BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan tidak hanya berakhir dengan tercapainya kematangan
fisik. Namun perkembangan merupakan proses yang berkesinambungan, mulai
dari masa konsepsi berlanjut ke masa sesudah lahir, masa bayi,
anak-anak, remaja, dewasa, dan menjadi tua hingga meninggal dunia.
Perubahan-perubahan fisik yang terjadi sepanjang hidup, mempengaruhi
sikap, proses kognitif, dan perilaku individu. Hal ini berarti bahwa
permasalahan yang harus diatasi juga mengalami perubahan dari waktu ke
waktusepanjang rentang kehidupan. Dengan semakin lanjut usia seseorang
secara berangsur-angsur ia mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial para lansia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Pembentukan hubungan intim merupakan tantangan utama yang dihadapi
oleh orang yang memasuki masa dewasa akhir. Selain itu ketika seseorang
mendekati usia dewasa akhir, pandangan mereka mengenai jarak kehidupan
cenderung berubah. Mereka tidak lagi memandang kehidupan dalam
pengertian waktu masa anak-anak, seperti cara anak
muda memandang kehidupan, tetapi mereka mulai memikirkan mengenai tahun
yang tersisa untuk hidup. Pada masa ini, banyak orang yang membangun
kembali kehidupan mereka dalam pengertian prioritas, menentukan apa yang
penting untuk dilakukan dalam waktu yang masih tersisa.
Sehingga hal ini secara perlahan mengakibatkan terjadinya kehilangan dalam berbagai hal yaitu: kehilangan peran di tengah masyarakat, hambatan kontak fisik dan berkurangnya komitmen.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana hubungan sosial yang berkembang pada masa dewasa akhir?
2. Bagaimana perbedaan perkembangan psikososial pada masa dewasa akhir dengan masa perkembangan lainnya?
3. Bagaimana menghadapi kematian serta kehilangan pada masa dewasa akhir?
1.3 Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui bagaimana hubungan sosial yang berkembang pada masa dewasa akhir.
2. Mengetahui perbedaan perkembangan psikososial pada masa dewasa akhir dengan perkembangan lainnya.
3. Mengetahui bagaimana menghadapi kematian serta kehilangan pada masa dewasa akhir.
BAB II
PEMBAHASAN
Lingkungan Sosial dan Budaya dari Orang-Orang Dewasa Lanjut
Dewasa akhir merupakan periode akhir dalam rentang kehidupan manusia
di dunia ini. Kisaran usia yang ada pada periode ini adalah enam puluh
tahun ke atas. Pada periode ini terjadi penurunan atau kemunduran yang
disebabkan oleh faktor fisik dan psikologis.
Teori-Teori Sosial Mengenai Penuaan
a. Teori Pemisahan
Teori pemisahan (disengagement theory) menyatakan bahwa orang-orang
dewasa lanjut secara perlahan-lahan menarik diri dari masyarakat
(Cumming dan Henry, 1961). Dimana adanya aktivitas timbal-balik saling
menjauhi antara orang-orang dewasa lanjut dengan masyarakat. Berdasarkan
teori ini orang-orang dewasa lanjut mengembangkan suatu kesibukan
terhadap dirinya sendiri (self preoccupation), mengurangi hubungan
emosional dengan orang lain, dan menunjukan penurunan ketertarikan
terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan yang dianggap mampu
meningkatkan kepuasan hidup di kalangan orang-orang dewasa lanjut. Namun
sebenarnya ketika individu terus hidup secara aktif, energik, dan
produktif sebagai orang yang dewasa lanjut, kepuasan mereka tidak
menurun bahkan seringkali meningkat.
b. Teori Aktivitas
Teori aktivitas (activity theory) menyatakan bahwa semakin
orang-orang dewasa lanjut aktif dan terlibat, semakin kecil kemungkinan
mereka menjadi renta dan semakin besar kemungkinan mereka merasa puas
dengan kehidupannya. Teori ini menjelaskan bahwa orang-orang dewasa
lanjut seharunya melanjutkan peran-peran mereka, jika memang tidak
memungkinkan untuk menjalankan peran sebelumnya, penting bagi mereka
untuk menemukan peran pengganti untuk memelihara keaktifan dan
keterlibatan mereka dalam aktivitas-aktivitas mereka dalam
kemasyarakatan, karena orang-orang yang memiliki tempat untuk berbagi
ide, perasaan, dan masalah, merasa lebih bahagia dan lebih sehat
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki tempat untuk berbagi
(Traupmann dan Hatfield, 1981).
c. Teori Rekontruksi Gangguan Sosial
Teori rekontruksi gangguan sosial (social breakdown reconstruction
theory) manyatakan bahwa penuaan dikembangkan melalui fungsi psikologis
negative yang dibawa oleh pandangan-pandangan negatif tentang dunia
sosial dari orang-orang dewasa lanjut dan tidak memadainya penyediaan
layanan untuk mereka. Rekontruksi sosial dapat terjadi dengan mengubah
pandangan dunia sosial dari orang-orang dewasa lanjut dan dengan
menyediakan sistem-sistem yang mendukung mereka (Kuypers dan Bengston).
Stereotipe Orang-Orang Dewasa Lanjut
Secara kronologis, orang usia lanjut dapat dikatakan sebagai orang
yang telah berumur 60 atau 65 tahun ke atas (Kalish, 1975; Bischof,
1976; Hurlock, 1980 Dixon dan Bouma 1976). Dasarnya berpatokan pada
ekonomi, seperti mereka sudah pensiun atau pajak penghasilan yang sudah
ditiadakan. Terjadinya perubahan fisik yang menonjol sebagai perubahan
postur tubuh, gaya berjalan, roman muka, warna rambut, suara, kekenyalan
kulit, kemampuan pendengaran dan melihat. Terjadinya perubahan tingkah
laku, yaitu orang yang sudah tua, menjadi pelupa, reaksi terhadap
rangsangan yang makin lamban, perubahan pola tidur, gerakan motorik yang
lamban dan sebagainya. Juga terdapat pendapat bahwa orang lansia
bersifat konservatif (yaitu mempertahankan cara-cara lama dan tidak
ingin adanya perubahan). Orang lansia juga sudah dipensiunkan atau
diberhentikan dari tuntutan-tuntutan sosial. Ditempatkan pada
rumah-rumah pemeliharaan dan menjadi kakek-nenek. Secara praktis,
umumnya orang mendefinisikan lansia dari segi umur kronologis, yaitu
sekitar umur 65 tahun. Menurut Erikson (dalam Elida Prayitno) bahwa
proses penuaan bukan merupakan proses yang patologis atau menyimpang,
kecuali kalau sejarah perkembangan individu yang menjadi tua itu
terganggu dimulai sejak masih bayi, masa pra sekolah, remaja dan usia
pertengahan dalam kondisi yang juga menyimpang. Dalam hal ini dapat
dipahami bahwa perkembangan seseorang merupakan proses yang
berkelanjutan dan dipengaruhi oleh proses perkembangan sebelumnya.
Isu- Isu Kebijakan Terhadap Komunitas
Komunitas usia lanjut dan status orang usia lanjut di dalam komunitas
ini memunculkan isu-isu kebijakan mengenai kesejahteraan orang-orang
usia lanjut. Komunitas usia lanjut juga membawa beragam permasalahan
yang melibatkan perawatan kesehatan. Kenaikan biaya kesehatan saat ini
menyebabkan timbulnya perhatian yang besar. Salah satu faktor yang
berkontribusi terhadap kenaikan biaya kesehatan adalah meningkatnya
jumlah orang-orang dewasa lanjut.
Suatu perhatian khusus tertuju ketika banyak permasalahan kesehatan
orang usia lanjut yang lebih bersifat kronis daripada akut, sementara
system pengobatan masih bersandarkan pada model “pemberian obat” (a cure) daripada “perawatan” (a care).
Eldercare adalah pengasuhan secara fisik dan emosional
terhadap anggota-anggotakeluarga yang berusia lanjut, apakah itu
membantu secara fisik, merawat setiap harinya, atau bertanggung jawab
terhadap pengaturan dan pengawasan perawatan. Isu penting yang muncul di dalam erdercare ini adalah bagaimana cara terbaik menyelenggarakannya.
Isu kebijakan lainnya mengenai penuaan adalah ketidakadilan
generational, yang menyatakan bahwa komunitas orang usia lanjut tidak
adil terhadap anggota-anggota yang lebih muda karena orang-orang dewasa
lanjut menumpuk keuntungan dengan menerima lebih besar alokasi sumber
daya yang seharusnya tidak di terima.
Penghasilan
Orang usia lanjut yang miskin merupakan pusat yang khusus. Tingkat
kemiskinan ditentukan oleh pendapatan minuman yang diperlukan untuk
menopang keluarga-keluarga dengan variasi jumlah anggotanya. Mayoritas
orang-orang dewasa lanjut menghadapi suatu kehidupan dengan pendapatan
yang berkurang.
Pengaturan Tempat Tinggal
Satu stereotype dari orang-orang dewasa lanjut adalah bahwa mereka
seringkali tinggal di dalam institusi-institusi—rumah sakit, rumah sakit
jiwa, panti jompo,dll. Semakin tua seseorang, semakin besar hambatan
mereka untuk tinggal sendirian. Mayoritas orang dewasa lanjut yang
tinggal sendiri adalah janda. Sebagaimna orang-orang dewasa muda,
tinggal sendirian sebagai orang dewasa lanjut tidaklah berarti
kesepian.Orang-orang dewasa lanjut yang dapat menopang dirinya sendiri
ketika hidup sendiri seringkali memiliki kesehatan yang baik dan sedikit
ketidakmampuan, dan mereka selalu memiliki hubungan social dengan sanak
keluarga,teman, dan para tetangga.
ETNISITAS, GENDER, DAN KEBUDAYAAN
Etnisitas dan Gender
Informasi perbandingan mengenai orang-orang Negro Amerika, orang
Hispanik-Amerika, dan orang-orang Amerika berkulit putih menunjukkan
suatu kemungkinan kesulitan ganda bagi orang-orang lanjut usia dari
etnis minoritas, yang menghadapi permasalahan-permasalahan yang terkait
baik dengan ageismedan rasisme.
Baik kekayaan dan kesehatan pada orang lanjut usia dari etnis
minoritas menurun lebih cepat di bandingkan orang lanjut usia amerika
yang berkulit putih. Orang-orang lanjut usia dari etnis minoritas sering
sakit tetapi lebih jarang mendapat kesempatan untuk memperoleh
perawatan. Mereka lebih sering memiliki riwayat pendidikan yang rendah ,
pengangguran, kondisi pemukiman yang buruk, harapan-harapan hidup yang
pendek di bandingkan orang lanjut usia Amerika yang berkulit putih.dan
banyak pekerja dari etnis minoritas yang tidak pernah menikmati jaminan
social dan keuntungan perawatan kesehatan dimana penghasilan mereka
member kostribusi, karena mereka meninggal sebelum mencapai usia yang
memenuhi syarat untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tersebut.
Peran-Peran Gender
Beberapa ahli perkembangan percaya bahwa terjadi penurunan feminitas
pada wanita dan penurunan maskulinitas pada laki-laki saat mereka
mencapai tahun-tahun masa dewasa akhir. Khususnya, di dalam
wilayah-wilayah seperti peran-peran gender. Seperti halnya,
perubahan-perubahan sosio-historis yang terjadi dan lebih sering
diteliti dalam penyelidikan-penyelidikan masa hidup, apa yang orang
persepsikan sebagai pengaruh usia mungkin adalah pengaruh kohort.
Kebudayaan
Ada 7 faktor yang paling sering di gunakan untuk meramalkan status
tinggi bagi orang lanjut usia di dalam suatu kebudayaan adalah:
1. Orang lanjut usia memiliki pengetahuan yang bernilai
2. Orang lanjut usia mengkontrol sumber-sumber penting keluarga/komunitas
3. Orang lanjut usia diperkenankan untuk terlibat di dalam fungsi-fungsi yang berguna dan berharga sejauh mungkin
4. Terdapat kontinuitas peran sepanjang masa hidup
5. Perubahan peran yang terkait dengan usia melibatkan tanggung
jawab yang lebih besar, otoritas dan kemampuan untuk member nasehat
6. Keluarga besar merupakan bentuk keluarga yang umum dalam kebudayaan, dan orang lanjut usia terintegrasi di dalamnya
7. Kebudayaannya lebih bersifat kolektivitik daripada individualistik
KELUARGA DAN HUBUNGAN SOSIAL
Pasangan Usia Lanjut, Gaya Hidup, Kencan, dan Persahabatan
Masa saat mulai pension sampai meninggal seringkali disebut sebagai
“tahap akhir dalam proses pernikahan”. Pensiun mengubah gaya hidup
pasangan dan membutuhkan adaptasi. Kebahagian pernikahan sebagai seorang
dewasa lanjut juga dipengaruhi oleh kemampuan masing-masing pasangan
untuk menghadapi konflik-konflik personal, termasuk penuaan, sakit, dan
tentunya kematian.
Sedikit di antara kita yang membayangkan pasangan usia lanjut yang
tertarik pada persahabatan yang bersifat seksual daripada sekedar
nonseksual, mungkin kita melihat mereka tertarik dalam permainan kartu
atau suatu percakapan di ruang depan, tidak lebih dari itu.
Peristiwa-peristiwa kehidupan barangkali berpegaruh terhadap
persahabatan kita.
Menjadi Kakek atau Nenek
Kita secara umum berpikir mengenai para kakek/nenek sebagai orang
tua, tetapi terdapat banyak kakaek atau nenek yang berusia setengah baya
juga memiliki setidaknya satu cucu, dan kebanyakan memiliki kontak yang
regular dengan cucu-cucu mereka.bagi yang lainnya, menjadi kakek atau
nenek merupakan sumber pemenuhan emosional,membangkitkan perasaan akan
persahabatan, dan kepuasaan yang mungkin telah hilang pada relasi awal
orang dewasa dengan anak-anak.
Peran kakek atau nenek mungkin memiliki fungsi-fungsi yang berbeda di
dalam keluarga yang berbeda, di dalamnya kelompok-kelompok etnik dan
kebudayaan yang brbeda, dan di dalam situasi-situasi yang berbeda-beda.
Di dalam figure yang jauh , kakek atau nenek penuh kebaikan namun
interaksi jarang terjadi.
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN, KEPUASAN HIDUP, DAN PENUAAN YANG SUKSES
Hakikat Perkembangan Kepribadian
Pada teoritis psikoanalisis Frued dan Jung
memandang usia lanjut mirip dengan masa kanak-kanak. Para ahli
perkembangan memandang bahwa usia lanjut lebih konstruktif dan adaptif.
Pase Akhir Erikson:
Integritas Versus Keputusasaan
Erikson (1968) percaya bahwa masa dewasa akhir
dicirikan oleh tahap terakhir dari delapan tahapan siklus kehidupan,
yaitu integritas versus keputusasaan (integrity versus despair).
Pengolahan Kembali Tahapan akhir Erikson oleh Robert Peck
Robert Peck (1968) diferensiasi versus kesibukan dengan peran (differentiation versus role preoccupation)
merupakan tugas perkembangan dari Peck, dimana orang-orang dewasa
lanjut harus mendefinisikan dirinya dengan istilah yang berbeda dari
peran-peran kerja. Peck percaya orang-orang dewasa lanjut perlu mengejar
serangkaian aktifitas yang bernilai sehingga waktu yang sebelumnya
dihabiskan di dalam suatu pekerjaan dan dengan anak-anak dapat terisi.
Kekhawatiran pada tubuh versus kesibukan dengan tubuh (body transcendence versus body preoccupation)
merupakan tugas perkembangan dari peck di mana orang-orang dewasa
lanjut harus mengatasi penurunan kesehatan fisik, seiring dengan
menuanya orang dewasa lanjut, mereka mungkin menderita penyakit-penyakit
kronis dan tentu saja penurunan kapasitas-kapasitas fisiknya.Melampaui
ego versus kesibukan dengan ego (ego transcendence versus ego
preoccupation) merupakan tugas perkembangan dari Peck di mana
orang-orang dewasa lanjud harus menyadari saat kematian tidak dapat di
hindari dan mungkin tidak terlalu jauh, mereka merasa tenteram dengan
dirinya sendiri dengan menyadari bahwa mereka telah memberi sumbangan
untuk masa depan melalui pengasuhan yang kompeten terhadap anak-anak
atau melalui pekerjaan dan ide-ide mereka.
Tinjauan Hidup
Tinjauan hidup (live review) adalah suatu tema umum didalam
teori-teori perkembangan kepribadian pada masa dewasa akhir. Tinjauan
hidup melibatkan refleksi kembali pada pengalaman-pengalaman kehidupan
seseorang, melakukan evaluasi terhadapnya, menafsirkan, dan selalu
menafsirkan lagi. Tinjauan hidup dapat diamati pertama kali didalam
lamunan dan pikiran-pikiran yang tidak berati mengenai diri sendiri dan
sejarah kehidupan diri. Pengorganisasian kembali masa lalu dapat
memberikan suatu gambaran yang lebih sahih bagi individu, memeberikan
makna baru dan signifikasi terhadap kehidupan seseorang. Hal itu dapat
juga membantu mempersiapkan individu menghadapi kematian. Di dalam suatu
studi, orang-orang dewasa lanjut yang teropsesi pada masa lalu kurang
mampu beradaptasi dibandingkan orang-orang dewasa lanjut yang
mengintegrasikan masa lalu dan masa sekarang.
Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup (live statisfication) adalah kesejahteraan psikologis
secara umum atau kepuasan terhadap kehidupan secara keseluruhan.
Kepuasan hidup digunakan secara luas sebagai indeks kesejahteraan
psikologis pada orang-orang dewasa lanjut.
Orang-orang dewasa lanjut dengan pendapatan yang layak dan kesehatan
yang baik lebih cenderung untuk puas dengan kehidupannya di bandingkan
rekan sebayanya yang memiliki pendapatan kecil dan kesehatan yang buruk.
Orang-orang dewasa lanjut yang memiliki jaringan sosial pertemanan dan
keluarga yang luas juga lebih puas dengan hidupnya dibandingkan dengan
orang-orang dewasa lanjut yang terisolasi secara sosial.
Beberapa peneliti mempercayai keterikatan yang dekat dengan satu atau
lebih orang lebih penting dari pada jaringan dukungan secara
keseluruhan. Hal yang menarik, orang-orang dewasa lanjut sering kali
memiliki persepsi yang lebih optimis mengenai perkembangan akhir
kehidupannya dari pada orang-orang dewasa yang berusia muda atau paruh
baya. Orang-orang dewasa lanjut lebih suka memilih gambaran sifat-sifat
yang optimis mengenai perkembangan akhir kehidupannya dibandingkan
rekan-rekannya yang lebih.
Penuaan yang Berhasil
Berita baik mengenai proses penuaan adalah bahwa dengan menolak
penyakit, banyak dari kemampuan kita menurun secara lebih perlahan,
dengan cara diet yang sesuai, olah raga, stimulasi mental yang layak,
serta relasi dan dukungan sosial yang baik. Kita lebih menekankan bahwa
dengan mengedepankan suatu kehidupan yang aktif dari pada pasif akan
diperoleh keuntungan-keuntungan fisik dan psikologis. Proses penuaan
yang berhasil membutuhkan usaha dan keterampilan-keterampilan mengatasi
masalah. Orang-orang dewasa lanjut yang mengembangkan suatu komitmen
terhadap kehidupan yang aktif dan percaya bahwa pengembangan
keterampilan-keterampilan mengatasi masalah dapat menghasilkan kepuasan
hidup yang lebih besar, cenderung lebih berhasil melalui proses penuaan
dibandingkan mereka yang tidak membuat komitmen.
Optiisasi selektif dengan model kompensasi (selective optimization
with compentsation model) menyatakan bahwa penuaan yang sukses terkait
dengan 3 faktor utama: seleksi, optimisasi, dan kompensasi. Kompensasi
menjadi relefan ketika tugas-tugas kehidupan membutuhkan suatu tingkat
kapasitas tertentu melebihi tingkatan saat ini dari kemampuan seorang
dewasa lanjut yang potensial. Orang-orang dewasa lanjut secara khusus
butuh untuk berkompensasi dalam situasi yang menuntut kemampuan fisik
atau mental yang tinggi, seperti saat berpikir tentang dan mengingat
sesuatu yang baru dengan cepat, bereaksi secara tepat saat mengemudikan
mobil, atau berlar cepat. Sakit di usia lanjut membuat kebutuhan akan
kompensasi menjadi nyata.
Proses optimisasi selektif dengan kompensasi mungkin menjadi efektif
saat kehilangan menjadi suatu bagian penting dari kehidupan seseorang.
Kehilangan merupakan dimensi yang umum dari usia lanjut, meskipun ada
variasi yang luas didalam hakikat dari kehilangan yang terlibat.
Individu yang menua mungkin ikut serta dalam seleksi, optimisasi, dan
kompensasi, tetapi bentuk yang khusus dari adaptasi akan bervariasi
tergantung pada sejarah kehidupan, pola keinginan, nilai-nilai,
kesehatan, keterampilan, dan sumberdaya dari masing-masing individu.
GAMBARAN PERKEMBANGAN MASA HIDUP
Dr. Jack Kevorkian terkenal sebagai “dokter pembunuhan“ karena
mengajar cara melakukan bunuh diri kepada banyak pasiennya yang putus
asa terhadap penyakit yang mereka derita. Seorang hakim Michigan tidak
menyalahkan kevorkian tapi ia menasehatinya agar menghindari ritual
pembunuhan tersebut walaupun dgn alasan medis (physician-assisted suicide). Kevorkian
mengatakan bahwa ia tidak pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai
dokter. Di Michigan, tempat dimana Kevorkian tinggal, pembunuhan dengan
alasan medis dilarang, sampai suatu komisi dapat membuat suatu
rekomendasi. Menurut Kevorkian, bukan masalah bagi dirinya apakah komisi
tersebut yang akan membuat rekomendasi atau anggota legislatif yang
memmutuskan langsung hal tersebut apabila mereka setuju dengan hukuman
yang melarang pembunuhan dengan alasan medis tersebut pun, Kevorkian
akan tetap melanggarnya.
Dua dari tiga orang Amerika berpendapat bahwa dokter seharusnya
diizinkan untuk membantu pasiennya yang sakit berat untuk bunuh diri.
Namun ada beberapa aspek dari cara pembunuhan yang dilakukan Kevorkian
yang membuat sebagian ahli etika biomedis cemas. Kevorkian mengatakan
bahwa dirinya telah berhati-hati dalam memberi nasihat pada pasiennya
yang ingin bunuh diri, tapi bagaimana pun ia adalah seorang yang
eksentrik yang secara esensial menyebut dirinya sebagai “sorang
penjahat”. Saat ini bahkan para pendukung fanatik euthasia berpendapat
bahwa rambu-rambu pengaman pembunuhan dengan alasan medis seharusnya
dipatuhi seperti keharusan adanya opini kedua dari dokter-dokter yang
tidak mempunyai kepentingan pribadi, evaluasi-psikologis, dan konsultasi
keluarga. Tindakan yang dilakukan kevorkian menimbulkan keprihatinan
terhadap netralitasnya melakukan konseling pada klien yang mempunyai
keinginan bunuh diri. Berbagai kritik yang ditujukan pada kevorkian
menyebutkan bahwa karena kevorkian adalah seorang ahli patalogi, maka
seharusnya ia tidak berada dalam posisi sebagai pembuat keputusan bagi
pasiennya yang masih hidup.
Umumnya, hukum yang ada menegaskan satu poin bahwa: “pembunuhan
karena belas kasihan” (Merci killing) adalah ilegal. Seorang tidak boleh
melakukan tindakan pembunuhan terhadap orang lain, tidak peduli
seberapa besar pengetahuan dan keinginan orang lain tersebut untuk mati.
“pembunuhan karena belas kasihan” dianggap sebagai pembunuhan kriminal.
Namun beberapa ahli etika biomedis percaya bahwa klasifikasi ini tidak
konsisten dengan otonomi dan privasi seseorang terlepas dari rasa
belaskasihan dan logika. Dengan semakin banyaknya jumlah orang yang
hidup hingga usia lanjut dan cacatnya semakin parah atau menjadi putus
asa karena sakitnya, maka semakin banyak pulalah orang yang merasakan
bertambahan beratnya beban kehidupannya. Konsekuensinya, dimensi etis
dan legal dari bunuh diri dengan alasan medis akan terus menimbulkan
kontoversi dimasa depan.
Isu-Isu dalam Menentukan Kematian
Berakhirnya fungsi biologis tertentu, seperti pernafasan dan tekanan
darah serta kakunya tubuh dianggap cukup jelas menjadi tanda-tanda
kematian. Dalam beberapa dekade belakangan ini, definisi kematian
menjadi lebik kompleks.
Mati otak (braen death) merupakan definisi neurologis dari kematian.
Seseorang dikatakan mati otak apabila seluruh aktivitas elektik di otak
berhenti selama periode waktu tertentu. EEG (electroencephalogram) yang
datar, yang merekam selama periode tertentu merupakan satu kriteria dari
mati otak. Bagian-bagian otak yang lebih tinggi sering mati mendadak
dibandingkan bagian yang lebih rendah.
Definisi mati otak yang secara umum dianut oleh banyak ahli medis
mencakup kematian pada fungsi kortikal tinggi dan fungsi saraf otak
rendah. Beberapa ahli medis memperdebatkan kemungkinan kriteria kematian
seharusnya hanya mengandung fungsi kortikal tinggi. Jika definisi
kortikal diadopsi, maka para ahli medis dapat memutuskan bahwa seseorang
yang meninggal tidak memiliki fungsi kortikal walaupun otak rendah
masih berfungsi. Pendukung dari kebijakn kematian kortikal berpendapat
bahwa fungsi-fungsi yang terkait dengan kemanusiaan seperti intelegensi
dan kepribadian, berada dalam kortikal tinggi pada otak. Perlu dicatat,
definisi kematian kortikal bukan merupakan definisi kematian yang legal
di Amerika.
Kemajuan dalam teknologi medis telah memperumit definisi kematian.
Kontoversi terus berlanjut berkisar mengenai kriteria apa yang
seharusnya digunakan untuk menentukan kapan seseorang mati. Banyak
negara yang tunduk pada UU yang mendefinisikan kematian sebagai
berhentinya fungsi-fungsi otang yang tinggi maupun rendah, namun
beberapa ahli medis menyatakan bahwa sekalipun bagian otak yang rendah
masih berfungsi, individu seharusnya dinyatakan mati, karena fungsi otak
yang tertinggallah yang membuatnya menjadi “manusia”.
Euthanasia
Euthanasia merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit pada orang
yang menderita penyakit yang suli di obati atau menderita sakit keras.
Kadang-kadang euthanasia di sebut “pembunuhan karena belas kasihan”.Ada 2
tipe euthanasia yang dapat di bedakan aktif dan pasif. Euthanasia aktif
(aktive euthanasia) terjadi apabils kemstisn di sebabkan oleh
suatu usaha yang sengaja di lakukan untuk mengakhiri hidup seseorang,
seperti dengan injeksi obat yang mematikan.
Euthanasia pasif (passive euthanasia) terjadi ketika seseorang
diizinkan mati dengan mencabut perawatan yang tersedia seperti
perlengkapan terapi penopang hidup (misalnya mematikan alat bantu
pernafasan atau mesin penopang kerja jantung paru-paru). Kecendrungan
saat ini adalh menerima pelaksanaan euthanasia pasif dalam kasus pasien
yang penyakitnya sudah tak tertolong.
KEMATIAN DAN SOSIO-HISTORIS, KONTEKS BUDAYA
Perubahan Keadaan Historis
Sejarah lain yang berubah mengenai kematian adalah masalah kelompok
umur. Seiring dengan menuanya populasi kita dan kemudahan dalam
berpindah tempat, maka semakin banyak dewasa lanjut yang meninggal
terpisah dari keluarganya. Keluarga semakin tidak peduli pada perawatan
orang lanjut usia yang sekarat. Kematia lansia pun tidak lagi menjadi
hal yang dibesar-besarkan atau di tangisi.
Kematian Dalam Berbagai Budaya Yang Berbeda
Orang Yunani kuno memandang kematian sama seperti mereka memandang
kehidupan langsung dan terbuka. Hidup secara utuh dan mati dengan
kemenangan merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh mereka. Kehadiran
orang yang sekarat di rumah, upacara pemakaman, dan kontak sehari-hari
dengan orang usia lanjut membuat mereka yang muda lebih siap menghadapi
kematian dan dapat mengambil hikmah mengenai kematian.
Kebanyakan masyarakat menurut sejarah memiliki filosofi atau
kepercayaan religius mengenai kematian, dan kebanyakan masyarakat
memiliki suatu ritual khusus sehubungan dengan kematian. Dibeberapa suku
bangsa, para orang usia lanjut ingin anak laki-laki tertuanya atau anak
perempuan kesayangannya menaruh seutas tali sekeliling lehernya dan
menggantungnya hingga mati. Dikebanyakan masyarakat, kematian tidak
dipandang sebagai akhir dari eksistensi walaupun tubuh biologis telah
mati, namun spiritualitas tubuh dipercaya masih tetap hidup.
Dalam kebudayaan Gond di India, kematian dipercaya sebagai akibat
kekuatan magis dan setan. Pengikut budaya Gond akan bereaksi marah
terhadapkematian. Dalam kebudayaan Tanala di Madagaskar, kematian
dipercaya disebabkan oleh kekuatan alam. Budaya lain juga bervariasi
sikapnya terhadap kematian termasuk kepercayaannya terhadap rengkarnasi,
yang merupakan aspek penting bagi agama hindu dan budha.
Persepsi mengenai kematian cukup bervariasi dan masing-masing
merefleksikan berbagai nilai dan filosofi. Pergi dari bumi dipengaruhi
oleh bagaimana kita menjalani hidup. Leonardo dan Vinci pernah
mengatakan, kematian datang pada seorang individu yang telah menjalani
kehidupannya dengan penuh, ibaratnya seperti tidur setelah kerja keras
seharian.
Dalam beberapa hal, masyarakat AS adalah penolak dan penghindar kematian. Penolakan ini dapat berbentuk :
- Kecenderungan industri pemakaman untuk memperindah kematian dengan kualitas gaya kehidupan dalam kematian
- Mengadopsi bahasa yang lebih halis bagi kematian, sebagai contoh, meninggal, pergi, tidak pernah berkata mati, dan hidup yang lebih baik, yang berimplikasi kematian
- Penelitian yang terus-menerus untuk mempertahankan kemudaan
- Penolakan dan isolasi terhadap kaum lanjut usia yang meningkatkan kita pada kematian
- Mengadopsi konsep kesenangan dan ganjaran setelah hidup, menyiratkan bahwa kita abadi
- Komunitas medis menekankan pada perpanjangan kehidupan biologis dari pada pengurangan penderitaan manusia
Apakah penyebab kematian bervariasi sepanjang kehidupan manusia? Apakah kita memikliki harapan-harapan yang berbeda tentang kematian seiring dengan perkembangan serta sepanjang masa hidup ( the life span)? Bagaimana sikap kita terhadap kematian pada fase yang berbeda dalam perkembangan kita?
Penyebab Kematian dan Harapan Mengenai Kematian
Walaupun kita sering berfikir mngenai kematian yang terjadi di usia tua, namun kemtian ternyata dapat terjadi segala fase dalam siklus kehidupan manusia. Kematian dapat terjadi selama perkembangan prenetal melalui keguguran, ataupun lahir dalam keadaan mati. Kematian juga dapat terjadi selama proses kelahiran berlangsung atau beberapa hari setelah kelahiran, dan biasanya terjadi karena cacat lahir (a birth defect) atau karena bati tersebut tidak berkembang secara memadahi untuk menompang kehidupannya di luar rahim, bentuk tragis yang paling kusus dari kematian bayi adalah sundden infant death syndrome (SIDS), kematian tiba- tiba pada bayi yang terlihat sehat. SIDS paling sering di usia 2-4 bulan. Penyababnya diduga karna berhentinya pernafasan, tapi sampai saat ini penyebab utamanya belum di ketahui. Bayi yang mati Karena SIDS membuat orang tua sulit mengatasi perasaan kehilangannya karena bayi tersebut semula lahir dengan begitu sehat, tapi tiba-tiba mati. Memang kematian pada beberapa orang terlihat lebih tragis dibandingkan orang lain. Kematian orang tua yg berusia 90 tahun dianggap alamiah, karena ia telah hidup begitu lama, hidup penuh, sementar kematian seorang bayi dianggap begitu tragis karena hidupnya berakhir sebelum dimulai.
Di masa kanak-kanak, kematian paling sering terjadi karena kecelakaan dapat disebabkan oleh kecelakaan mobil, tenggelam, keracunan, atau jatuh dari tempat yang tinggi. Penyakit utama yang menyebabkan kematian pada anak-anak adalah sakit jantung, kanker, dan cacat lahir. Bagi anak-anak yang menderita penyakit yang tak tertolong lagi, orang tua akan tetap mendampingi mereka sampai terakhir ,kehidupannya. (Wass & Stillion, 1988). Jarank yang diciptakan barang kali disebabkan oleh depresi yang dialami oleh banyak pasien yang sekarat, atau barangkali cara seorang anak untuk melindungi orang tuanya dari duka cita yang berlebihan pada saat kematian tiba. Kebanyakan anak-anak yang sekarat mengetahui bahwa mereka menderita penyakit yang tak tertolong. Tingkaht perkembangan yang dimiliki, dukungan sosial, dan kemampuan mengatasi masalah akan mempengaruhi seberapa baik anak-anak tersebut mengatasi perasaan atau memahami bahwa mereka akan mati.
Dibandingkan dengan masa kanak-kanak, kematian di masa remaja lebih banyak dikarenakan bunuh diri, kecelakaan sepeda motor, dan pembunuhan. Banyak kecelakaan sepeda motor yang mengakibatkan kematian dimasa remaja berkaitan dengan alkohol.
Orang dewasa lebih sering mati karena penyakit kronis, seperti sakit jantung dan kanker, sedangkan mereka yang berusia dewasa dewasa muda lebih sering mati karena kecelakaan. Penyakit yang diderita orang dewasa sering kali melumpuhkan sebelum, dan mereka kebanyakan berada dalam keadaan sekarat dimana secara lambat laun keadaan tersebut menuju kearah kematian. Banyak juga mereka yang berusia dewasa lebih tua (Kalish, 1987). Orang dewasa yang lebih muda sering merasa tidak diberi kesempatan untuk melakukan apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka merasa kehilangan apa yang seharusnya mereka capai, sedangkan sebaliknya korang dewasa lanjut merasa mereka kehilangan apa yang telah mereka miliki (Cavanaugh, 1990).
Sikap terhadap Kematian pada Beberapa Fase yang Berbeda dalam Masa Kehidupan
Usia kanak-kanak dan dewasa mempengaruhi pengalaman dan pemikiran mereka tentang kematian. Seorang dewasa yang telah matang, akan berfikir dan memahami bahwa kematian merupakan akhir kehidupan dan hal itu tidak dapat diubah lagi, dimana kematian menggambarkan akhir kehidupan dan segala yang hidup akan mati (Speece & Brent, 1989). Banyak penelitian menemukan bahwa seiring dengan perkembangan ana, mereka mengembangkan pendekatan tentang kematian yang lebih matang (Wass & Stillion, 1988).
Masa Kanak-Kanak
Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki konsep dasar tentang kematian. Namun, karena bayi mengembangkan keterkaitan dengan pengasuhnya, mereka dapat mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta kecemasan yang menyertainya. Tapi anak-anak tidak memahami waktu sebagaimana orang dewasa. Bahkan perpisahan yang singkat mungkin dialami sebagai pepisahan total. Bagi kebanyakan bayi, kedatangan pengasuh kembali akan memberikan suatu kontinuitas eksistensi dan hal ini akan mereduksi kecemasan. Kita sangat sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi tentang kehialangan walaupun kehilangan orang tua, terutama jika pengasuh tidak digantikan, yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan bayi.
Anak usia 3-5 tahun memiliki sedikit ide bahkan tidak sama sekali mengenai apa yang dimaksud dengan kematian. Mereka sering kali bingung antara mati dengan tidur, dan bertanya dengan keheranan, “Mengapa ini tidak bergerak?” Diusia prasekolah, anak-anak jarang kaget dengan pemandangan seekor binatang yang mati atau dari cerita bahwa seseorang telah mati. Mereka percaya bahwa orang yang mati dapat menjadi hidup kembali secara spontan karena adanya hal yang magis atau dengan memberi mereka makan atau perawatan medis (Lonetto, 1980). Anak-anak sering kali percaya bahwa hanya orang-orang yang ingin mati, atau mereka yang jahat atau yang kurang hati-hati, yang benar-benar mati. Mereka mungkin juga menyalahkan diri mereka kenal baik, mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu mungkin terjadi karena tidak patuh terhadap orang yang mati.
Kadang-kadang dimasa kanak-kanak tengah dan akhir, konsep yang tidak logis mengenai kematian yang lambat laun berkembang hingga diperoleh suatu persepsi kematian yang lebih realistis. Dalam satu penelitian awal mengenai persepsi kematian seorang anak, usia 3-5 tahun menolak adanya kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya bahwa kematian itu ada, tetapi hanya dialami oleh beberapa orang. Dan anak usia 9 tahun keatas akhirnya mengenali kematian dan universalitasnya (Nagy, 1948).
Kebanyakan ahli psikologi percaya bahwa kejujuran merupakan strategi terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan anak-anak. Mempermalukan konsep sebagai hal yang tidak pantas disebutkanmerupakan strategi yang tidak sesuai, walau kebanyakan dari kita masih tumbuh dalam suatu masyarakat dimana kematian sangat jarang didiskusikan. Dalam suatu penelitian, peneliti berusaha menilai sikap 30.000 orang usia dewasa muda terhadap kematian (Shneidman, 1973). Hasilnya, lebih dari 30% berkata bahwa mereka tidak dapat mengingat kembali diskusi mengenai kematian selama mereka kanak-kanak; dengan jumlah yang sama, yang lain mengatakan bahwa, meskipun kematian disiskusikan, namun diskussinya berlangsung dalam suasana yang tidak nyaman. Hampir setiap 1 dari 2 responden berkata bahwa kematian kakek/neneknya merupakan kematian pertama kali mereka hadapi.
Masa Remaja
Dimasa remaja, pandangan terhadap kematian, seperti juga pandangan terhadap penuaan dianggap sebagai suatu hal yang begitu jauh dan tidak memiliki banyak relavasi. Subjek kematian barang kali dihindari, ditutupi, diolok-olok di netralisir, dan dikontrol, dengan orientasi sebagai penonton (spektatorlike orientation). Perspektif ini merupakan tipe pemahaman kesadaran diri pada masa remaja; bagaimanapun, beberapa remaja menunjukkan perhatiaannya kepada kematian, mencoba untuk memahami maksud dari kematian, dan menghadapi saat kematian mereka.
Remaja mengembangkan konsep tentang kematian secara lebih abstrak dibanding anak-anak. Sebagai contoh, para remaja menggambarkan kematian dengan istilah kegelapan, cahaya terang, transisi, atau ketiadaan sama sekali (Wenestam & Wass, 1987). Mereka juga mengembangkan pandangan filosof religious mengenai hakikat kematian dan kehidupan sesuadah mati.
Masa Dewasa
Tidak ada bukti yang menunjukkan di masa dewasa awal dikembangkan suatu pemahaman atau orientasi khusus mengenai kematian. Peningkatan kesadaran mengenai kematian muncul sejalan saat mereka beranjak tua, yang biasanya meningkat pada masa dewasa tengah. Dalam diskusi kita mengenai masa dewasa tengah, kita mengindikasikan bahwa usi paruh baya merupakan saat dimana orang dewasa mulai berfikir lebih jauh mengenai berapa banyak waktu yang tersisa dalam hidup mereka. Para peneliti menemukan bahwa mereka yang berusia dewasa tengah sebenarnya lebih takut menghadapi kematian dibandingkan mereka yang berusia dewasa awal maupun dewasa akhir (Kalish & Reynolds, 1976). Orang-orang di usia dewasa akhir lebih banyak berfikir mengenai kematian dan mereka lebih banyak membicarakan tentang kematian dengan orang lain dibandingkan usia dewasa tengah maupun dewasa muda. Mereka juga mengalami kematian secara lebih langsung seiring dengan sakit dan meninggalnya teman-teman dan keluarga mereka. Di usia dewasa akhir ini, orang dewasa lanjut didorong untuk lebih sering menguji arti kehidupan dan kematian dibandingkan orang dewasa muda.
Di usia tua, kematian seseorang lebih wajar dibirakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemikiran dan pembkicaraan mengenai kematian meningkat, perkembangan integritas pun meningkat melalui peninjauan hidup yang positif dan hal ini mungkin dapat membantu mereka untuk menerima kematian. Di usia dewasa akhir urusan yang belum selesai lebih sedikit dibandingkan ketika di usia dewasa muda. Mereka biasanya tidak lagi memiliki anak yang perlu dibimbing hingga matang, pasangan hidup mereka biassnya mati lebih dahulu, dan cenderung tidak memiliki kerja yang berhubungan dengan proyek yang menginginkan kesempurnaan. Kurangnya antisipasi terhadap kematian barangkali akan menyebabkan rendahnya rasa sakit yang ditimbulkan secara emosional pada diri mereka. Bahkan diantara orang dewasa akhir, sikap terhadap kematian terkadang bersifat individualistis sama seperti mereka yang memegang prinsip tersebut. Seorang wanita 82 tahun mengumumkan bahwa ia telah menjalani hidupnya dan saat ini siap menyongsong kematian. Wanita 82 tahun lainnya, mengumumkan bhawa kematian akan menjadi suatu interupsi yang menyedihkan karena ia akan kehilangan partisipasinya dalam aktivitas dan hubungan sosial.
Pada poin ini kita telah mendiskusikan sejumlah ide mengenai batasan kematian, kematian dan sosiohistoris, konteks budaya dan perspektif perkembangan mengenai kematian.
Menghadapi Kematian Sendiri
Erich Fromm (1955) mengenai manusia yang merupakan satu-satunya binatang yang tahu bahwa mereka harus mati. Pengetahuan tentang kematian yang tidak dapat dielakkan member kesempatan pada kita untuk membangun prioritas dan struktur waktu secara tepat. Saat kita bertambah umur, prioritas dan struktur berubah, tertuju pada keterbatasan masa depan. Niali-nilai yang memfokuskan pada pentingnya penggunaan waktu juga berubah. Sebagai contoh, ketika ditanya bagaimana mereka menghabiskan waktu 6 bulan tersisa dalam hidupnya, orang-orang dewasa muda akan menggambarkan aktivitas seperti bepergian dan menyelesaikan sesuatu yang belum terselesaikan, sedangkan orang-orang dewasa akhir akan menggambarkan aktivitas yang lebih terfokus pada dirinya sendiri, kontemplasi dan meditasi (Kalish & Raynold, 1976).
Banyak individu yang menjelang kematiannya berharap diberi kesempatan untuk membuat beberapa keputusan sehubungan dengan hidup dan mati mereka. Beberapa individu lainnya ingin menuntaskan urusan yang belum selesai; mereka menginginkan waktu untuk menyelesaikan masalah dan konflik yang ada dan menempatkan masalah pada tempat yang seharusnya. Mungkinkah terdapat urut-urutan fase yang akan kita lalui saat menhadapip kematian?
Fase-Fase Menjelang Kematian dari Kubler-Ross
Elizabeth Kubler-Ross (1969) memebagi perilaku dan proses berpikir seseorang yang sekarat menjadi 5 fase: penolakan dan isolasi, kemarahan, twar-menawar, depresi, dan penerimaan. Penolakan dan isolasi (denial and isolation), merupakan fase pertama yang diusulkan Kubler-Ross dimana orang-orang menolak bahwa kematian benar-benar ada. orang tersebut mungkin berkata “Tidak”, “Itu tidak dapat terjadi pada saya”. Hal ini merupakan reaksi utama pada penyakit yang tidak tertolong lagi. Namun, penolakan merupakan pertahanan diri yang bersifat sementara dan kemudian akan digantikan dengan rasa penerimaan yang meningkat saat seseorang dihadapkan pada beberapa hal seperti pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai, dan kekhawatiran mengenai kehidupan anggota keluarga yang lainnya nanti.
Kemarahan (anger), merupakan fase kedua dimana orang yang menjelang kematian menyadari bahwa penolakan tidak dapat lagi dipertahankan. Penolakan sering memunculkan rasa marah, benci, dan iri. Pertanyaan yang biasanya muncul pada titik ini, seseorang menjadi semakin sulit dirawat karena amarahnya seringkali salah sasaran dan diproyeksikan kepada para dokter, perawat,anggota keluarga, dan juga Tuhan. Realisasi dari kehilangan ini besar, dan mereka yang menjadi simbol dari kehidupan, energi, dan fungsi-fungsi yang merupakan target utama dari rasa benci dan cemburu orang tersebut.
Tawar-menawar (burgaining), merupakan fase ketiga menjelang kematian dimana seseorang mengembangkan harapan bahwa kematian sewaktu-waktu dapat ditunda atau diundur. Beberapa orang membuka tawar-menawar atau negosiasi-seringkali dengan Tuhan-sambil mencoba untuk menunda kematian. Secara psikologis, seseorang berkata “Ya saya, tapi …”. Dalam usaha untuk mendapatkan perpanjangan waktu untuk beberapa hari, minggu atau bulan dari kehidupan, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya yang didedikasikan hanya untuk Tuhan atau untuk melayani orang lain.
Depresi (depression), merupakan fase keempat menjelang kematian dimana orang yang sekarat akhirnya menerima kematian. Pada titik ini, suatu periode depresi atau persiapan berduka mungkin muncul. Orang yang akan menjelang kematiannya akan menjadi pendiam, menolak pengunjung, serta menghabiskan banyak waktunya untuk menangis dan berduka. Perilaku ini normal pada situasi tersebut dan sebenarnya merupakan usaha nyata untuk melepaskan diri dari seluruh objek yang disayangi. Menurut Kubler-Ross, usaha untuk membahagiakan orang yang menjelang kematiannya pada fase ini justru menjadi penghalang karena orang tersebut perlu untuk merenungkan ancaman kematian.
Penerimaan (acceptance), merupakan fase kelima menjelang kematian, dimana seseorang mengembangkan rasa damai; menerima takdir; dan dalam beberapa hal, ingin ditinggal sendiri. Pada fase ini perasaan dan rasa sakit pada fisik mungkin hilang. Kubler-Ross menggambarkan fase kelima ini sebagai akhir perjuangan menjelang kematian.
Tidak satu orang pun mampu mengkonfirmasi bahwa seseorang melewati fase-fase yang digambarkan Kubler-Ross. Kubler-Ross sendiri merasa tidak yakin, dengan mengatakan bahwa ia tidak pernah menghendaki fase-fase tersebut menjadi suatu urutan fase yang tidak terbedakan menuju kematian. Walaupun Kubler-Ross (1974) mengakui pentingnya variasi individual mengenai bagaimana kita menghadapi kematian, ia masih percaya bahwa arah yang optimal untuk menghadapi kematian adalah menurut urtan yang diusulkan.
Beberapa individu berjuang hingga akhir, mencoba mati-matian untuk brpegang pada hidup mereka. Mereka tidak pernah menerima datangnya kematian tersebut. Beberapa psikolog percaya bahwa semakin kuat individu bertahan untuk menolak kematian yang sesungguhnya tidak dapat dielakkan, dan semakin besar penolakan mereka, maka akan semakin sulit bagi mereka untuk mati dalam keadaan damai atau layak; psikolog lainnya berpendapat bahwa tidak melawan kematian sampai akhir mungkin adaptif bagi beberapa orang (Kalish, 1988; Lifton, 1977; Shneidman, 1973). Dikesempatan lain, sejumlah emosi mungkin bertambah dan berkurang. Harapan, ketidakpercayaan, rasa binung, marah, dan penerimaan, mungkin dating dan pergi silih berganti disaat individu mencoba menyadari apa yang sedang terjadi pada diri mereka.
Pemahaman Terhadap Control dan Penolakan
Pemahaman terhadap control dan penolakan dapat bekerja bersama sebagai suatu strategi adaptasi pada beberapa orang dewasa lanjut yang sedang menhadapi kematian. Ketika individu diajak mempercayai bahwa mereka dapat mempengaruhi dan mengontrol kejadian-kejadian seperti memperpanjang hidup mereka-mereka menjadi lebih waspada dan ceria. Ingatlah mengenai diskusi kita pada bab 18 yang menyebutkan bahwa memberikan penghuni panti jompo pilihan untuk kontrol memperbaiki sikap dan memperpanjang usia mereka (Rodin & Langer, 1977).
Penolakan mungkin merupakan cara yang dapat membuahkan hasil bagi beberapa individu dalam menghadapi kematian. Bukan hal aneh bagi orang yang sekarat untuk menolak kematian tersebut hingga sessaat sebelum mereka mati. Hidup tanpa harapan menggambarkan keputusasaan. Penolakan dapat melindungi kita dari perasaan tersiksa yang melanda ketika kita menghadapi kematian. Penolakan dapat dating dalam beberapa bentuk (Weisman, 1972). Pertama, kita dapat menolak kenyataan. Sebagai contoh, seorang wanita yang telah diberitahu oleh dokternya mengenai jadwal operasi kanker mungkin akan meyakinkan dirinya bahwa operasi tersebut dimaksudkan untuk suatu tumor yang tidak ganas. Kedua, kita tidak dapat menolak implikasi dari suatu penyakit atau suatu situasi yang mengancam. Sebagai contoh, seorang pria barangkali menerima kenyataan bahwa ia punya penyakit tapi ia menolak bahwa pneyakit tersebut akan menyebabkan kematian. Ketiga, kita dapat menolak bahwa kita akan musnah apabila secara biologis kita mati; disini kita dapat memiliki keyakinan tentang keabadian seseorang.
Penolakan dapat menjadi adaptif atau maladaptif. Penolakan dapat digunakan untuk menghindari pengaruh yang merusak dengan menunda keharusan berhadapan dengan kematian. Penolakan dapat membuat orang terasing dari keharusan mengatasi rasa marah dan sakit yang terus-menerus; namun, apabila penolakan menghambat kita dari suatu operasi penyelamatan kehidupan, maka hal tersebut jelas merupakan sesuatu yang maladaptif. Penolakan dapat bersifat baik ataupun buruk; dalam hal ini diperlukan kualitas adaptasi untuk dievaluasi berdasarkan individual (Kalish, 1981).
Beberapa Konteks Dimana Orang Mati
Bagi individu yang sekarat, situasi-situasi yang ada pada saat mereka mati sangat penting. Kematian di Amerika Serikat kebanyakan terjadi di rumah sakit; dan hanya sedikit yang terjadi di tempat lain, seperti di rumah perawatan dan pusat-pusat penitipan dan perawatan. Rumah sakit menawarkan berbagai fasilitas yang menguntungkan bagi mereka yang sekarat-misalnya staf professional yang selalu siap sedia, serta teknologi medis yang mungkin mampu memperpanjang hidup, meski rumah sakit bukan tempat terbaik bagi seseorang untuk mati. Kebanyakan mereka lebih suka menghembuskan nafas terakhir di rumah (Kalish & Reynolds, 1976). Namun seringkali berbagai perasaan muncul, seperti merekan hanya akan menjadi beban di rumah, atau ruangan rumah yang terbatas dan menghadapi kematian di rumah dapat merubah hubungan, seperti dirawat oleh anak. Individu yang wafat juga khawatir mengenai kompetensi dan perawatan medis darurat jika mereka tinggal di rumah.
Selain rumah sakit dan rumah, situasi yang ketiga dalam kematian yang baru-baru ini mendapat perhatian adalah hospice, suatu institusi humanis yang memiliki komitmen untuk mengusahakan berakhirnya hidup tanpa rasa sakit, cemas dan depresi. Tujuan hospice berbeda dengan rumah sakit, dimana rumah sakit merupakan tempat untuk merawat penyakit dan memperpanjang hidup. Hospice bermula di London di akhir tahun 1960-an, saat institusi media yang baru, yaitu St. Christopher’s Hospice dibuka. Sangat sedikit usaha untuk memperpanjang hidup di St. Christopher-tidak ada mesin pemicu jantung dan paru-paru dan disana juga tidak terdapat ICU, sebagai contohnya. Tujuan utama hospice adalah mengontrol rasa sakit dan sehat dari sudut pandang psikologi. Hospice juga berusaha untuk selalu melibatkan keluarga individu yang sekarat; hal ini dipercaya tidak hanya menguntungkan orang yang akan meninggal tetapi juga keluarga yang akan ditinggalkan, mungkin dapat mengurangi rasa bersalah setelah kematian terjadi.
Hospice tumbuh cepat di Amerika Serikat. Tahun 1987 terdapat 200 Hospice (Kitch, 1987). Hospice berusaha terus menekankan bahwa terbuka kemungkinan untuk mengontrol rasa sakit pada individu yang sekarat dan mungkin untuk menciptakan lingkungan yang superior bagi pasein dari kebanyakan rumah sakit yang ada.
Mengatasi Masalah Sehubungan dengan Kematian Orang Lain
Kehilangan dapat dating dari berbagai bentuknya dalam kematian kita-perceraian, matinya binatang peliharaan, kehilangan pekerjaan-tetapi tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian dari seseorang yang kita cintai dan kita sayangi-seperti orang tua, saudara kandung, pasangan hidup, sanak saudara, atau teman. Dalam urutan penyebab stress dalam kehidupan, kematian pasangan hidup menempati urutan teratas. Bagaimana kita seharusnya berkomunikasi dengan seseorang yang sekarat? Bagaimana kita mengatasi masalah akibat kematian seseorang yang kita cintai?
Berkomunikasi Dengan Orang Yang Menjelang Kematian
Banyak psikolog percaya bahwa yang paling baik bagi individu yang sekarat adalah mengetahui bahwa mereka akan mati dan orang lain juga akan tahu bahwa mereka akan mati sehingga mereka dapat berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain secara timbale balik. Apa manfaat dari adanya kesadaran diri yang terbuka pada individu yang akan mati? Ada 4 manfaat, yaitu: individu yang akan mati dapat mengakhiri hidupnya sesuai dengan ide-ide mereka sendiri mengenai persiapan kematian; individu yang akan mati mungkin mampu menuntaskan beberapa rencana dan proyek; dapat membuat persiapan bagi mereka yang ditinggalkan, dan dapat berpartisipasi dalam perbuatan keputusan mengenai penguburan dan pemakamannya; individu yang akan mati memiliki kesempatan untuk memperingatkan, untuk berbincang dengan orang lain yang berarti dalam hhidupnya, dan mengakhiri kehidupan dengan menyadari spertia apa hidupnya; dan individu yang akan mati memiliki pemahaman lebih mengenai apa yang terjadi dengan tubuh mereka dan apa yang dilakukan staf medis untuk mereka (Kalish, 1981).
Sebagai tahapan untuk system komunikasi yang terbuka, apa saran lainnya agar dapat berbicara dengan seseorang yang sekarat? Beberapa ahli percaya bahwa komunikasi seharusnya tidak hanya berfokus pada masalah patologi mental dan persiapan kematian, tetapi seharusnya juga memfokuskan pada kekuatan individu dan persiapannya menghadapi sisa kehidupan. Ketika upaya-upaya untuk menyembuhkan secara fisik tidak dimungkinkan lagi, komunikasi seharusnya lebih diarahkan langsung pada kesiapan mental atau perawatan internal. Ingatlah juga bahwa perawatan tidak hanya datang dari professional kesehatan mental; perawat yang perhatian, ahli medis yang atentif, pasangan hidup yang sensitive, atau teman dekat dapat melengkapi system pendukung terpenting bagi individu yang akan mati.
Fase-Fase dan Dimensi Duka Cinta
Duka cita (grive) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan terpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai disaat kita kehilangan orang yang kita cintai. Saat pandangan menyebutkan bahwa kita akan melewati 3 fase duka cita setelah kita kehilangan seseorang yang kita cintai: terkejut, putus asa, dan pulih kembali (Averill, 1968). Pandangan lainnya menyebutkan bahwa ada 4 fase yang akan kita lalui, yaitu kelumpuhan, rindu, depresi, dan pulih kembali (Parkes,1972).
Pada pandangan yang pertama, di fase awal orang yang akan ditinggalkan akan merasa terkejut, tidak percaya, dan lumpuh, sering menangis atau mudah marah. Fase ini terjadi sesaat setelah kematian dan biasanya berlangsung selama 1-3 hari. Fase ini seperti fase penolakan dan kemarahan yang diusulkan oleh Kubler-Ross pada individu yang sekarat. Fase kedua, ditandai dengan perasaan sakit yang berkepanjangan atas kematian, memori dan gambaran-gambaran visual mengenai kematian, kesedihan, susah tidur, mudah tersinggung, dan kegelisahan. Muncul tidak lama setelah kematian, dan fase ini sering memuncak diminggu kedua hingga keempat setelah kematiandan biasanya mereda setelah beberapa bulan, tetapi dapat juga bertahan hingga 1-2 tahun. Elemen-elemen penawaran untuk mengembalikan orang yang mati bisa jadi muncul, dan hal ini lagi-lagi juga berkaitan dengan salah satu fase dari Kubler-Ross. Fase ketiga biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian. Analogikan dengan fase penerimaan dari Kubler-Ross, fase resolusi duka cita ini ditandai dengan mengingat aktivitas sehari-hari, semakin tinggi kemungkinan mengingat kembali memori yang menyenangkan mengenai orang yang mati dan membangun hubungan baru dengan orang lain.
Namun, saat kita menemukan bahwa fase-fase kematian yang diusulkan Kubler-Ross tidak berubah dan individu tidak harus melewatinya sesuai dengan urutan, ia menyarankan untuk beradaptasi secara efektif, hal yang sama dapat dikatakan untuk fase-fase duka kita(Campbell, Swank & Vincent, 1991; Klass,1988). Daripada membicarakan fase-fase duka cita, akan lebih tepat untuk membicarakan tentang dimensi-dimensi duka cita. Seseorang menggambarkan bahwa duka cita itu tidaklah sederhana, tidak hanya sekedar pertanyaan emosi, tetapi lebih kompleks, proses yang lambatlaun terjadi, dan sifatnya multi dimensi (Jacobs dkk., 1987). Dalam pandangan ini, kerinduan terhadap orang mati merupakan suatu dimensi penting. Kerinduan atau harapan direfleksikan bergantian, berulang kali muncul harapan atau kebutuhan terhadap kehadiran kembali seseorang yang telah mati. Dimensi penting lainnya dari duka cita adalah rasa cemas akan perpisahan yang tidak hanya berkaitan dengan kematian, tetapi juga berkaitan dengan tempat dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan orang yang mati, dengan cara menangis atau menarik nafas panjang sebagai suatu tipe menahan tangis. Dimensi lain dari duka cita adalah reaksi yang bersifat tiba-tiba terhadap kehilangan yang telah didiskusikan di awal-emosi yang tumpul, kelumpuhan, ketidakpercayaan, dan ledakan kepanikan atau penuh dengan air mata yang berlebihan. Dimensi lain dari duka cita melibatkan keputusasaan dan kesedihan, yang mengandung apatis, kehilangan arti mengenai kegiatan yang melibatkan orang yang telah pergi, dan memunculkan kesunyian. Dimensi ini tidak menunjukkan suatu fase yang jelas, tetapi terjadi secara berulang-ulang dalam suatu situasi atau situasi lain yang lebih singkat setelah kehilangan. Meskipun demikian, dengan berjalannya waktu, kerinduan dan protes terhadap kehilangan cenderung berkurang, walaupun saat-saat depresi dan apatis mungkin masih berbekas atau malah meningkat. Kecemasan berpisah dan kehilangan mungkin terus berlanjut hingga akhir kehidupan seseorang, tetapi membelokkan perhatian kita kembali pada tugas-tugas yang produktif dan mendapatkan kembali pandangan hidup yang lebih positif (Marycz, 1992; Powers & Wampold, 1994).
Kesadaran Terhadap Dunia
Satu aspek yang menguntungkan dari adanya duka cita adalah bahwa hal itu akan menstimulasi banyak individu untuk mencoba menyadari dunia mereka. Kejadian-kejadian yang ada pergi dan datang silih berganti dan dan seluruh peristiwa mengantarkan pada kematian. Hari-hari dan minggu-minggu setelah kematian, anggota keluarga terdekat berbagi pengalaman satu sama lain, terkadang sambil mengenang pengalaman-pengalaman keluarga (Kalish, 1981).
Masing-masing individu menawarkan suatu potongan teka-teki kematian. “Ketika saya melihatnya Sabtu lalu, ia terlihat seperti rally sepeda”, kata seorang anggota keluarga. “Apakah menurutmu itu berkaitan dengan penyakit saudaranya?” kata yang lainnya. “Saya ragukan itu, tetapi saya dengar dari pembantunya bahwa ia jatuh dikamar mandi pagi itu” komentar anggota keluarga yang lainnya lagi. “Itu menjelaskan memar di sikunya” kata yang pertama. “Tidak heran ia berkata pada saya bahwa ia marah karena ia tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik,” seru anggota keluarga yang keempat. Dialog di atas merupakan usaha untuk memahami mengapa seseorang yang masih hidup di hari Sabtu kemudian meninggal di hari Rabu.
Ketika kematian disebabkan oleh kecelakaan atau bencana, upaya untuk menyadari hal itu menjadi lebih kuat. Seperti menjumlahkan potongan-potongan berita yang mengalir, mereka menyatukannya dalam suatu teka-teki. Orang yang djitinggal mati ingin meletakkan kematian dalam perspektif yang dapat mereka pahami – campur tangan Tuhan, suatu kutukan dari suku bangsa terdekat, rangkaian logis dari sebab dan akibat, atau apapun itu.
Dalam berbagahi contoh, ketika seseorang yang terkenal mati, maka pemecahan teka-teki mengenai kematiannya barangkali menjadi obsesi nasional, dan dapat berlangsung selama bertahun[-tahun, seperti kasus pembunuhan Presiden John F. Kennedy, beberapa individu masih menckoba untuk mengunggap peristiwa tersebut. Anggapan bahwa kematian tersebut merupakan tindakan dari seorang manusia yang tidak stabil jiwanya dan ia bekerja sendiri itu mustahil. “Bagaimana mungkin sebuah keadaan yang tidak masuk akal menghancurkan pria yang berkuasa?” kata beberapa individu.
Akhirnya, kita masing-masing mempunyai “cerita” sendiri sendiri mengenai saat sekarat dan kematian, misalnya kematian John F. Kennedy, kematian orang tua kita ataupun teman-teman kita. Versi dari kematian dapat berbeda-beda – apakah dokter mereka telah melakukan segala sesuatu untuk menyelamatkan pasien, apakah Bibi Bertha sering kerumah sakit atau tidak, apakah operasinya berhasil atau tidak. Masing-masing individu mengembanmgkan banyak versi dan dengan modifikasi sedikit, hal itu menjadi versi resmi yang memuaskan pencerita.
Masa Menjanda
Biasanya kehilangan yang paling sulit adalah kematian pasangan hidup. Terdapat lebih dari 12 miliyar janda di Amereika Serikat; orang yang menjadi janda jumlahnya lima kali lipat tidak mampu dicegah, yang dampaknya barangkali melibatkan kehancurkan ikatan yang telah lama terjalin, munculnya peran dan status baru, kekurangan keuangan, dan barangkali meninggalkan mereka yang hidup tanpa system pendukung yang kuat. Tidak mengejutkan bahwa kematian pasangan dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan seperti merokok dan minum-minum, dan meningkatnya angka kematian dari rata-rata normal (Zisook, Schuchter, & Lyous, 1987).
Masa menjanda dapat dialami secara berbeda bergantung pada keadaan sosio-historis. Modernisasi masyarakat di AS berakibat pada kehidupan janda yang mandiri, lepas dari control keluarga patriarchal, dan mampu untuk mempertahankan diri mereka secara ekonomi melalui uang pension atau system jaminan sosial. Meskipun para janda tersebut terisolasi – tidak mampu terlibat kembali dalam hubungan sosial dan peranan sosial setelah ikatan terakhir terputus melalui kematian – banyak janda memiliki dukungan sosial dan akhirnya melibatkan diri kembali dalam keluarga mereka, tetangga mereka, teman-teman, ataupun pekerjaan dan organisasi. Dukungan sosial bagi mereka yang merawat individu-individu yang akan mati dapat membantu mereka lebih siap menghadapi kematian (Bass, Bowman & Noelkler, 1991; Morgan & Silverman, 1993; Worden, 1991).
Ingatlah bahwa masa menjanda dapat dialami dalam berbagai cara yang berbeda (Lopata, 1987; O’Bryant, 1991). Beberapa janda ada yang pasif, menerima perubahan yang disebabkan kematian suaminya. Yang lain memperoleh kemampuan-kemampuan pribadi dan barang kali tetap berkembang dimasa menjandanya. Beberapa orang masih tinggal dalam tradisi disekelilingnya. Yang lain lebih suka mencari sumber-sumber baru dan perasaan sosial yang baru. Terkadang inisiatif untuk mengatasi masa janda datang dari dalam diri; pada saat lain datang dari dukungan sosial.
Bentuk-Bentuk Perkambungan dan Penguburan
Suttee kini merupakan aturan yang dilarang dalam agama Hindu mengenai praktek pembakaran janda dari seorang laki-laki yang sudah meninggal untuk meningkatkan prestise keluarganya dan secara teguh membangun kesan akan dirinya dalam ingatan suaminya. Dibeberapa budaya, pesta makan-makan diadakan. Di tempat lain, menggunakan ban lengan warna hitam selama 1 tahun setelah kematian. Dari contoh-contoh tersebut, sangat nyata bahwa berbagai budaya begitu bervariasi dalam melakukan praktek perkabungan.
Penguburan adalah aspek penting dari perkabungan beberapa budaya. Satu pertimbangan meliputi pertanyaan, apa yang akan dilakukan terhadap tubuh. Di Amerika Serikat, kebanyakan tubuh-tubuh tersebut ditempatkan dalam peti kecil lalu dikubur di dalam bumi atau dalam makam yang indah. Hanya 9% yang dikremasi. Sisa abu dari sejumlah yang dikremasi ditebarkan di taman krematorium; individu lainnya berharap abu mereka diletakkan di lokasi-lokasi tertentu. Pandangan terhadap tubuh terjadi setelah ada sekitar 75% kematian di Amerika Serikat.
Industri penguburan telah menjasi sumber kontroversi dalam tahun-tahun belakangan ini (Fulton, 1988). Para pemimpin usaha penguburan dan pendukungnya berpendapat bahwa usaha penguburan ini menyediakan suatu bentuk kedekatan hubungan dengan yang mati, terutama ketika terdapat peti terbuka. Namun orang-orang yang tidak setuju dengan praktek ini menuduh bahwa direktur usaha penguburan hanya berusaha mencari uang; mereka selanjutnya membantah bahwa senin membalsemkan jenazah adalah seni yang aneh.
PERSPEKTIF PENGASUHAN DAN PENDIDIKAN
Mengeksplorasi Pendidikan Kematian
Sebuah studi menemukan berkurangnya perkabungan pada anak anak dewasa dan berkurangnya perayaan dalm mengekspresikan duka cita dalam budaya amerika (fulton, 1988).Anak-anak sering dicegah menghadiri ritual pemakaman sehingga mereka tidak mempelajari bentuk-bentuk ritual kematrian .Televisi juga memberikan perhatian yang minim terhadap ritual-ritual tersebut .Dalam suatu penelitian ,ditemukan lebih dari 1500 progam TV komersil di saat jam-jam utama dan diwaktu siang di hari libur menayangkan kira-kira 300 insiden kematian atau kematian beruntun ,yang 80% darinya disebabkan oleh kekerasan. Namaun reasi duka cita ditunjukan oleh kurang dari 30 kematian dan 9 pemakaman yang ditampilkan (Wass, 1985). Walaupun ahli tanantologi berusaha memberikan pendidikan mengenai kematian pada anak secra luas ,namun pendidikan tentang kematian belum diterima secara meluas ditingkat SD.(Wass, Berado dan Neimayer ,1988). Bagaimana krisis-krisis kematian itu ditangani sekolah ,lebih terkait dengan kualitas guru-guru ,termasuk pendekatan mereka terhadap anak-anak ,kenyamanan terhadap topic dan tingkat empati, daripada persipan khusus lainnya atau kurikulum .Anak-anak SMA lebih terbuka terhadap pendidikan kematian,wlapun terkadan hanyan sebuah presentasi singkat sebagai bagian dari kelas kesehatan .Dalam suatu survei ,14% daripada guru kesehatan di SMA newyork mengajarkan suatu unit dari kematian , dan 64% lainnya mengajarkan kematiaan sebagai bagian unit lain (capielo dan troyer ,1979). Banyak sekolah-sekolah dan universitas saat ini memiliki satu atau lebih kursus mengani kematian atau saat sekarat .Kursus-kursus ini dipelajari dalam berbagai disiplin ilmu seperti psikologi ,sosiologi, agama ,antropologi, humanistic, dan filosofi.pada guru pendidikan kematiaan ini berharap kursus-kursus tersebut mampu melengkapi anal-anak pelajar dengan informasi penting mengenai hakikat kematiaan saat sekarat, membantu mereka menentukan nilai-nilai mereka dan memperbaiki kemampuan mengatasi masalah mereka (knott,1979)
Terdapat peti terbuka Namun ,orang-orang yang tidak setuju dengan praktek ini menuduh bahwa direktur usaha penguburan hanya berusaha mencari uang ;mereka selanjutnya membantah bahwa seni membalsem jenasah adalah seni yang aneh..
Satu cara untuk menolak eks[ploitasi yang mengkin terjadi karena kehilangan membuat kita mudah terjebak dengan harga yang lebih mahal untuk persiaapan penguburan adalah dengan membayar mererka di muka terlebih dahulu. Namun, kebanyakan dari kita tidak mengikuti prosedur tersebut. Dalam satu survey, hanya 24%. Dari 60 orang yang lebih membuat persiapan penguburan (kalish & reonalds, 1976). Beberapa budaya telah mengolaborasi system pengubuiran. Untuk mempelajari tentang 2 budaya dengan system penguburan yang luas.
PENDIDIKAN KEMATIAN
Para ahli tanatologi (thanatologist) orang orang yang mempelajari kematian dan saat sekarat, percaya bahwa pendidikan tentang kematian memberikan persiapan positif bagi orang yang sekarat maupun orang yang di tinggalkan. Banyak dari mereka menekankan bahwa menghadapi kematian sendiri dan orang lain merupakan hal penting untuk mengembangkan suatu perspektif secara matang yang diperlukan untuk membuat keputusan mengenai saat kehidupan yang paling penting dan peristiwa kematian (Durlack dan Rieseburg, 1991; Wass, Berardo dan Neimeyer,1998). Beberapa ahli tanatologi juga berpendapat bahwa, meskipun masyarakat kita telah mengembangkan keterbukaan yang cukup tinggiterhadap diskusi mengenai topik topik yang tabu, kita mungkin hanya mengembangkan tingkatan penolakan yang lebih canggih (morgan,1988). Penolakan diskusi tentang kematian dan saat sekarat, yang mencirikan budaya amerika 2 dekade yang lalu, masih tampak juga dalam banyak contoh saat ini.
Kesehatan dan Kesejahteraan Masa Hidup
Orientasi kontenporer pada duka cita menekankan pentingnya melepaskan ikatan mereka dengan yang mati dan kembali melanjutkan kehidupan secara otonomi (Golan, 1975, Lopata, 1988, Perkes, 1972/1986, repheat, dan Nunn, 1988). Orang yang terus menggantungkan diri pada mereka yang telah mati dipercaya membutuhkan terapi. Konsep dan analisis penelitian terbaru, bagaimanapun melemparkan keraguan apakah rekomendasi yang telah disepakati selalu merupakan terapi terbaik (Strobet dkk. 1992).
Analisis pada budaya non-Barat menyatakan bahwa kepercayaan kepercayaan untuk teru mempertahankan ikatan dengan mereka yang telah meninggal sangat bervariasi. Berbeda dengan kepercayaan barat, memelihara ikatan dengan mereka yang telah meninggal diterima dan di pertahaankan dalam ritual religious di jepang. Di Hopi, Arizona, orang yang sudah mati secepat mungkin dilupakan dan kehidupan kembali berjalan seperti biasa.Ritual penguburan mereka berakhir dengan suatu pemisahan antara tubuh dan jiwa. Keragaman pada duka cita sekarang ini lebih jelas dibandingkan pada masyarakat di 2 tempat Mesir dan Bali. Di Mesir, orang yang di tinggalkan di dorong untuk merenung dalam duka cita mereka yang berkepanjangan, dikelilingi orang lain yang mempunyai kesamaan perasaan duka cita. Sebaliknya di Bali, orang yang ditinggal didorong untuk bergembira dan bersenang senang dari pada sedih.
Kajian longitudinal mengenai duka cita di Belanda baru baru ini, menyebutkan bahwa banyak orang yang cenderung untuk memelihara kontak dengan mereka yang telah mati, walaupun pandangan kontenporer menekankan pelepasan ikatan (stroebe&stroebe, 1991, sedang dicetak). Banyak janda/duda yang tidak memiliki rencana untuk melupakan masa lalu, tetapi lebih suka mengintegrasikan pengalaman pengalaman kehilangan menjadi suatu gaya hidup mereka dan mencoba untuk melanjutkan kehidupan sama seperti saat sebelum orang yang di cintai mati. Lebih dari separo orang yang ditinggalkan “berkonsultasi” kepada orang yang telah mati ketika membuat keputusan. Seorang janda/duda pernah berkata bahwa ia memperoleh kenyamanan dengan mengetahui bahwa ini merupakan hal yang tepat yang diinginkan oleh uaminya yang telah mati. Temuan temuan yang sama baru baru ini dilaporkan oleh janda/duda Amerika(shuchter & Zisook, sedang dicetak). Kajian yang sama baru baru ini mengenai orangtua yang anak anaknya mati di kedua perang Israel, usia 13 dan awal 4 tahun(Rubin, sedang dalam proses penerbitan). Bahkan lama setelah kematian anak mereka, para orang tua Israel menunjukkan keterlibatan kuat dengan anaknya. Mereka secara khusus mengidealkan anaknya yang telah meninggal dalam beberapa cara yang tidak di tunjukkan dalam gambaran dari suatu kelompok control para orangtua yang anaknya meninggalkan rumah baru naru ini.
Singkatnya, pemeriksaan secara detail terhadap duka cita di seluruh dunia menyatakan bahwa orang yang berduka cita atau tergabung dalam berbagai kelompok yang bervariasi (stroebe, in press). Berbagai pola pemecahan pola secara cultural masuk dalam praktik-praktik. Tidak satupun yang cara yang benar dan ideal untuk berduka cita. Terdapat berbagai cara untuk merasakan orang yang telah meninggal dan tidak terdapat satu seri tahapan pun yang harus dilalui oleh orang yang di tinggal mati, supaya dapat menyesuaikan diri dengan baik. Orang yang perasaannya selalu tenang mungkin utuh menangis saat ditinggalkan. Dan orang yang selalu cengeng mungkin perlu mengesampingkan harapan suaminya seperti manajer keuangan dalam lingkungan rumah tangganya. Apa yang dibutuhkan adalah pemahaman yang sehat dalam mengatasi kematian orang yang dicintai yang melibatkan pertumbuahan, fleksibilitas, dan kesesuaian dengan konteks sosial. Orientasi ini hanya awal bagi munculnya penelitian penelitian mengenai perkabungan dan praktek klinis yang berkaitan dengan hal tersebut. (Stroebe, Stroebe dan Hanson, sedang dalam proses penerbitan).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori yang menjelaskan tentang gambaran keadaan sosio-emosional orang-orang dewasa lanjut yaitu teori pemisahan, aktivitas, dan rekonstruksi gangguan sosial.baik teori aktivitas maupun teori rekonstruksi gangguan sosial menyatakan bahwa kemampuan orang-orang dewasa lanjut jauh lebih besar dibandingkan dengan telah dinyatakan sebelumnya.
Masih banyak stereotype negatif untuk orang-orang dewasa lanjut, mereka sering tinggal di institusi-institusi.
Orang usia lanjut dari etnis minoritas menghadapi beban khusus, harus mengatasi kemungkinan kesulitan ganda, baik ageisme maupuan rasisme. Meski demikian, stress dan diskriminasi dihadapi oleh orang lanjut usia dari etnis minoritas, banyak diantara mereka yang telah mengembangkan mekanisme penyelesaian masalah yang memampukan mereka bertahan di dalam kebudayaan orang yang dominan.
Mengenai peran gender, terdapat bukti yang kuat bahwa laki-laki menjadi lebih feminine (pengasuh dan sensitive) sebagai seorang dewasa lanjut. Sedangkan wanita menjadi lebih maskulin (asertif dan dominan).
Faktor-faktor yang menentukan status tinggi untuk orang lanjut usia di setiap kebudayaan meliputi pengetahuan berharga yang dimiliki, kontrolnya terhadap sumber daya keluarga atau komunutas, orang lanjut usia diperkenankan untuk terlibat di dalam fungsi-fungsi yang berguna, adanya kontinuitas peran, perubahan-perubahan peran yang terkait dengan usia yang melibatkan tanggung jawab besar, integrasi dalam keluarga luas, serta orientasi kebudayaan yang bersifat kolektivistik daripada individualistik.
Kepuasan hidup akan tercapai saat mendapat kesejahteraan psikologis secara umum, yakni berpendapat, kesehatan, gaya hidup yang sehat, serta jaringan keluarga dan pertemanan yang baik. Sedangkan penuaan yang berhasil akan tercapai saat orang dewasa lanjut mengikuti diet yang sesuai, olah raga, pencarian stimulasi mental yang tepat, dan memiliki relasi dan dukungan sosial yang baik.
Erikson (1968) percaya bahwa masa dewasa akhir dicirikan oleh tahap terakhir dari delapan tahapan siklus kehidupan, yaitu integritas versus keputusasaan (integrity versus despair). Robert Peck (1968) diferensiasi versus kesibukan dengan peran (differentiation versus role preoccupation) merupakan tugas perkembangan dari Peck, dimana orang-orang dewasa lanjut harus mendefinisikan dirinya dengan istilah yang berbeda dari peran-peran kerja. Peck percaya orang-orang dewasa lanjut perlu mengejar serangkaian aktifitas yang bernilai sehingga waktu yang sebelumnya dihabiskan di dalam suatu pekerjaan dan dengan anak-anak dapat terisi. Kekhawatiran pada tubuh versus kesibukan dengan tubuh (body transcendence versus body preoccupation) merupakan tugas perkembangan dari peck di mana orang-orang dewasa lanjut harus mengatasi penurunan kesehatan fisik, seiring dengan menuanya orang dewasa lanjut, mereka mungkin menderita penyakit-penyakit kronis dan tentu saja penurunan kapasitas-kapasitas fisiknya
Kematian biasanya terjadi di usia dewasa akhir, namun dapat juga terjadi pada pase perkembangan manapun. Kematian beberapa orang, khususnya anak-anak dan dewasa sering dianggap lebih tragis daripada kematian pada orang yang lanjut usia. Pada anak-anak dan dewasa muda kematian banyak disebabkan karena kecelakaan, sedang orang dewasa lanjut banyak disebabkan oleh penyakit kronis.
Duka cita merupakan kelumpuhan secara emosional, tidak percaya perpisahan, cemas, putus asa, sedih, dan kesepian yang muncul saat kita akan melalui tiga fase duka cita, yaitu terkejut, putus asa, dan pulih kembali. Sedang empat fase duka cita yaitu kelumpuhan, rindu, depresi, dan pulih kembali.
Biasanya kehilangan yang paling sulit adalah kematian pasangan hidup. Kematian pasangan dikaitkan dengan depresi.
3.2 Saran
Perlu pembelajaran lebih lanjut untuk lebih memahami tentang bagaimana hubungan sosial yang berkembang pada masa dewasa akhir, perbedaan perkembangan psikososial pada masa dewasa akhir dengan perkembangan lainnya, dan bagaimana menghadapi kematian serta kehilangan pada masa dewasa akhir.
Sumber:
Dacey, John S dan Travers, John F. 2004. Human Depelopment. North America: McGraw-Hill.
Monks, F. J dkk. 2001. Psikologi Perkembangan. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.
Santrock, John W. 1995. Life Span Development. Jakarta: Erlangga.
0 komentar:
Posting Komentar