Strategi Mengatasi Masalah
Kehamilan Remaja
1. PENDAHULUAN
a. Pengertian Remaja
Masa remaja, menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur 12 tahun
sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun
bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan
usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir. Menurut
hukum dismenore Amerika Serikat saat ini, individu dianggap telah
dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun dan bukan 21 tahun seperti
ketentuan sebelumnya (Hurlock,1991). Pada usia ini, umumnya anak sedang
duduk di bangku sekolah menengah.
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence,
berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya ” tumbuh atau tumbuh
untuk mencapai kematangan ”. Perkembangan lebih lanjut, istilah
adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan
mental, emosional, sosial dan fisik ( Hurlock, 1991). Pandangan ini
didukung oleh Piaget yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja
adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke dalam
masyarakat dewasa, suatu usia dismenore mana anak tidak merasa bahwa
dirinya berada dismenore bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan
merasa sama, atau paling tidak sejajar.
Remaja juga sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek
intelektual. Transformasi intelektual dari cara berfikir remaja ini
memungkinkan mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam
masyarakat dewasa, tapi juga merupakan karakteristik yang paling
menonjol dari semua priode perkembangan. (Shaw dan Costanzo,1985)
Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka
sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat
diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja ada
diantara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja sering dikenal
dengan fase ”mencari jati diri” atau fase ”topan dan badai”. Remaja
masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi
fisik maupun psikisnya (Monks dkk.,1989).
b. Ciri-Ciri Fisik dan Psikis Remaja
Bila merujuk pada psikologi perkembangan akan kita temukan pembagian
tahap perkembangan psikologis kita menjadi tiga tahap: sembilan tahun
pertama, sembilan tahun kedua dan sembilan tahun ketiga. Sembilan tahun
pertama dalam kehidupan kita dapat disebut sebagai masa kanak-kanak.
Pada masa ini kita hampir sepenuhnya bergantung pada perhatian dan
bimbingan orang lain, utamanya orangtua kita. Dari persoalan mandi,
makan, apa yg kita pakai, pilihan sekolah, dan teman hamper semuanya di
pengaruhi oleh keputusan dan kebijakan orangtua kita. Masa kanak-kanak
ditandai dengan perkembangan dan pertumbuhan fisik yg sangat cepat:
mulai dari belajar telungkup, merangkak, berjalan, berbicara, dan
berpikir.
Usia remaja berada pada perkembangan psikologis kedua dan sembilan tahun
kedua setelah kita melewati masa kanak-kanak. Pada masa ini kita mulai
diajari tantang kemandirian dan bagaimana membuat keputusan untuk diri
kita sendiri. Selain itu, karakteristik umum dari pertumbuhan dan
perkembangan fisik kita pada periode usia ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Pertumbuhan tinggi badan dan berat badan pada umumnya lambat dan mantap;
pertumbuhan yang sangat cepat pada masa kanak-kanak telah selesai dan
perubahan-perubahan menginjak usia remaja mulai tampak. Pada usia ini
kita cenderung mengalami perubahan hormonal, berupa perubahan suara,
mulai tumbuhnya bulu-bulu di bagian tubuh tertentu, dan
penonjolan-penonjolan pada bagian tubuh tertentu bagi perempuan.
Pada tingkat usia ini system peredarn darah, pencernaan dan pernapasan
sudah berfungsi secara lengkap meskipun pertumbuhan masih terus
berlanjut. Parui-paru kita sudah hampir berkembang secara lengkap dan
tingkat respirasi orang dewasa. Tekanan darah meningkat menjadi sedikit
lebih rendah dari pada tekanan orang dewasa. Otak dan urat syaraf tulang
belakang ( spinal cord ) menjadi orang dewasa pada usia 10 tahun,
tetapi perkembangan sel-sel yg berkaitan dengan perkembangan mental
belum sempurna dan terus berlanjut selama beberapa tahun kemudian. Pada
usia 10 thun, mata kita telah mencapai ukuran dewasa dan fungsinya sudah
berkembang secara maksimal.
Masa remaja adalah saat ketika kita tidak lagi menjadi kanak-kanak,
tetapi belum memasuki usia dewasa. Meskipun begitu, ada juga di antara
kita, remaja, yg kekanak-kanakan atau remaja yg sudah mampu berpikir
layaknya orang dewasa. Saat masih kanak-kanak hampir sepenuhnya kita
bergantung pada orang lain, terutama orangtua atau wali kita. Masa
kanak-kanak adalah masa “ketergantungan aktif” ketika kita sepenuhnya
mengharapkan kasih-sayang dan perhatian orang lain. Tetapi pada masa
kanak-kanak kita juga sadar tantang ketergantungan kita dan berjuang
untuk membebaskan diri meskipun kita tidak sepenuhnya menyadari: bebas
dari apa atau kebebasan untuk apa ? Secara tidak langsung kita menjadi
sadar bahwa, meminjam ungkapan Norton, selam ini kita telah
“salah-diidentifikasi,” bahwa kita selama ini bukan “budak”, bahwa kita
adalah pribadi-pribadi yang sama dengan “orang lain” dalam kehidupan
kita-bukan sekedar “derivasi-derivasi”. Kita menjadi tergugah untuk
menemukan diri
kita.
Ketergugahan dan keingintahuan itulah yg merupakan titik yg akan
menjembatani antara masa kanak-kanak dan masa remaja. Tetapi bahkan masa
kanak-kanak kita yg diaktualisasikan secara lengkap pun belum dpat
mempersiapkan diri kita secara baik untuk menghadapi masa remaja. Tahap
krhidupan baru Ini memiliki nilai-nilai yg sama sekali unik, demikian
juga dengan kewajiban-kewajiban dan kebajikan-kebajikannya. Masa remaja
menuntut sebuah kehidupan baru yg lebih agresif dimana apa yg telah kita
pelajari pada masa kanak-kanak hanya memeliki sedikit peran dan
pengaruh.
Masa remaja juga biasanya dikaitkan dengan masa “puber” atau pubertas.
Istilah “puber” kependekan dari “pubertas”, berasal dri bahasa Latin.
Pubertas berarti kelaki-lakian dan menunjukan kedewasaan yg dilandasi
oleh sifat-sifat kelaki-lakian dan ditandai oleh kematangan fisik.
Istilah “puber” sendiri berasal dari akar kata ”pubes”, yg berarti
rambut-rambut kemaluan, yg menandakan kematangan fisik. Dengan demikian,
masa pubertas meliputi masa peralihan dari masa anak sampai tercapainya
kematangan fisik, yakni dari umur 12 tahun sampai 15 tahun. Pada masa
ini terutama terlihat perubahan-perubahan jasmaniah berkaitan dengan
proses kematangn jenis kelamin. Terlihat pula adanya perkembangan
psikososial berhubungan dengan ber fungsinya kita dalam lingkungan
social, yakni dengan melepaskan diri dari ketergantungan penuh kepada
orangtua, pembentukan rencana hidup dan system nilai-nilai yg baru.
Dalam literature Barat, remaja juga disebu sebagai adolescent dan masa
remaja disebut sebagai adolescentia atau adolesensia. Beberapa tokoh
psikologi menekankan pembahasan tentang adolesensia atau masa remaja
pada perubahan-perubahan penting yg terjadi di dalamnya. Jean Piaget,
misalnya, lebih menitik beratkan pada perubahan-perubahan yg dianggap
penting dengan memandang “adolesensia” sebagai suatu fase kehidupan,
dengan terjadinya perubahan-perubahan penting pada fungsi inteligensia,
yr tercakup dalam aspek kognitif seseorang.
Tokoh lain, Ana Freud, menggambarkan masa adolesensia sebagai suatu
proses perkembangan yg meliputi perubahan-perubahan berhubungan dengan
perkembangan psikoseksual, perubahan dalam hubungan kita dengan orangtua
dan cita-cita. F. Neidhart juga melihat masa adolesensia sebagai masa
peralihan ditintau dari kedudukan ketergantungannya dalam keluarga
menuju ke kehidupan dengan kedudukan “mandiri”.
Sedangkan E. H. Erikson mengemukakan timbulnya perasaan baru tentang
identitas dalam diri kita pada masa adolesensia. Terbentuknya gaya hidup
tertentu sehubungan dengan penempatan diri kita, yg tetap dapat dikenal
oleh lingkungan walaupun telah mengalami perubahan baik pada diri kita
maupun kehidipan sehari-hari.
Dalam pembahasan kemudian, istilah “adolesensia” diartikan sebagai “masa
remaja” dengan pengertian yg luas, meliputi seluruh perubahan yg
terjadi di dalamnya. Remaja merupakan masa peralihan antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa, yakni antara usia 12 sampai 21 tahun.
Mengingat pengertian remaja tersebut meninjukan pada masa peralihan
sampai tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan batasan umurnya.
Tetapi setidaknya dapat dikatakan bahwa masa remaja dimulai pada saat
timbulnya perubahan-perubahan berkaitan dengan tanda-tanda kedewasaan
fisik yakni pada usia 11 tahun atau mungkin 12 tahun pada anak permpuan
sedangkan pada anak laki-lakinumumnya terjadi di atas 12 tahun.
c. Mengenali Kebutuhan Psikologis Remaja
Konsepsi “kebutuhan” pada hakikatnya lebih berkaitan dengan
implikasi-implikasi social dari pada sekedar sebuah penggambaran tentang
perilaku manusia berkaitan dengan insting-insting yg dimilikinya.
Insting, berdasarkan definisinya, merupakan sebuah atribut bagi
seseorang individu. Kebutuhan mengisyaratkan kerjasama ( cooperation )
kelompok untuk dapat memenuhinya. Ia mengarahkan perhatian dari individu
kepada masyarakatnya dengan cara-cara yang, jika diperlukan, mungkin
digunakan oleh suatu kelompok untuk memodifikasi metodo-metodenya dengan
harapan mendapatkan pelbagai perubahan yg dihasilkan dalam reaksi
seorang individu.
Pelbagai jenis kebutuhan kita sebagai remaja selama ini telah di
kompilasikan dari kebutuhan-kebutuhan psikologis mendasar. Salah satu
penjelasan paling awal mengenai kebutuhan-kebutuhan remaja adalah bahwa
pada masa remaja pada umumnya kita merindukan pengalaman baru, rasa
aman, respons, dan pengakuan. Di usia ini kita seringkali merasa bahwa
rumah tempat kita tinggal telah memberi kita monotomi [bukan otonomi],
rasa tidak aman dan penolakan. Penyimpangan yg kita lakukan
kadang-kadang dapat digambarkan sebagai upaya yg salah arah untuk
menenukan kepuasan atau pemenuhan atas keinginan-keinginan kita yg
paling fundamental.
Salah satu kebutuhan psikologis kita yg paling penting dan juga
kebutuhan seluruh manusia adalah penerimaan oleh kelompok sosial di
sekitarnya. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan akan kasih sayang dalam
lingkungan dekat dalam rumah, penghormatan di antara teman-teman kita
sebaya dan apresiasi dari orangtua atau guru-guru yg mengajar kita.
Kebutuhan ini mengambil bentuk-bentuk yg berbeda pada tahap-tahap usia
yg berbeda dan dalam hubunganya dengan orang-orang berbeda. Tetapi
kebutuhan ini tampaknya muncul dari watak esensial manusia sebagai
makhluk social sebagai anggota kelompok sosisal tertentu.
Pengalaman akan penerimaan ini pada masa balita dan kanak-kanak
mengarahkan pada rasa aman yg kemudian membentuk salah satu bahan
penting untuk kesehatan mental semangat juang dari warga sipil atau
tentara yg karena diperkuat oleh perasaan ini, mampu menghadapi pelbagai
kesulitan dan kekecewaan tanpa kecemasan yg berlebihan. Hilanhnya
perasaan ini pada umumnya akn diikuti oleh rsa tertekan yg kemudian
dapat memeunculkan penyimpangan dan disharmoni mental. Anak-anak yg
ditolak atau tidak diinginkan pada masa balitanya lebih besar
kemungkinanya untuk menjadi anak-anak yg sulit diatur dan akan
menyulitkan para gurunya pda usia sekolah.
Bersamaan dengan kebutuhan ini, manusia pada umumnya juga memiliki
kebutuhan untuk “memberi dan menerima” untuk menunjukan rasa kasih
saying, merasakan penghormatan, mengekspresikan penghargaan. Pelbagai
studi kasus yg dilakukakn C.M. Fleming, misalnya, menunjukan efek-efek
yg merugikan akibat dihalanginya komplemen atas penerimaan oleh kelompok
sosial ini. Hilangnya rasa ini larangan atas kasih saying dalam bentuk
ekstrem mengarah pada penekanan yg berlebihan atas nilai
kepuasaan-kepuasaan pengganti semisal hasrat yg besar akan kekuasaa
ataau atas kesenangan.
Kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan untuk mempelajari hal-hal baru
kebutuhan untuk mengalami “petualangan-petualangan segar”. Kebutuhan ini
terkait erat dengan impuls organisme manusia terhadap pertumbuhan dan
perkembangan; tetapi tidak terbatas hanya pada pertumbuhan fisikal
semata. Kebutuhan ini tampaknya dirasakan secara terus-menerus sebagai
atribut umat manusia dari kelahiran hingga kematiannya. Pada masa
kanak-kanak, kebutuhan ini ditunjukan sebagai eksplorasi atas ruangan,
rumah, atau jalan. Pada tahap selanjutnya, kebutuhan ini kemudian meluas
hingga mencakup pengalaman-pengalaman baru di sekolah dan lingkungan;
dan, pada masa remaja atau dewasa, kebutuhan ini secara potensial meluas
sampai pada batas-batas pengetahuan mengenai suku, bangsa atau ras.
Penaklukannya dari satu langkah menuju langkah lainnya ditandai dengan
pengalaman akan hasilan pengakuan yg diberikan olah kelompok, atau
individu itu sendiri, pada fakta bahwa sebuah kemenangan baru telah
diraih.
Yang sepadan dengan kebutuhan ini adalah kebutuhan akan pemahaman
pencarian jawaban atas pelbagai pertanyaan berkaitan dengan apa yg
sedang terjadi, dan, (dalam peradabanyg kita kenal dengan baik), dari
usia empat atau lima tahun dan seterusnya, pertanyaan berkaitan dengan
mengapa hal-hal itu terjadi seperti sekarang ini. Pertanyaan-pertanyaan
metafisikal seseorang anak kecil secara langsung sejalan dengan
pemikiran keagamaan atau filosofis dari seorang remaja atau dewasa.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya diasosiasikan dengan kebutuhan
yg selalu hadir dengan mendapatkan wawasan berkaitan dengan pengalaman
yg terus berubah dan kesalingterkaitan yg juga terus bergeser daru umat
manusia sebagai makhluk sosial dalam pelbagai kelompok sosial dimana
anak itu merupakan salah seorang anggotanya.
Kebutuhan lain yg melengkapi kebutuhan akan petualangan dan pemahaman
ini adalah kebutuhan untuk melaksanakan tanggung jawab dalam jenis
tertentu untuk memberi sumbangan secara progresif melalui tindakan
tertentu bagi kesejahteraan kelompok. Seorang anak kecil yg berbahagia
dalam kehidupan keluarganya pada umumnya dapat dilibatkan untuk
melakukan kerjasama aktif dalam kehidupan keluarga. Seorang anak kecil
sebaiknya diizinkan untuk berbagi “tugas-tugas ringan” dengan ibu atau
ayahnya, maupun dengan saudara-saudaranya. Hal ini dimaksudkan untuk
memupuk rasa percaya diri dan tanggung jawab pada si anak agar si anak
merasa aman dan nyaman di rumahnya sendiri. Kebutuhan-kebutuhan yg kita
miliki sebagai remaja mempunyai keterkaitan satu sama lain yg tidak
dapat dipisahkan.
d. Pergaulan Bebas dan Pengaruhnya
Tingginya kasus penyakit Human Immunodeficiany Virus/Acquired Immnune
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), khususnya pada kelompok umur remaja,
salah satu penyebabnya akibat pergaulan bebas. Hasil penelitian di 12
kota di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31% remaja yang belum
menikah sudah pernah melakukan hubungan seksual.
Di kota Denpasar dari 633 pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA)
yang baru duduk di kelas II, 155 orang atau 23,4% mempunyai pengalaman
hubungan seksual.
Mereka terdiri atas putra 27% dan putri 18%. Data statistik nasional
mengenai penderita HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 75%
terjangkit hilangnya kekebalan daya tubuh pada usia remaja.
Demikian pula masalah remaja terhadap penyalahgunaan narkoba semakin
memprihatinkan. Berdasarkan data penderita HIV/AIDS di Bali hingga
Pebruari 2005 tercatat 623 orang, sebagian besar menyerang usia
produktif. Penderita tersebut terdiri atas usia 5-14 tahun satu orang,
usia 15-19 tahun 21 orang, usia 20-29 tahun 352 orang, usia 30-39 tahun
185 orang, usia 40-49 tahun 52 orang dan 50 tahun ke atas satu orang.
Semakin memprihatinkan penderita HIV/AIDS memberikan gambaran bahwa,
cukup banyak permasalahan kesehatan reproduksi yang timbul diantara
remaja. Oleh sebab itu mengembangan model pusat informasi dan konsultasi
kesehatan reproduksi remaja melalui pendidik (konselor) sebaya menjadi
sangat penting.
“Pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja menjadi
model pemberdayaan masyarakat yang bertujuan menumbuhkan kesadaran dan
peranserta individu memberikan solusi kepada teman sebaya yang mengalami
masalah kesehatan reproduksi”.
Pelatihan Managemen tersebut diikuti 24 peserta utusan dari delapan
kabupaten dan satu kota di Bali berlangsung selama empat hari.
Belum lama ini ada berita seputar tentang keinginan sekelompok
masyarakat agar aborsi dilegalkan, dengan dalih menjunjung tinggi nilai
hak azasi manusia. Ini terjadi karena tiap tahunnya peningkatan kasus
aborsi di Indonesia kian meningkat, terbukti dengan pemberitaan di media
massa atau TV setiap tayangan pasti ada terungkap kasus aborsi. Jika
hal ini di legalkan sebgaimana yang terjadi di negara-negara Barat akan
berakibat rusaknya tatanan agama, budaya dan adat bangsa. Berarti telah
hilang nilai-nilai moral serta norma yang telah lama mendarah daging
dalam masyarakat. Jika hal ini dilegal kan akan mendorong terhadap
pergaulan bebas yang lebih jauh dalam masyarakat.
Berkembang opini, orang tidak perlu menikah untuk melakukan hubungan
seks. Sedangkan pelepasan tanggung jawab kehamilan bisa diatasi dengan
aborsi. Legalisasi aborsi bukan sekedar masalah-masalah kesehatan
reproduksi lokal Indonesia, tapi sudah termasuk salah satu pemaksaan
gaya hidup kapitalis sekuler yang dipropagandakan PBB melalui ICDP
(International Conference on Development and Population) tahun 1994 di
Kairo Mesir.
Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami ;
penderitaan kehilangan harga diri (82%), berteriak-teriak histeris
(51%), mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%), ingin bunuh diri
(28%), terjerat obat-obat terlarang (41%), dan tidak bisa menikmati
hubungan seksual (59%).
Oleh sebab itu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini
adanya perhatian khusus dari orang tua remaja tersebut untuk dapat
memberikan pendidikan seks yang baik dan benar. Dan memberikan kepada
remaja tersebut penekanan yang cukup berarti dengan cara meyampaikan;
jika mau berhubungan seksual, mereka harus siap menanggung segala
risikonya yakni hamil dan penyakit kelamin.
Namun disadari, masyarakat (orangtua) masih memandang tabu untuk
memberikan pendidikan, pengarahan sex kepada anak. Padahal hal ini akan
berakibat remaja mencari informasi dari luar yang belum tentu kebenaran
akan hal sex tersebut.
2. Perilaku Seks Dan Kehamilan Pada Remaja (Fakta dan Data)
a. Perilaku Seks Remaja
ü Data
BKKBN 2010, di kota Denpasar dari 633 pelajar Sekolah Menengah Tingkat
Atas (SLTA) yang baru duduk di kelas II, 155 orang atau 23,4% mempunyai
pengalaman hubungan seksual.
Mereka terdiri atas putra 27% dan putri 18%. Data statistik nasional
mengenai penderita HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 75%
terjangkit hilangnya kekebalan daya tubuh pada usia remaja.
ü Masih
dari BKKBN.go.id, data Yayasan Kusuma Buana (YKB) tahun 1993
menyebutkan, 30 persen remaja di 12 kota besar sudah melakukan hubungan
seks sebelum menikah. Data PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia) 1997, menyebutkan, di Lampung 75 persen remaja sudah
berhubungan seks.
ü Data
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2010
menunjukkan, 51% remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pra nikah.
Fenomena mengkhawatirkan ini juga muncul di Surabaya dengan tingkat
kejadian 54%, Bandung 47%, dan Medan 52%
ü Data
Komnas Perlindungan Anak dari Januari-Juni 2008 di 33 provinsi, 97
persen remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno, 93,7 persen remaja
usia SMP dan SMA pernah ciuman, melakukan genital dan oral seks, 62,7
persen remaja putri tidak perawan dan 21,2 persen remaja melakukan
aborsi.
Sebagian remaja, yaitu 63 persen, melakukan hubungan seks di tempat kost
pria dan 14 persen di tempat kost putri. Faktor paling besar (300
persen) remaja terpengaruh kepada hubungan seks pra nikah disebabkan
adanya pacar, bergaul dengan teman yang setuju dengan hubungan seks
sebelum menikah dan terpengaruh pada kelompok teman yang mengajak
perilaku tidak sehat.
b. Kehamilan dan Aborsi Pada Remaja
ü Pada
tahun 2010, Kepala BKKBN Sumut Indra Wirdhana, menyebutkan 2,5 juta jiwa
perempuan pernah melakukan aborsi dan dari jumlah ini 27 persen atau
700 ribu dilakukan oleh remaja. Sedangkan kasus AIDS hingga Desember
2009 sebesar 19.973 kasus dan dari jumlah ini 50,3% ditularkan melalui
hubungan heteroseksual.
ü Jumlah
kasus pengguguran kandungan (aborsi) di Indonesia setiap tahunnya
mencapai 2,3 juta, dan 30 persen di antaranya dilakukan oleh remaja.
(LKBN Antara, 16 Februari 2009)
ü Survei
yang pernah dilakukan pada sembilan kota besar di Indonesia menunjukkan
KTD mencapai 37.000 kasus, 27 persen di antaranya terjadi dalam
lingkungan pranikah dan 12,5 persen adalah pelajar. ((LKBN Antara, 16
Februari 2009)
3. Cara Mengatasi Masalah Kehamilan Remaja
a. Sex Education
Peran orang tua dan guru di sekolah sangat penting dalam hal ini. Di
antara pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu
diterapkan dan diajarkan kepada anak dan remaja adalah:
1. Menanamkan rasa malu pada anak dan remaja.
Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan
anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya
ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya.
Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana Muslimah menutup aurat
juga penting untuk menanamkan rasa malu sekaligus mengajari anak tentang
auratnya.
2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan.
Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan
mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh
Allah. Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun
semata-mata karena fungsi yang berbeda yang kelak akan diperankannya.
Mengingat perbedaan tersebut, Islam telah memberikan tuntunan agar
masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga. Islam menghendaki
agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, dan perempuan memiliki
kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai
laki-laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari
kecil anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya.
Mereka juga harus diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya. Ibnu Abbas ra. berkata:
Rasulullah saw melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. (HR al-Bukhari).
3. Memisahkan tempat tidur laki-laki dan wanita.
Usia antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan
yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak
hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di
luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan
kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat
tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orangtuanya, setidaknya anak
telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar
melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orangtuanya.
Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya
yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan
kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.
4. Mengenalkan waktu berkunjung ke kamar orang tua (meminta izin dalam 3 waktu).
Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki
ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah:
sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini
ditetapkan mengingat di antara ketiga waktu tersebut merupakan waktu
aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka
(Lihat: QS al-Ahzab [33]: 13). Jika pendidikan semacam ini ditanamkan
pada anak maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan-santun dan
etika yang luhur.
5. Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin.
Mengajari anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih
dan sehat sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus
dibiasakan untuk buang air pada tempatnya (toilet training). Dengan cara
ini akan terbentuk pada diri anak sikap hati-hati, mandiri, mencintai
kebersihan, mampu menguasai diri, disiplin, dan sikap moral yang
memperhatikan tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat.
6. Mengenalkan mahram-nya.
Tidak semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja
perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan telah ditentukan oleh
syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati.
Dengan memahami kedudukan perempuan yang menjadi mahram, diupayakan agar
anak mampu menjaga pergaulan sehari-harinya dengan selain wanita yang
bukan mahram-nya.
Inilah salah satu bagian terpenting dikenalkannya kedudukan orang-orang
yang haram dinikahi dalam pendidikan seks anak. Dengan demikian dapat
diketahui dengan tegas bahwa Islam mengharamkan incest, yaitu pernikahan
yang dilakukan antar saudara kandung atau mahram-nya. Siapa saja mahram
tersebut, Allah Swt telah menjelaskannya dalam surat an-Nisa’ (4) ayat
22-23.
7. Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata.
Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan
jenisnya. Namun, jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa
kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Begitu
pula dengan mata yang dibiarkan melihat gambar-gambar atau film yang
mengandung unsur pornografi. Karena itu, jauhkan anak-anak dari gambar,
film, atau bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.
8. Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilât.
Ikhtilât adalah bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram
tanpa adanya keperluan yang diboleh-kan oleh syariat Islam. Perbuatan
semacam ini pada masa sekarang sudah dinggap biasa. Mereka bebas
mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan; seolah tidak ada
lagi batas yang ditentukan syariah guna mengatur interaksi di antara
mereka.
Ikhtilât dilarang karena interaksi semacam ini bisa menjadi mengantarkan
pada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Karena itu, jangan biasakan
anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi percampuran
laki-laki dan perempuan secara bebas.
9. Mendidik anak agar tidak melakukan khalwat.
Dinamakan khalwat jika seorang laki-laki dan wanita bukan mahram-nya
berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Biasanya mereka memilih
tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
Sebagaimana ikhtilât, khalwat pun merupakan perantara bagi terjadinya
perbuatan zina. Anak-anak sejak kecil harus diajari untuk menghindari
perbuatan semacam ini. jika bermain, bermainlah dengan sesama jenis.
Jika dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk tidak
ber-khalwat.
10. Mendidik etika berhias.
Berhias, jika tidak diatur secara islami, akan menjerumuskan seseorang
pada perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau
mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Tujuan pendidikan
seks dalam kaitannya dengan etika berhias adalah agar berhias tidak
untuk perbuatan maksiat.
11. Mengenalkan anak akan Ihtilâm (mimpi basah) dan haid.
Ihtilâm adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia balig.
Adapun haid dialami oleh anak perempuan. Mengenalkan anak tentang
ihtilâm dan haid tidak hanya sekadar untuk bisa memahami anak dari
pendekatan fisiologis dan psikologis semata. Jika terjadi ihtilâm dan
haid, Islam telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan
masalah tersebut, antara lain kewajiban untuk melakukan mandi. Yang
paling penting, harus ditekankan bahwa kini mereka telah menjadi Muslim
dan Muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariah.
Artinya, mereka harus diarahkan menjadi manusia yang bertanggung jawab
atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat.
b. Pahami Resiko Hamil Diluar Nikah
i. Memiliki anak di luar nikah
Remaja
yang mengalami kehamilan diluar nikah, akan menanggung malu lahir dan
batin. Jika sang anak dipertahankan, maka ia akan memiliki anak yang
dilahirkan tidak dari proses perkawinan.
Perasaan malu yang tak akan berujung akan mereka alami sepanjang hidupnya.
ii. Aborsi Ilegal
Aborsi memiliki risiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap
kesehatan maupun keselamatan hidup seorang wanita. Tidak benar jika
dikatakan bahwa seseorang yang melakukan aborsi ia ” tidak merasakan
apa-apa dan langsung boleh pulang “.
Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap wanita,
terutama mereka yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan
kehamilan yang sudah terjadi. Resiko kesehatan terhadap wanita yang
melakukan aborsi berisiko kesehatan dan keselamatan secara fisik dan
gangguan psikologis.
Dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd; Risiko
kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita pada
saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi adalah ;
- Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
- Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
- Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
- Rahim yang sobek (Uterine Perforation).
- Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
- Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita),
- Kanker indung telur (Ovarian Cancer).
- Kanker leher rahim (Cervical Cancer).
- Kanker hati (Liver Cancer).
- Kelainan
pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan
berikutnya.
- Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi ( Ectopic Pregnancy).
- Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
- Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari
segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga
memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang
wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion
Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat
dalam ” Psychological Reactions Reported After Abortion ” di dalam
penerbitan The Post-Abortion Review.
Oleh sebab itu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini
adanya perhatian khusus dari orang tua remaja tersebut untuk dapat
memberikan pendidikan seks yang baik dan benar. Dan memberikan kepada
remaja tersebut penekanan yang cukup berarti dengan cara meyampaikan;
jika mau berhubungan seksual, mereka harus siap menanggung segala
risikonya yakni hamil dan penyakit kelamin.
Namun disadari, masyarakat (orangtua) masih memandang tabu untuk
memberikan pendidikan, pengarahan sex kepada anak. Padahal hal ini akan
berakibat remaja mencari informasi dari luar yang belum tentu kebenaran
akan hal sex tersebut.
c. Regulasi / Peraturan Peundang-undangan
Dari sisi pencegahan, undang-undang pun telah dibuat agar para remaja
tidak terjerumus kepada kehamilan diluar nikah yang kebanyakan berujung
pada aborsi.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Bab XIV tentang
kejahatan terhadap kesusilaan pasal 229 ayat (1) dikatakan bahwa
perbuatan aborsi yang disengaja atas perbuatan sendiri atau meminta
bantuan pada orang lain dianggap sebagai tindakan pidana yang diancam
dengan hukuman paling lama 4 tahun penjara atau denda paling banyak tiga
ribu rupiah.
Ayat (2) pasal 299 tersebut melanjutkan bahwa apabila yang bersalah
dalam aborsi tersebut adalah pihak luar ( bukan ibu yang hamil ) dan
perbuatan itu dilakukan untuk tujuan ekonomi, sebagai mata pencarian,
maka hukumannya dapat ditambah sepertiga hukuman pada ayat (1) dia atas.
Apabila selama ini perbuatan itu dilakukan sebagai mata pencarian, maka
dapat dicabut haknya untuk melakukan mata pencarian tersebut. Kemudian
pada pasal 346 dikatakan bahwa wanita yang dengan sengaja menggugurkan
kandungannya atau meyuruh orang lain untuk melakukan hal itu diancam
hukuman penjara paling lama empat tahun.
Pada pasal 347 ayat (1) disebutkan orang yang menggugurkan atau
mematikan kehamilan seorang wanita tanpa persetujuan wanita itu diancam
hukuman paling lama 12 tahun penjara, dan selanjutnya ayat (2)
menyebutkan jika dalam menggugurkan kandungan tersebut berakibat pada
hilangnya nyawa wanita yang mengandung itu, maka pihak pelaku dikenakan
hukuman penjara paling lama 15 tahun.
Dalam pasal 348 ayat (1) disebutkan bahwa orang yang dengan sengaja
menggugurkan kandungan seorang wanita atas persetujuan wanita itu
diancam hukuman paling lama 15 tahun penjara, dan ayat (2) melanjutkan,
jika dalam perbuatan itu menyebabkan wanita itu meninggal, maka pelaku
diancam hukuman paling lama 17 tahun penjara. Dengan demikian, perbuatan
aborsi di Indonesia termasuk tindakan kejahatan yang diancam dengan
hukuman yang jelas dan tegas.
Daftar Pustaka
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/10/pengertian-remaja.html
http://yudhim.blogspot.com/2008/01/cara-mengatasi-pergulan-bebas.html
http://ninahamzah.wordpress.com/akibat-terjadinya-pergaulan-bebas/
http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/13/pendidikan-seks-untuk-anak-tabu-atau-perlu/
http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/13/pendidikan-seks-untuk-anak-tabu-atau-perlu/
Jumat, 04 Mei 2012
Strategi Mengatasi Masalah Kehamilan Remaja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar