Jumat, 25 Januari 2013

makalah filsafat pancasila dan kewarganegaraan

| Jumat, 25 Januari 2013 | 0 komentar

KATA PENGANTAR


            Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan karya tulis  ini. Shalawat dan salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kaum muslim dari zaman yang gelap gulita dan penuh kebodohan kepada zaman yang terang benderang. Kepada para keluarganya, para sahabatnya, para tabi’it-tabi’itnya, dan mudah-mudahan sampai kepada kita semua sebagai umatnya yang masih taat mengikuti ajaran beliau, dan sama-sama mengharapkan Safa’atul Uzma darinya di hari akhir nanti.
            Melalui ini, penulis mencoba menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan mata kuliah filsafat pancaila dan kewarganegaraan yaitu Identitas Nasional, Negara, Kewarganegaraan, serta Agama.
            Mengingat keterbatasan ilmu yang penulis miliki, karya tulis ini mungkin jauh dari kata sempurna. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik serta saran dari para pembaca yang budiman agar terciptanya karya tulis yang lebh baik pada waktu yang akan datang.
Tak lupa penulis mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya, apabila terdapat kesalahan di dalam karya tulis ini, baik dalam segi penulisan maupun penyampaian. Semoga karya tulis ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca sekalian. Amiin.






Bandung,          April 2012




Penulis





i
Daftar isi

KATA PENGANTAR ..........................................................................................    i          

DAFTAR ISI  .......................................................................................................     ii         

Bab 1 : PENDAHULUAN ....................................................................................    iv        
1.1  LATAR BELAKANG.........................................................................    iv        
1.2  RUMUSAN MASALAH....................................................................    iv        
1.3  TUJUAN PENULISAN......................................................................    iv
1.4  METODE PENULISAN  ...................................................................    v         
1.5  SISTEMATIKA PENULISAN ..................................................            ……    v

Bab 2 : PEMBAHASAN                                . ....................................................      1         
            2.1  IDENTITAS NASIONAL          ......................................................      1
                        2.1.1 PENGERTIAN IDENTITAS NASIOAL ………………..     1
2.2  KEWARGANEGARAAN         ....................................................       3
            2.2.1 PENGERTIAN KEWARGANEGARAAN ……………       3         
2.3  NEGARA                        ……………… .....................................................      4
            2.3.1 PENGERTIAN NEGARA ……………………………….     4
2.4  AGAMA                                       .....................................................      5
            2.4.1  PENGERTIAN AGAMA  ……………………………….     5
            2.4.2  CARA BERAGAMA   …………………………………..     8
            2.4.3  FUNGSI AGAMA  ………………………………………     9
2.5   HUBUNGAN ANTARA AGAMA DENGAN NEGARA  ............   9
2.5.1  PENGERTIAN NEGARA ………………………………     9
2.5.2  PENGERTIAN NEGARA MENURUT PARA AHLI ….    11
2.5.3  ASAL MULA TERJADINYA NEGARA
 BERDASARKAN FAKTA EJARAH ………………..      12
                        2.5.4  KETERKAITAN ANTARA
AGAMA DENGAN NEGARA ……………………..         12


ii

Bab 3 : PENUTUP    ............................................................................................     20
            3.1 KESIMPULAN    ………………………………………………….       20
DAFTAR PUSTAKA   ........................................................................................     21












































iii BAB I
PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG

Filsafat pancasila dan kewarganegaraan adalah salah satu mata kuliah yang menerangkan tentang, seluk beluk tata kehukuman yang berlaku di Negara Republik Indonesia saat ini. Banyak sekali hal yang dijelaskan di dalam mata kuliah ini, beberapa diantaranya adalah penjelasan tentang Identitas Nasional, Kewarganegaraan, Negara, dan Agama, seperti apa yang akan kami bahas pada kesempatan kali ini.
Kami rasa mata kuliah ini adalah salah satu mata kuliah yang patut untuk dipelajari. Sebab, denan mempelajari mata kuliah ini kita dapat mengetahui bagaimana awal mula hukum-hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.

1.2    RUMUSAN MASALAH
Adapun beberapa masalah yang akan kita kaji dalam makalah ini. diantaranya :
1.        Apa yang dimaksud dengan Identitas Nasional ?
2.        Apa yang dimaksud dengan Kewarganegaraan ?
3.        Apa yang dimaksud dengan Negara ?
4.        Apa yang dimaksud dengan Agama ?
5.        Apa hubungan antara Agama dengan Negara ?

1.3    TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah
1.        Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Identitas Nasional,
2.        Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Kewarganegaraan,
3.        Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Negara,
4.        Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Agama,
5.        Kita dapat mengetahui apa hubungan antara Agama dengan Negara.





iv
1.4    METOODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah kali ini penulis menggunakan salah satu metode yang sering digunakan. Yaitu, metode kualitatif, dengan melihat sumber-sumber dari buku, media dan lain sebagainya.


1.5    SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini ditulis secara sistematis, terdiri dari  bab,  lembar ( lembar cover,  lembar kata pengantar,  lembar daftar isi,  lembar Bab I,  lembar Bab II,  lembar Bab III,  lembar daftar pustaka),  halaman penjelasan, yang disusun dalam kertas jenis HVS berukuran A4 (21cm x 29,7cm) dan menggunakan ukuran huruf 12 & 16.




Bab II
Pembahasan

2.1  identitas nasional
2.1.1  pengertian identitas nasional
Setiap bangsa di dunia pasti memiliki lambang yang merupakan ciri dari bangsa tersebut, lambang biasanya terkait dengan mitos, kepercayaan, dinamika, karakter bangsa dalam menyongsong masa depan, dan semangat juang serta cita-cita.
Bangsa Indonesia pun memiliki ciri khasnya sendiri yang dijadikan identitas bangsa Indonesia, yaitu lambang Burung Garuda yang biasa disebut dengan Garuda Pancasila, Bahasa Indonesia, dan Bendera Merah Putih.
A.      Garuda Pancasila
Menunjukan jiwa yang dinamis serta optimis, lambang garuda pancasila sendiri terdiri atas tiga bagian, yaitu :
a.      Burung garuda yang berdiri tegak,
b.      Perisai berbentuk jantung,
c.       Semboyan atau seloka yang tertulis pada pita yang dicengkram burung garuda yang bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika”.
a.      Burung garuda yang berdiri tegak
Burung garuda yang berdiri tegak dan mengembangkan sayapnya kekiri dan kekanan, kepala yang menoleh tegak ke kanan bermakna :
o   Garuda diambil dari peradaban bangsa Indonesia, Melambangkan kekuatan, kekuasaan, kesetiaan, dan perjuangan bangsa Indonesia.
o   Garuda menoleh kekanan melambangkan kebaikan, optimis, serta langkah mujur.
o   Sayap masing-masing berjumlah 17 helai berarti tanggal 17 yang merupakan tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia.
o   Bulu ekor yang berjumlah 8 helai berarti bulan agustus yang merupakan bulan ke-8 bertepatan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia.
o   Pada bagian berutu berjumlah 19 dan pada bagian leher berjumlah 45 helai, yang berarti tahun 1945 dimana Indonesia mencapai kemerdekaannya.
b.      Perisai berbentuk jantung, tergantung dengan rantai pada leher burung garuda. Perisai terbagi pada 5 ruangan yang didalamnya terklukis lambang sila-sila pancasila. Bermakna :
o   Perisai melambangkan perlindungan
o   Garis melintang ditengah perisai melukiskan garis katilistiwa.
o   Lima lukisan (nurcahya, rantai bermata bulat, pohon beringin, kepala banteng, serta padi dan kapas) didalam perisai melambangkan sila pancasila.
c.       Seloka (semboyan) tertulis pada pita yang sicengkram burung garuda bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika“ bermakna :
o   Seloka dipetik dari buku Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular dikerajaan Majapahit. Yang berarti beda itu, satu itu. Bhineka berasal dari bahasa sanskerta dari bhina yang berarti bega, Ika berarti itu, Tunggal Ika berarti satu itu. Atau dapat disimpulkan (beda itu satu).
Setiap bangsa dan negara yang ingin kokoh kuat, tidak mudah terombang-ambing oleh kerasnya persoalan hidup berbangsa dan bernegara, sudah barang tentu perlu memiliki dasar negara dan ideologi negara yang kokoh dan kuat pula. Tanpa itu, maka bangsa dan negara akan rapuh.
Selain sebagai identitas nasional bangsa Indonesia =, pancasila juga merupakan ideologi bangsa ini. Ideologi diambil dari kata idea (inggris), yang artinya gagasan, pengertian. Kata kerja Yunani oida = mengetahui, melihat dengan budi. Kata “logi” yang berasal dari bahasa Yunani logos yang artinya pengetahuan. Jadi dapat disimpulkan bahwa ideologi memiliki arti pengetahuan tentang gagasan-gagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar.
Anda bisa lihat tabel dibawah ini yang merupakan tabel konsep Pancasila.
 








B.      Bahasa Indonesia
Bahasa indonesia berasal dari bahasa melayu Riau yang dijadikan pengantar berkomunikasi dikalangan pedagang dan dikalangan intelektual bangsa Indonesia. Lahirnya bahasa Indonesia berkaitan dengan sumpah pemuda pada anggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia merupakan salah satu puncak budaya yang diperkaya oleh bahasa daerah dan bahasa asing.
C.      Bendera Merah Putih
Pada bendera merah putih sebagai bersatunya manusia dengan alam lebih jauh dikemukakan bila manusia terluka mengeluarkan darah berwarna merah, sedangkan pohon yang terluka mengeluarkan getah berwarna putih. Bendera merah putih untuk berkibar di langit persada ibu pertiwi melalui perjuangan-perjuangan bukan saja hanya pengorbanan harta, waktu, dan tenaga, akan tetapi disertai cucuran darah para syuhada dan air mata bangsa Indonesia.

2.2  kewarganegaraan
2.2.1 pengertian kewarganegaraan
Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus yaitu negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatain politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan konsep dari kewargaan (dalam bahasa inggris citizenship). Dalam pengertian ini, warga suatu Kota atau Kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena kefuanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki memiliki kemiripan dengan kebangsaan (dalam bahasa inggris nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam kepolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh secara hukum merupakan subjek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak untuk berpartisipasi didalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
Dibawah kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan kewajiban. Dalam filosofi disebut “kewarganegaraan aktif”, seorang warga negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya.
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh Undang-Undang (UU) sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Berdasarkan Kabupaten atau Provinsi tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor indentitas yang unik Nomor Induk Kependudukan (NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatat diri dikantor pemerintahan. Paspor diberikan negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitasyang bersangkutan dengan tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no.12 tahun 2006 tetntang kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah seriap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA (Warga Negara Asing), atau sebaliknya.

2.3  negara
2.3.1 PENGERTIAN NEGARA
            Negara dalah salah satu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial, maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada diwilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu diwilayah tersebut, dan berdiri secara independent. Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
            Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah seorang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
            Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang.

2.4  agama
2.4.1 pegertian agama
            Agama menurut kamus besar bahasa indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Emile Dhurkeim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
Adapun pendapat lain yang mengatakan mencari pengertian agama, dari sudut kebahasaan (Etimologis) terasa akan lebih mudah jika dibandingkan dari sudut istilah (Terminologis), karena mendefinisikan agama dari sudut istilah sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikannya. Kesulitan ini diakui oleh Prof. Mukti Ali (Bapak Ahli Perbandingan Agama) dan juga James H. Leuba (Orientalis) dalam mendefinisikan agama.
Pada umumnya kata agama dipahami “A” berarti tidak dan “Gama” berarti kacau, dengan maksud orang yang beragama maka hidupnya tidak akan kacau. Mengacu terjemahan dari bahasa Sanskerta, yang diartikan secara terpisah lalu secara terpadu didefinisikan seperti itu, menurut Prof. Sulaiman, Guru Besar UII dan Bahrum Rangkuti  adalah analisa ilmiah yang tidak benar. Menurut Bahrum, kata Agama, A-nya dibaca panjang (A-gama) berarti cara, jalan, karena kata itu berasal dari bahasa Indo-German, yaitu “Gam” yang berarti jalan, cara berjalan, cara-cara sampai keridhoan Tuhan. Mungkin mereka yang menerangkan seperti itu belum mengetahui bahasa Sanskerta.
Agama dalam bahasa Latin adalah Religi asal kata dari Relegere, yaitu “Re” berarti kembali dan “Ligere” berarti terkait/terikat, maknanya agama mempunyai sifat mengikat bagi pemeluknya. Lalu perkataan ini berkembang di seluruh penjuru benua Eropa dengan lafal yang bervariasi, sesuai dengan bahasa bangsa-bangsa yang hidup di benua tersebut, seperti Religie (Belanda), Religion/Religious (Inggris) dan sebagainya.
Sedangkan dalam bahasa Arab, agama disebut Dien, sempurnanya Ad-Dien (  الد ين  ) masdar dari دَانَ - يَدِيْنُ , menurut lughat mempunyai arti bermacam-macam diantaranya berarti :
Pengertian umum yang dapat dipahami, Ad-Dien artinya Undang-undang atau peraturan Allah I  yang mesti ditaati dan dipatuhi oleh manusia.
Dalam Qur’an, kata Dien dipergunakan, tidak hanya untuk Islam tapi juga untuk selain Islam, termasuk juga kepercayaan pada berhala, seperti yang terdapat pada QS. Al-Kafirun 1-6.
Ketiga pengertian Etimologis diatas baik Agama, Religi ataupun Ad-Dien, masing-masing mempunyai riwayat dan sejarah sendiri-sendiri. Sedangkan dari sudut Terminologis (istilah) adalah yang paling sulit, karena ada 3 alasan, ungkap Prof. Mukti Ali, sebagai berikut :
1.       Pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis sifatnya.
2.       Barangkali tidak ada orang yang begitu semangat dan emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karenanya emosi selalu melekat dalam pembahasan tentang agama.
3.       Konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi    tersebut.

Walaupun demikian beliau tetap mencoba memberikan definisi sebagai berikut:” Agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum/aturan-aturan yang diwahyukan Tuhan kepada utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat (Etika Agama dan Pembentukan Kepribadian Nasional, Mukti Ali-1962).
Sedangkan “Religi adalah kepercayaan dan hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakekat yang ghaib, dimana hubungannya diwujudkan dalam sistem dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu”. Demikian Sidi Gazalba dalam bukunya “ Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam-1962”.
Dan istilah Dien, karena berasal dari bahasa Arab dan terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an juga dalam hadits Nabi, maka lebih layaklah kita mengacu pada definisi yang dibuat oleh para ulama/ilmuwan muslim, diantaranya adalah pendapat Syaikh Mustafa Abdurraziq dalam “Din, Wahyu Wa Al-Islam”,menyatakan:
“Dien adalah wahyu Allah semata kepada Nabi-nabi yang dipilih-Nya diantara umat manusia dan mengutus mereka untuk menjadi imam-imam yang menunjukkan jalan (untuk kebahagiaan dunia dan akhirat) dengan bimbingan Allah I”.
Sedangkan Dr. Rauf Syalabi dalam bukunya “ Yaa Ahlal Kitab Ta’alau ila Kalimatin Sawa” setelah beliau berpanjang lebar mengartikan Dien secara rinci baik dari sudut etimologis  maupun terminologis yang komprehensif menyimpulkan bahwa “ Dinullah adalah ajaran yang menyeluruh (sempurna), yang tidak saja mencakup perorangan dan keluarga,tapi juga masyarakat umum dan negara (politik), jadi bukan hanya ritual ibadah, bukan hanya ajaran kerohanian, namun ajaran komprehensif yang mencakup fisik dan metafisik, serta duniawi dan ukhrowi (akhirat) secara serentak".   
Sekian penyusun menguraikan tentang agama, religi dan dien, walaupun amat disadari oleh penyusun bahwa teori-teori tentang masalah ini terlalu banyak dan kompleks karena perkembangan ilmu yang semakin maju, sehingga agama bisa didekati dengan berbagai metode. Tapi bukanlah tempatnya disini bagi penyusun untuk membahasnya, mungkin dalam bentuk yang lain, Insya Allah, penyusun akan menguraikan lebih lanjut. Uraian dimuka dimaksudkan agar pembaca secara umum mengenal dan memahami Agama, Religi atau Dien secara mendasar, tidak terlalu ngejelimet ataupun tidak terlalu dangkal.
Berbagai macam metode yang dipergunakan untuk memahami agama, dari nilai historis, arkeologis, psikologis, fisiologis, sosiologis, tipologis sampai dengan fenomenologis. Berangkat dari berbagai metode pendekatan inilah yang menimbulkan berbagai persepsi tentang agama.
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.
Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.
2.4.2        CARA BERAGAMA
            Adapun cara beragama yang berlaku di Indonesia, dan berbagai caranya yaitu:
1.      Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
2.      Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3.      Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4.      Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
2.4.3        Fungsi Agama
Adapun fungsi dari agama adalah sebagai berikut :
·         Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
·         Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
·         Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
·         Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
·         Pedoman perasaan keyakinan
·         Pedoman keberadaan
·         Pengungkapan estetika (keindahan)
·         Pedoman rekreasi dan hiburan
·         Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.

2.5      HUBUNGAN ANTARA NEGARA DENGAN AGAMA
2.5.1 PENGERTIAN NEGARA
Negara adalah suatuwilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik , militer , ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.Syarat-syarat sebuah negara :

1. memiliki wilayah
2. ada penduduk 
3. ada kedaulatan
4. Mendapat pengakuan Negara lain 
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatuwilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini.Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakuioleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayahtempat negara itu berada.
Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur  bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar .Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis.
Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik , yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya.
Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak  tiap orang untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.

2.5.2  PENGERTIAN NEGARA MENURUT PARA AHLI
Prof. Farid S.
 Negara adalah Suatu wilayah merdeka yang mendapat pengakuan negara lain serta memiliki kedaulatan.
Georg Jellinek 
       Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
        Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
Roelof Krannenburg
            Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
Roger H. Soltau
 Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
Prof. R. Djokosoetono
          Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
Prof. Mr. Soenarko
          Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
Aristoteles
 Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.

2.5.3 Asal Mula Terjadinya Negara Berdasarkan fakta sejarah
Pendudukan (Occupatie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai, kemudian diduduki dan dikuasai. Misalnya, Liberia yang diduduki budak-budak Negro yang dimerdekakan tahun 1847
Peleburan (Fusi)
Hal ini terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru.Misalnya terbentuknya Federasi Jerman tahun 1871.
Penyerahan (Cessie)
Hal ini terjadi Ketika suatu Wilayah diserahkan kepada negara lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Misalnya, Wilayah Sleeswijk pada Perang Dunia Idiserahkan oleh Austria kepada Prusia, (Jerman).
Penaikan (Accesie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan Lumpur  Sungai atau dari dasar Laut (Delta). Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah Negara. Misalnya, wilayah Negara Mesir yang terbentuk dari Delta Sungai   Nil.
Pengumuman (Proklamasi)
Hal ini terjadi karena suatu daerah yang pernah menjadi daerah jajahan ditinggalkan begitu saja. Sehingga penduduk daerah tersebut bisa mengumumkan kemerdekaannya. Contahnya, Indonesia yang pernah di tinggalkan Jepang karena pada saat itu jepang dibom oleh Amerika di daerah Hiroshima dan Nagasaki.
2.5.4  KETERKAITAN ANTARA AGAMA DENGAN NEGARA
Agama dan negara mempunyai kaitan hubungan yang amat rapat. Tapi keduanya bukan pula seperti lembaga yang satu. Agama ialah `tatacara’ kehidupan yang dibentuk oleh nilai-nilai mulia tergambar dalam kepercayaan, perundangan dan etika. Negara pula ialah `ruang’ yang dibentuk oleh alam sekeliling, manusia dan sejarah kebudayaannya.
Apabila agama diturunkan, dari perspektif Islam, ia bukan bertujuan bagi membina negara. Ini kerana negara, semasa agama diturunkan, telah pun wujud. Menurut Muhamad Natsir dalam bukunya `Agama dan Negara’, apabila wujud sahaja satu perkumpulan manusia pada sesuatu tempat, secara langsung terbentuklah negara. Proses ini terjadi secara tabie sejak zaman berzaman
Bagaimana kaitan agama dan negara? Agama diturunkan bagi mengukuhkan kewujudan sesebuah negara. Sebagai satu bentuk ruang, negara memerlukan aturan-aturan tertentu. Ini bagi memastikan, warga dalam negara tersebut dapat meneruskan kesinambungan hidup secara harmoni.
Dengan aturan-aturan khusus, segala khazanah yang dimiliki negara atau warisan pengentahuan dari sejarah kebudayaannya dapat dimanafaatkan dan diwariskan secara saksama dan berterusan oleh generasi warganya. Aturan-aturan yang adil akan menentukan kesinambungan hayat sesebuah negara. Dalam hubungan ini, agamalah yang menentukan nilai keadilan dalam aturan tersebut.
Sebagai satu tatacara yang dipandu oleh pedoman Tuhan, agama mengemukakan prinsip-prinsip kehidupan yang tetap dan sejagat bagi tujuan mengatur perjalanan hidup masyarakat manusia. Prinsip aturan tersebut meliputi meliputi segenap aspek kehidupan warganya.
Bidang aturannya meliputi tatacara keperibadian manusia dan tatacara kehidupan sosial meliputi aspek perundangan, ekonomi, politik dan hubungan antarabangsa. Aturan ini memiliki keunikannya tersendiri kerana ia dibentuk oleh paksi keyakinan tertinggi akan keluhurannya yang abadi sejajar dengan statusnya sebagai pedoman dari Ilahi. Pengamalannya pula dihiasi dengan nilai-nilai akhlak yang mulai dan sejagat untuk kesesuaian seluruh manusia.
Bagaimanakah aturan ini dijelmakan? Prinsip-prinsip aturan kehidupan yang dianjurkan itu seumpama `bahan mentah’. Dalam kata lain, prinsip ajaran agama tersebut terlebih dahulu perlu melalui proses penyerasiannya dengan realiti setempat negara. Tanpa proses ini, penjelmaan ini akan menjadi kaku dan barangkali membawa kepada konflik pula.
Proses penyerasian di kenal dalam istilah agama sebagai `ijtihad’. Ia adalah satu kegiatan keilmuan tinggi yang dipertanggungjawabkan kepada para ahli ilmu dalam sesebuah negara tersebut. Peranan ilmuwan ini ialah melakukan penjelmaan prinsip-prinsip tetap aturan agama secara harmoni dalam masyarakat berdasarkan latar sejarah, sensitiviti budaya, adat dan pantang larang serta nilai-nilai warisan yang dikandung warga negara tersebut.
Proses ini memerlukan interaksi yang unik dan dinamik. Paling mustahak ialah kecerdasan para ilmuwan dalam menentukan langkah-langkah dalam menjayakan interaksi yang harmoni dalam proses penjelmaan tersebut. Para ilmuwan yang cerdas akan menentukan keutamaan-keutamaan yang harus didahulukan serta yang harus ditangguhkan berdasarkan kepada tahap-tahap perkembangan kesedaran, kefahaman dan kematangan masyarakat terhadap prinsip-prinsip aturan agama tersebut.
Dalam konteks negara kita Malaysia, para ilmuwan tidak sahaja harus memahami secara mendalam tentang prinsip-prinsip kenegaraan tersebut, malah dalam masa yang sama, menghayati latar sejarah sosio-budaya masyarakat negara ini yang terbentuk menerusi satu pengalaman kemanusiaan yang panjang.
Sifat negara ini yang terjajah semenjak 1511 sehingga berakhir pada 1957 telah melahirkan satu warga masyarakat yang rencam dengan kepelbagaian watak dan budaya yang saling bangkit dan bangun membina jatidiri negara Malaysia. Kerencaman budaya dan kepercayaan oleh kaum-kaum terbesar serta etnik yang pelbagai menuntut para ilmuwan bukan sekadar menjadi seorang pakar agama , tetapi dalam masa yang sama seorang ahli sejarah dan budayawan.
Dengan ciri ini, ilmuwan agama akan lebih arif lagi teliti dalam mengungkapkan persoalan agama supaya ia diterima sebagai satu nilai yang boleh diterima tidak sahaja oleh orang-orang Islam tetapi juga seluruh rakyat Malaysia. Agama sebagai satu bentuk rahmat kepada seluruh manusia hanya mampu terjelma bila mana ia dapat dikongsi penghayatannya oleh seluruh warga dan bukan oleh kelompok-kelompok tertentu sahaja.
Inilah cabaran para ilmuwan agama dalam usaha merealisasikan fungsi agama dalam urusan bernegara. Dengan ketelitian dan sikap cermat dalam memperjuangkan nasib dan martabat agama oleh para ilmuan, agama akan ditanggap secara lebih positif dan dapat berperanan dengan lebih berkesan dalam menyumbang kepada pengukuhan negara.
Adapun yang berkata bahwa Dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik.
Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. “Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan” (Q: Al Baqarah/176).
Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama bera¬bad abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik.
Mencoba memahami konteks sekularisme di Barat dan konteks Islam di Timur mungkin dapat membantu kita keluar dari cara pikir dokotomis yang naif. Pertama, dalam konteks Barat sekularisme adalah modus penyelesaian konflik antara otoritas lembaga negara di satu pihak versus otoritas lembaga agama dalam tubuh Gereja di lain pihak. Dalam Islam, otoritas keagamaan seperti gereja, lebih lebih gereja abad per¬tengahan yang monolitik dan sentralistik, tidak diketemukan.
Bukan tidak ada otoritas sama sekali, akan tetapi dalam mainstream Islam otoritas itu terdesentrali¬sasi sedemikian rupa pada pribadi pribadi tokoh (ulama) atau pada organisasi-organisasi keagamaan yang satu sama lain bisa berbeda fatwa atau bahkan saling menolak. Oleh sebab itu tidak pernah bisa dikatakan bahwa ada satu masa dalam sejarah Islam dimana negara (sultan) sepenuhnya berhadapan dengan otoritas agama (ulama); Juga tidak pernah terjadi sebaliknya, otoritas agama sepenuhnya ditaklukkan oleh otoritas negara.
Kedua, dalam konteks Barat abad pertengahan, sekularisme yang berkonotasi menghukum otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat, memang beralasan. Pada waktu itu, agama (baca: Gere¬ja) telah menjadi instrumen dominatif bagi elite politik maupun ekonomi untuk mempertahankan previlagenya. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan watak profetiknya sebagai pembela masyarakat, khususnya petani dan buruh yang tertindas.
Jujur saja, dosa-dosa agama (gereja) yang terjadi di Barat tersebut juga terdapat dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal penting yang membedakan. Dalam Islam, seperti dikatakan di atas, tidak ada otoritas tunggal yang telah memainkan dosa dosa itu secara utuh dan terpusat. Pada saat seba¬gian ulama Islam berkolusi dengan penguasa, mayoritas ulama tetap setia hidup di tengah tengah dan bersama rakyat. Di antara mereka ada yang sekadar apatis (uzlah) dari politik kekuasaan, sebagian terus melancarkan kritik, bahkan beberapa dengan tinda¬kan, gerakan.   
Ketiga, dalam konteks kelahiran negara modern, ada juga fakta yang tidak boleh dilupakan. Di Barat negara modern lahir dari atau bebarengan dengan gerakan pemakzulan terhadap otoritas agama (gereja). Di Timur, di dunia Islam termasuk Indone¬sia, negara modern lahir justru dari semangat heroisme keagamaan (kesyahidan) untuk memerdekaan bangsanya dari tirani penjajahan, yang nota bene adalah Barat.       
Itulah sebabnya hubungan agama negara dalam abad modern di Timur umumnya dan di dunia Islam khususnya, tidak bisa begitu saja diacukan kepada pengalaman Barat dan dipecahkan dengan resep Barat, sekularisme itu. Tapi jangan salah. Dengan mengatakan begitu bukan berarti sekularisme musti kita tolak mentah dan kita kembali ke teokratisme, seperti usul kaum revivalis-fundamentalis. Kita tahu bahwa dalam teokratisme, secara formal negara ditaklukkan pada kepentingan agama, padahal kenyataannya ia ditaklukkan pada kepentingan elitenya belaka.
Dengan demikian, mematrik negara hanya dalam kolom sekularis atau teokratis, kiranya terlalu menyederhanakan masalah. Lebih-lebih dalam konteks Islam, hubungan agama negara terlalu komopleks untuk dilihat secara hitam putih begitu saja. Disamping karena faktor kesejarahan yang berbeda dengan Barat, dalam konteks ajaran (normatif) mengkotakkan agama hanya pada ruang privat dan negara pada urusan publik juga mengandung mafsadah tersendiri.
Bahkan di Barat pun sekularisme yang secara ketat memenjarakan agama di ruang privat sudah dikritik. Sikap cuci tangan agama terhadap derita kemanusiaan yang terjadi di ruang publik akibat kesewenang-wenangan negara (state) secara moral jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Telah muncul opsi baru yang oleh Jose Casanova disebut deprivatisasi agama. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin maupun Political Theology di Eropa bagaimana pun merupakan refleksi dari kritik tersebut.
Jika di Barat sendiri sekularisme mulai dipersoalkan, maka bagaimana dalam Islam? Dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara yang berbeda.
Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan (akidah) kepada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Keyaki¬nan keyakinan seperti ini adalah perkara yang benar benar pribadi; apa yang diyakini sesama muslim tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin bisa diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya kemampuan apa pun untuk menjangkaunya.
Kedua, ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal peribadatan (doa, salat, pusa, haji dan yang terkait dengannya). Masuk dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (al ahwal al syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak borhak mengerahkan polisi untuk, misalnya, memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan intervensi negara atau pemerintah yang selama ini terjadi dalam urusan penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu perni¬kahan, adalah salah kaprah yang perlu segera diakhiri.
Ketiga, ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya ajaran ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Pada tingkat ajaran kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansiasi hukum agama terhadap hukum negara.
Tidak bisa dikatakan bahwa dalam negara kebangsaan hukum agama haram ikut memperkaya bangunan hukum publik dari negara yang bersangkutan. Jangankah hukum agama yang dianut oleh masyarakat di negeri itu; hukum warisan penjajah yang telah memeras kita ratusan tahun dan kita usir dengan darah para syuhada pun bisa diusung menjadi hukum di negeri kita.
Akan tetapi kita semua harus menyadari bahwa sesuci dan sekuat apa pun tawaran-tawaran hukum (syariat) keagamaan tersebut tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai hukum positif. Dalam konteks negara kebangsaan hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah (row material) seperti halnya hukum adat (adat manapun) atau hukum hukum yang dicomot dari bangsa lain.
Untuk bisa menjadi bagian dari hukum publik, maka hukum-hukum tersbut harus memenuhi dua syarat. Pertama, syarat substansial menyangkut isi hukum yang harus beroreintasi pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu. Kedua, syarat prosedural artinya hukum itu dapat meyakinkan nalar publik untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum secara demokratis yang juga disepakati oleh publik. Hukum apapun yang memenuhi kedua syarat ini berhak mengisi bangunan hukum positif dan perundang-undangan suatau negara. Tidak terkecuali hukum yang berbasis agama.
Bahkan untuk negara modern yang kini telah menjadi semakin repressif, koruptif, ekploitatif dan tidak perduli dengan nasib masyarakat lemah, maka kontribusi agama-agama dengan kekayaan nilai-nilai etik dan moralnya sangatlah diperlukan. Kita butuh sekali kontribusi etika sosial Kristiani dengan basis kasih-nya terutama bagi mereka yang terpinggirkan. Kita butuh sentuhan etika Hinduisme dengan semangat ahimsa (non-violence)-nya; etika Budhis dengan etos kesederhanaannya; dan etika Islam dengan spirit keadilan-nya. Juga dari agama-agama lain.
Oleh sebab itu, tidak ada manfaat apa pun bagi umat Islam untuk meributkan nasib 7 kata yang terbuang, kecuali sekedar untuk trik-trik politik belaka. Jika memang sungguh-sungguh ingin memberikan kontribusi kepada negara yakinkanlah nalar publik bangsa ini bahwa syariat agama yang mereka yakini dapat lebih menjamin pemenuhan hak dan kemaslahatan rakyat banyak, apa pun agama, suku, etniknya; bukan hanya untuk kepentingan kelompok sendiri semata.


BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Identitas nasional adalah lambang yang merupakan ciri dari bangsa tersebut, lambang biasanya terkait dengan mitos, kepercayaan, dinamika, karakter bangsa dalam menyongsong masa depan, dan semangat juang serta cita-cita.
Kewarganegaraan adalah keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus yaitu negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatain politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Negara merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik , militer , ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Agama yaitu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Dan hubungan antara Negara dengan Agama yaitu Agama diturunkan bagi mengukuhkan kewujudan sesebuah negara. Sebagai satu bentuk ruang, negara memerlukan aturan-aturan tertentu. Ini bagi memastikan, warga dalam negara tersebut dapat meneruskan kesinambungan hidup secara harmoni.


DAFTAR PUSTAKA



buku pendidikan dan kewarganegaraan kelas VIII

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
© Copyright 2012. Makalah Cyber . All rights reserved | Makalah Cyber.blogspot.com is proudly powered by Blogger.com | Template by Makalah Cyber - Zoenk