KATA
PENGANTAR
Syukur alhamdulilah saya panjatkan kehadirat Allah yang maha esa yang selalu melimpahkan karunianya kepada kita semua sehingga kita dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Sejalan dengan dinamika bangsa ini yang masih terus mencari bentuk yang lebih baik untuk menghasilkan generasi cerdas yang berbudi,maka saya membuat makalah ini sesuai dengan pendekatan materi yang diberikan dengan tujuan agar para mahasiswa mampu mengembangkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta mampu bersikap positif kepada sesama manusia, dan ikut serta melestarikan lingkungan alam sebagai ungkapan rasa syukur atas segala anugrah Allah yang maha pemurah. saya telah berusaha menyusun makalah ini sebaik mungkin. Akan tetapi, saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh sebab itu, kritik da saran dari berbagai pihak untuk perbaikan isi makalah ini agar bisa terwujud dengan lebih baik.
PENDAHULUAN
Ketika gelombang demokrasi melanda dunia di awal abad ke 19, pembicaraan mengenai perluasan keterlibatan rakyat dalam proses politik semakin penting. Apalagi setelah bubarnya salah satu negara adidaya yaitu Uni Soviet, yang diikuti dengan tercerai berainya persekutuan negara – negara blok Timur, posisi rakyat dalam ikut menentukan kepemimpinan politik kembali mendapat perhatian.
Salah satu perwujudan keterlibatan
rakyat dalam proses politik adalah pemilihan umum. Pemilu merupakan sarana bagi
rakyat untuk ikut menentukan figure dan arah kepemimpinan negara dalam periode
waktu tertentu. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan
negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Maka
ketika demokrasi mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat dunia,
penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan
kepemimpinan sebuah negara.
Pemilu memiliki fungsi utama dalam
hal sirkulasi elit yang teratur dan berkesinambungan. Sebuah kepemimpinan yang
lama tanpa dibatasi periode tertentu, dapat menjurus pada pada kepemimpinan
yang korup dan sewenang – wenang. Banyak contoh dalam sejarah dunia yang
memperlihatkan betapa kekuasaan yang absolut, tanpa pergantian elit yang
teratur dan berkesinambungan, mengakibatkan daya kontrol melemah dan kekuasaan
menjadi korup dan sewenang-wenang. Tetapi pemilu yang teratur dan
berkesinambungan saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang
benar-benar mendekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan sarana legitimasi bagi
sebuah kekuasaan. Setiap penguasa, betapapun otoriternya pasti membutuhkan
dukungan rakyat secara formal untuk melegitimasi kekuasaannya. Maka pemilu
sering kali dijadikan alat untuk pelegitimasian kekuasaan semata. Cara termudah
yang dilakukan adalah mengatur sedemikian rupa teknis penyelenggaraan pemilu
agar hasil dari pemilu memberi kemenangan mutlak bagi sang penguasa dan partai
politiknya. Pemilu merupakan icon demokrasi yang dapat dengan mudah
diselewengkan oleh penguasa otoriter untuk kepentingan melanggengkan
kekuasaannya. Maka selain teratur dan berkesinambungan, masalah system atau
mekanisme dalam penyelenggaraan pemilu adalah hal penting yang harus
diperhatikan
BAB
I
A.
FUNGSI PEMILIHAN UMUM
Pemilu memberikan kontribusi mendasar untuk pemerintahan
yang demokratis. Karena demokrasi-langsung bentuk pemerintahan di mana
keputusan-keputusan politik yang dibuat langsung oleh seluruh tubuh berkualitas
warga negara-adalah praktis dalam masyarakat paling modern, pemerintahan yang
demokratis harus dilakukan melalui perwakilan. Pemilihan memungkinkan pemilih
untuk memilih pemimpin dan untuk menahan mereka bertanggung jawab atas kinerja
mereka di kantor. Akuntabilitas dapat dirusak ketika pemimpin terpilih tidak
peduli apakah mereka terpilih kembali atau ketika, karena alasan historis atau
lainnya, satu partai atau koalisi yang begitu dominan yang ada secara efektif
ada pilihan bagi pemilih antara kandidat alternatif, partai, atau kebijakan.
Namun demikian, kemungkinan para pemimpin mengendalikan dengan mengharuskan
mereka untuk tunduk pada pemilihan umum reguler dan periodik membantu untuk
memecahkan masalah suksesi dalam kepemimpinan dan dengan demikian memberikan
kontribusi bagi kelanjutan demokrasi. Selain itu, dimana proses pemilihan yang
kompetitif dan kekuatan kandidat atau partai untuk mengekspos catatan mereka
dan niat masa depan untuk pengawasan populer, pemilu berfungsi sebagai forum
untuk diskusi tentang isu-isu publik dan memfasilitasi ekspresi opini publik.
Pemilihan demikian memberikan pendidikan politik bagi warga negara dan
memastikan respon dari pemerintahan demokratis dengan kehendak rakyat. Mereka
juga berfungsi untuk melegitimasi tindakan mereka yang memegang kekuasaan,
fungsi yang dilakukan sampai batas tertentu bahkan oleh pemilihan yang
kompetitif.
Pemilihan
juga memperkuat stabilitas dan legitimasi dari masyarakat politik. Seperti hari
libur nasional memperingati pengalaman umum, pemilihan warga negara untuk
menghubungkan satu sama lain dan dengan demikian memastikan kelangsungan hidup
pemerintahan. Akibatnya, pemilu membantu untuk memfasilitasi integrasi sosial
dan politik.
Akhirnya, pemilu melayani
tujuan aktualisasi diri dengan menegaskan nilai dan martabat setiap warga
negara sebagai manusia. Apapun kebutuhan lainnya mungkin pemilih, partisipasi
dalam pemilu berfungsi untuk memperkuat harga diri mereka dan harga diri.
Voting memberi orang kesempatan untuk memiliki mereka mengatakan dan, melalui
keberpihakan mengungkapkan, untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk merasakan
rasa memiliki. Bahkan nonvoting memenuhi kebutuhan dari beberapa orang untuk
mengekspresikan keterasingan mereka dari komunitas politik. Untuk tepatnya
alasan ini, perjuangan panjang untuk hak untuk memilih dan permintaan untuk
kesetaraan dalam partisipasi pemilu dapat dilihat sebagai manifestasi dari
keinginan manusia yang mendalam untuk pemenuhan pribadi.
Apakah
yang diselenggarakan di bawah rezim otoriter atau demokratis, pemilu memiliki
aspek ritual. Pemilu dan kampanye sebelumnya mereka adalah peristiwa dramatis
yang disertai dengan aksi unjuk rasa, spanduk, poster, tombol, judul, dan
liputan televisi, yang semuanya meminta perhatian kepada pentingnya partisipasi
dalam acara tersebut. Calon, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan
yang mewakili beragam tujuan memohon simbol nasionalisme atau patriotisme,
reformasi atau revolusi, kejayaan masa lalu atau janji masa depan. Apapun
variasi nasional, regional, atau lokal aneh, pemilu adalah peristiwa-peristiwa itu,
dengan membangkitkan emosi dan menyalurkan mereka ke arah simbol kolektif,
memecahkan monoton kehidupan sehari-hari dan perhatian fokus pada nasib umum.
Pemilu memberikan kontribusi mendasar
untuk pemerintahan yang demokratis. Karena demokrasi langsung
-bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan politik yang dibuat langsung
oleh seluruh tubuh berkualitas warga negara-adalah praktis dalam masyarakat
paling modern, pemerintahan yang demokratis harus dilakukan melalui perwakilan.
Pemilihan memungkinkan
pemilih untuk memilih pemimpin dan untuk menahan mereka bertanggung jawab atas
kinerja mereka di kantor. Akuntabilitas dapat dirusak ketika pemimpin terpilih
tidak peduli apakah mereka terpilih kembali atau ketika, karena alasan historis
atau lainnya, satu partai atau koalisi yang begitu dominan yang ada secara
efektif ada pilihan bagi pemilih antara kandidat alternatif, partai, atau
kebijakan. Namun
demikian, kemungkinan para pemimpin mengendalikan dengan mengharuskan mereka
untuk tunduk pada pemilihan umum reguler dan periodik membantu untuk memecahkan
masalah suksesi dalam kepemimpinan dan dengan demikian memberikan kontribusi
bagi kelanjutan demokrasi. Selain itu, dimana proses pemilihan yang kompetitif dan
kekuatan kandidat atau partai untuk mengekspos catatan mereka dan niat masa
depan untuk pengawasan populer, pemilu berfungsi sebagai forum untuk diskusi
tentang isu-isu publik dan memfasilitasi ekspresi opini publik . Pemilihan demikian memberikan
pendidikan politik bagi warga negara dan memastikan respon dari pemerintahan
demokratis dengan kehendak rakyat. Mereka juga berfungsi untuk melegitimasi tindakan mereka
yang memegang kekuasaan, fungsi yang dilakukan sampai batas tertentu bahkan
oleh pemilihan yang kompetitif.
Pemilihan juga memperkuat
stabilitas dan legitimasi dari masyarakat politik. Seperti hari libur nasional
memperingati pengalaman umum, pemilihan warga negara untuk menghubungkan satu
sama lain dan dengan demikian memastikan kelangsungan hidup dari pemerintahan . Akibatnya, pemilu membantu
untuk memfasilitasi integrasi sosial dan politik.
Akhirnya, pemilu melayani
tujuan aktualisasi diri dengan menegaskan nilai dan martabat setiap warga
negara sebagai manusia. Apapun kebutuhan lainnya mungkin pemilih, partisipasi
dalam pemilu berfungsi untuk memperkuat harga diri mereka dan harga diri.
Voting memberi orang kesempatan untuk
memiliki mereka mengatakan dan, melalui keberpihakan mengungkapkan, untuk
memenuhi kebutuhan mereka untuk merasakan rasa memiliki. Bahkan nonvoting memenuhi
kebutuhan dari beberapa orang untuk mengekspresikan keterasingan mereka dari
komunitas politik. Untuk tepatnya alasan iniscript
pertempuran panjang
untuk hak untuk memilih dan permintaan untuk kesetaraan dalam partisipasi
pemilu dapat dilihat sebagai manifestasi dari keinginan manusia yang mendalam
untuk pemenuhan pribadi.
Apakah yang diselenggarakan
di bawah rezim otoriter atau demokratis, pemilu memiliki aspek ritual. Pemilu dan kampanye
sebelumnya mereka adalah peristiwa dramatis yang disertai dengan aksi unjuk
rasa, spanduk, poster, tombol, judul, dan liputan televisi, yang semuanya
meminta perhatian kepada pentingnya partisipasi dalam acara tersebut. Calon, partai politik, dan
kelompok-kelompok kepentingan yang mewakili beragam tujuan memohon simbol
nasionalisme atau patriotisme, reformasi atau revolusi, kejayaan masa lalu atau
janji masa depan. Apapun
variasi nasional, regional, atau lokal aneh, pemilu adalah peristiwa-peristiwa
itu, dengan membangkitkan emosi dan menyalurkan mereka ke arah simbol kolektif,
memecahkan monoton kehidupan sehari-hari dan perhatian fokus pada nasib umum.
B. CIRI-CIRI
PEMILU DEMOKRATIS
1.
Dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945
2.
Undang-Undang Pemilu harus demokratis,
berdiri diatas kepentingan semua peserta pemilu dan segenap rakyat
3.
Peraturan-peraturan Pemilu yang dibuat oleh KPU dan Bawaslu harus
menjunjung tinggi keadilan dan tidak multi tafsir (seperti yang terdapat dalam
UU no.22 thn.2007 ttg Penyelenggara Pemilu, Peraturan KPU no.73 thn.2009 bab
VII pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), Peraturan KPU No.16 thn.2010 bab VIII pasal
65 huruf b) dan harus berdasarkan UU yang berlaku untuk itu
4.
Para penyelenggara pemilu dari tingkat KPU di
pusat sampai di KPPS, Bawaslu sampai ke PPL,haruslah orang-orang yang
independen/netral, bukan PNS/Guru/Dosen/Partisan, seperti yang terjadi sampai
saat ini (Pemilu 2009 dan Pemilukada 2010) ;
5.
Pendanaan pemilu yang bernilai TRILYUNAN rph
6.
itu hendaknya dialokasikan secara
berkeadilan dan rasional, sebab ternyata serapan dana pemilu itu (bagian)
terbesar ada di tingkat KPU-RI,BAWASLU-RI, KPU Propinsi dan PANWASLU Propinsi
sedangkan alokasi dana pemilu untuk PPDP, KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota,
PPL, Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kabupaten/Kota, sangat-sangat kecil,
sehingga dalam pelaksanaan pemilu tahun 2014 perlu ditingkatkan lagi dengan
besaran 60 sampai 100% ;
7.
Pihak Pemerintah harus NETRAL, termasuk PNS
dan tidak MENGINTERVENSI pihak Penyelenggara Pemilu/Pemilukada, meskipun Dana
nya disiapkan oleh pemerintah atasnama Negara ;
8.
TNI dan POLRI jangan terus
"dipasung" hak konstitusionalnya, berilah mereka "hak
memilih" dalam pemilu tahun 2014, supaya semakin demokratislah pemilu
kita;
9.
Oknum Penyelenggara Pemilu yang KORUPSI,
langsung dipecat dan dipenjarakan, sedangkan oknum Pemerintah yang
mengintervensi KPU dan Bawaslu disemua tingkatan, segera DIBEBASKAN dari
jabatan dan diproses hukum. KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPDP
C. Perkembangan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
Pemilu di Indonesia sudah dilaksanakan
selama 9 kali yang pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga
perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Amandemen ke-4
UUD 1945 tahun 2002, pilpres yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati
dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim
pemilu. Pilpres pertama diadakan pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan UU
Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan pilkada juga dimasukkan sebagai rezim pemilu.
Sekarang, istilah pemilu lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan
pilpres diadakan setiap 5 tahun sekali.
Asas
pada Zaman Orde Baru dan Zaman Reformasi
Orde Baru
Asas
"LUBER" yaitu :
- Langsung: pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.
- Umum: pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.
- Bebas: pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
- Rahasia: suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Reformasi
Asas
"Jurdil" yaitu :
- Jujur: pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih.
- Adil: perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Asal-usul Pemilu di Indonesia
Selama
lima tahun pertama kemerdekaan bangsa Indonesia, sering diselenggarakan pemilu
di daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Pemilu ini untuk memilih memilih
wakil-wakil daerah. Pemilu ini tidak demokratis karena pamong pro-Belanda
mengintimidasi rakyat agar tidak memilih calon pro-Republiken. Selain itu
selalu terjadi pula penangkapan aktivis politik Republiken dalam setiap pemilu.
PEMILU 1955
Pemilu
pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih
anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini disebut Pemilu 1955, dan
dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun,
Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala
pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Pemilu
ini diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat
demokratis.
Pemilu
1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
- Pemilu DPR 29 September 1955.
- Pemilu Konstituante 15 Desember 1955.
PEMILU 1977
Pemilu
kedua diselenggarakan 5 Juli 1971. Para pejabat negara pada Pemilu 1971
diharuskan bersikap netral. Namun, para pejabat pemerintah berpihak kepada
salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun
merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan
seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu
peserta Pemilu itu.
Dalam
Pemilu ini, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi
terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi
mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi
dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian
lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
PEMILU 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
Setelah
1971, pelaksanaan Pemilu terjadwal sekali dalam 5 tahun dan pesertanya hanyalah
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan
satu Golongan Karya atau Golkar. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan
oleh Golongan karya. Keadaan ini membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif
berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil
dan militer.
PEMILU 1999
Pemilu
pertama setelah runtuhnya orde baru yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada 7 Juni
1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai
politik.Lima besar Pemilu 1999 PDIP, Partai Golkar, PPP, PKB, dan PAN.
Walaupun
PDIP meraih suara terbanyak, yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari
partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari PKB, yaitu Abdurrahman
Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini
dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih
anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan
oleh anggota MPR.
0 komentar:
Posting Komentar