2.      Dapat mengerti hubungan antara nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik.
3.      Dapat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi, menjadi beberapa cabang menurut lingkungan masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat pertama berisi tentang segala sesuatu yang ada se­dangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui dan tentang yang transenden­.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi. dua ke­lompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kr­itis dan mendasar tentang ajaran-ajaran danpandangan-pandangan moral. itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita  harus menggambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum merupakan prinsip­- prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip Etika khusus dibagi  menjadi etika indi­vidu yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika so­sial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam­ hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pada umumnya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai "susila" dan "tidak susila", "baik" dan "buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dila­wankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan  dengan, tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga dikata­kan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1.      Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2.      Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etikaindividual) maupun mahluk sosial (etikasosial).
2.2              Pengertian Nilai,  Norma, dan Moral
2.2.1        Pengertian Nilai
Nilai  (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.
Nilai atau “value” (bahas Inggris) termasuk bidang kajian filsafat, persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, theory of value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “kebiasaan” (wath) atau kebaikan (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229)
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat, martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang  berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya. Cita-cita, gagasan, konsep dan ide tentang sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai.
Oleh karena itu, nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang abstrak. Manusia dalam memilih nilai-nilai menempuh berbagai cara yang dapat dibedakan menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan kenyataannya. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik berpusat pada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia.Nilai sebagai suatu system merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping system social dan karya.Oleh karenaitu,  Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu : nilaiteori, nilaiekonomi, nilaiestetika, nilaisosial, nilaipolitikdannilaireligi.
Di dalam Dictionary of sosiology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, ( the believed capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri.Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita – cita, harapan – harapan, dambaan – dambaan dan keharusan. Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein, kita masuk kerokhanian bidang makna normatif, bukan kognotif, kita msuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian, diatara keduannya saling berhubungan atau saling berkait secara erat, artinya bahwa das Sollen itu harus menjelma menjadi das Sein, yng ideal harus menjadi real, yang normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari – hari yang merupakan fakta.
2.2.2        Pengertian Norma
Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu.
Norma sesungguhnya perwujudkan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma  dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a.  Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri,
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat,
d.  Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang dipaksakan oleh alat Negara.
2.2.3        Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggao tidak bermoral.  Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral, filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
2.3              Pengertian Hierarkhi Nilai
Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu –masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya  nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,
2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,
3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
4.  Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah  modalitas  nilai dari yang suci.
Walter G . everet menggolongkan nilai – nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu:
a) Nilai – nilai ekonomis
b) Nilai – nilai kejasmanian
c) Nilai – nilai hiburan
d) Nilai – nilai sosial
e) Nilai – nilai watak

f) Nilai – nilai estetis
g) Nilai – nilai intelektual
h) Nilai – nilai keagamaan
Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :
1.   Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
2.  Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan, 
3.  Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
a. Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
b. Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.
d. Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan  anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai  pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Dari uraian mengenai macam – macam nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non material atau immatrial. Notonagoro berpendapat bahwa nilai – nilai pancasila tergolong nilai – nilai kerokhanian, tetapi nilai – nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital. Dengan demikian nilai – nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai matrial, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’.
2.4              Hubungan antara Nilai, Norma dan Moral
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang  seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digaris bawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak  boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.
2.5              Pengertian Etika Politik Dan Politik
2.5.1         Pengertian Etika Politik
Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik yang demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan mana yang jelek. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini.Etika politik bangsa Indonesia dibangun melalui karakteristik masyarakat yang erdasarkan Pancasila sehingga amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Karena itu,  etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya ada dua hal: (a) pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan (b) tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Tanpa disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang.[1][1]
Namun demikian, perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi (dan memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika politik menjawab dua pertanyaan:
1.    Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti hokum dan Negara (misalnya: bentuk Negara seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
2.    Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik oleh badan legislatif maupun eksekutif.
Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis. Karena itu, sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
a.       Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)
b.      Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
c.       Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)
d.      Kedaulatan rakyat (Rousseau)
e.       Negara hokum demokratis/republican (Kant)
f.        Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
g.       Keadilan sosial
2.5.2        Pengertian Politik
Pengertian ‘politik’ berasal dari kosakata ‘politics’, yang memiliki makna bermacam – macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘ negara’, yang menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan itu. Berdasarkan pengertian – pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep – konsep pokok yang berkaitan dengan negara ( state), kekuasaan ( power), pengambilan keputusan ( decision making), kebijaksanaan ( policy), pembagian ( distribution), serta alokasi ( allocation).
Pengertian politik secara sempit, yaitu bidang politik lebih banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan negara, lembaga – lembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik serta para pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara. Pengertian politik yang lebih luas, yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.
2.6              Definisi Dimensi Politisi Manusia
2.6.1        Manusia sebagai Makhluk Individu – Sosial
Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandan manusia sebagai makhluk individu yang bebas. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu.
Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar srana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia sebgai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan manusia sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam hidupnya mampu ber-eksistensi karena orang lain dan ia hanya dapt hidup dan berkembang karena dalam hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam segal kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarkat.
Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdpt dalm budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat ‘monodualis’. Maka sifat serta ciri khas kebangsan dan kenegaraan indonesia, bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis.
2.6.2        Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagan hukum dan negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang memberikan legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagi makhluk individu dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitn dengan kehidupan masyrakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis mnakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadarn manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan kembali oleh kerangka kehidupanny serta ditentukan kembali oleh tindakan – tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundmental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan moral manusia.
2.7              Nilai-nilai Tergandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai –nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai dengan:
a) Asas legalitas ( legitimasi hukum).
b) Di sahkan dan dijalankan secara demokratis ( legitimasi demokratis)
c) Dilaksanakan berdasarkan prinsip – prinsip moral / tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila 2). Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu ‘ keadilan’ dalam hidup bersama ( keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah ini adalah
1.      Pancasila adalah sebagai suatu sistem filsafat yang pada hakikatnya merupakan nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan laianya.
2.      Suatu pemikiran filsafat tidak seccara langsung menyajikan norma – norma yang merupakan pedoman dakam suatu tindakan atau aspek praktis melainkan nilai – nilai yang bersifat mendasar.
3.      Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang prinsip – prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia yang membicarakan masalah – masalah yang berkaitan dengan predikat “susila” dan “tindak susila”, “baik” dan “buruk”.
4.      Hubungan sistematik antara nilai, norma dan moral tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praktis dalam kehidupan manusia.
5.      Etika politik adalah termasuk lingkup etika sosial manusia yang secara harfiah berkaitan dengan bidang kehidupan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar