KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, hanya kepada-Nya kita
memuji, memohon pertolongan dan meminta ampunan. Kita berlindung kepada Allah
dari kejahatan nafsu dan keburukan amal perbuatan kita. Barang siapa yang
diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada seorang pun yang dapat menyesatkannnya.
Sebaliknya, barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tiada seorang pun yang dapat
memberinya petunjuk.
Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan Makalah
yang berjudul “Sistem Politik di
Indonesia” sebagai analisis untuk melihat bagaimana system politik di
Indonesia.
Didalam makalah ini, saya akan membahas tentang
system Politik di Indonesia dilihat dari beberapa pendekatan teori system
politik, sejarah dan pemerintahan yang sedang berjalan di Indonesia.
Saya hanya dapat berdoa, kiranya apa yang saya
tulis disini bermanfaat bagi kita semua. Ucapan terima kasih kepada semua pihak
yang telah mendukung dan membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. saya
sadar bahwa apa yang kami tulis masih sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca sangat saya
harapkan.
Akhir kata, mohon maaf apabila terdapat banyak
kesalahan dalam makalah ini. Dan hanya kepada Allah swt kita berlindung dan
memohon ampun.
Probolinggo,08 Februarir 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………… i
DAFTAR ISI .…………………………………………………………………….. ii
BAB I : PENDAHULUAN ….…………………………………………………… 1
BAB II : PENDEKATAN TEORI
SISTEM POLITIK …... …..…………… 3
A.
Teori Behavioral Sistem Politik ...
………………………………………. 3
B.
Teori Struktural- fungsional Sistem Politik .………………………….… 6
C.
Peran Sejarah dalam Sistem Politik di Indonesia
..…………………….. 9
BAB III : SISTEM POLITIK INDONESIA
……………………. ………… 12
A.
Pengertian Sistem Politik ………………………………………………… 12
B.
Proses Plitik di Indonesia ………..….…………………………………… 13
C. Sejarah
Sistem Politik di Indonesia .……………………………….… 16
D. Perbedaan
sistem Politik di berbagai Negara ……………………….. 18
BAB IV : KESIMPULAN………………………………………………………..... 20
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem
sosial. Perspektif atau pendekatan
sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu
system, yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki
hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan
politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya
dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur
hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik.
Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya
merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok
penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut
pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan
politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan
masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses
politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya
dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik
lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintahan
untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka
efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan
bagi rakyat.
Sistem politik pada suatu negara terkadang bersifat relatif,
hal ini dipengaruhi oleh elemen-elemen yang membentuk sistem tersebut. Juga faktor sejarah
dalam perpolitikan di suatu negara. Pengaruh sistem politik negara lain juga
turut memberi kontribusi pada pembentukan sistem politik disuatu negara.
Seperti halnya sistem politik di Indonesia, seiring dengan waktu, sistem
politik di Indonesia selalu mengalami perubahan.
Indonesia
merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana sistem politik Indonesia
akan berpengaruh pada sistem politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih
luas. Struktur kelembagaan atau
institusi khas Indonesia
akan terus berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga
melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh Indonesia. Namun demikian, kekhasan sistem politik Indonesia
belum dapat dikatakan unggul bila kemampuan positif struktur dan fungsinya
belum diperhitungkan sistem politik negara lain.
Salah satu syarat penting dalam memahami bagaimana sistem
politik Indonesia
adalah melalui pengembangan wawasan dengan melibatkan institusi-institusi
nasional dan internasional. Artinya
lingkungan internal dan eksternal sebagai batasan dari suatu sistem politik Indonesia harus dipahami terlebih
dahulu.
Lingkungan internal akan sangat dipengaruhi oleh budaya
politik bangsa Indonesia. Sedangkan budaya politik sendiri merupakan
wujud sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam
kehidupan masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan nilai dan norma
perilaku. Sementara itu, lingkungan
eksternal sedikit banyak mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi
budaya berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial maupun
bentuk “penjajahan” budaya pop (pop
culture) di era globalisasi.
Mempelajari sistem politik suatu negara tidak dapat dan tidak
pernah berdiri sendiri dari sistem politik negara lain, setidaknya itulah
maksud implisit yang diutarakan David Easton melalui pendekatan analisa sistem
terhadap sistem politik. Sampai
kemudian, Gabriel Almond meneruskannya ke dalam turunan teori sistem politik
yang lebih konkrit, yaitu menggabungkan teori sistem ke dalam
struktural-fungsional, barulah kita mendapatkan pemahaman bagaimana sistem
politik seperti di Indonesia berinteraksi dengan sistem politik lainnya.
Akhirnya, mengingat sebegitu luas pembicaraan mengenai sistem
politik, maka layaknya suatu sistem, kami akan ciptakan terlebih dahulu
batasan-batasannya, yaitu mengenalkan kedua pendekatan terhadap sistem politik
baru kemudian menganalisis sistem politik Indonesia. Oleh karena itu terlebih
dahulu kami akan membahas pendekatan sistem politik dari teori behavioral. kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
pendekatan sistem politik dari sudut teori struktural-fungsional, serta
pembahasan pada arti penting sejarah dalam mempelajari sistem politik Indonesia.
BAB II
PENDEKATAN TEORI SISTEM POLITIK
A. Pendekatan Teori Behavioral Sistem Politik
Adalah David Easton (1953), seorang ilmuwan politik dari Harvard
University, memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik
dalam memahami politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi
pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun
1960-an. Kaum pluralis mengingkari
berbicara dengan konteks spesifik.
Sedangkan ilmuwanpolitik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan
teori umum dengan melihat masalah lebih konstekstual.
Sebagai pendukung setia aliran behavioralisme, Easton berusaha keras
mengantarkan politik menjadi ilmu setara dengan ilmu alam dengan
mengembalikannya ke dalam kaidah-kaidah saintifik seperti generalisasi,
abstrak, validitas, dan sebagainya untuk mengukur tingkah laku politik
seseorang. Hasrat kuat untuk memunculkan politik sebagai ilmu pengetahuan
(science) ditempuh dengan cara menciptakan model abstrak, mempolakan rutinitas
dan proses politik secara umum. Model
seperti ini menurut Easton, memiliki tingkat abstraksi saintifik sangat tinggi,
sehingga generalisasi politik sebagai ilmu akan tercapai. Menurut Easton,
politik harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan kumpulan dari
beberapa masalah yang harus dipecahkan.
Easton menganggap politik sebagai organisme, memperlakukannya sebagai
mahluk hidup. Teori Easton berisi pernyataan tentang apa yang membuat sistem
politik beradaptasi, bertahan dan bereproduksi, dan terutama, berubah. Easton menggambarkan politik dalam keadaan
selalu bergejolak, menolak ide “equilibrium,” yang mempengaruhi teori politik
masa kini (lihat teori institusionalisme).[1] Lebih jauh, Easton menolak ide bahwa politik
dapat dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan analisis. Oleh karena itu, abstraksi Easton dapat
diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.
Fokus perhatian Easton bersumber pada pertanyaan mengenai bagaimana
mengelola sistem politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak
dan rentan pada perubahan. Dalam
menjawab pertanyaan ini, Easton meyakini akan pentingnya melakukan penelitian
akan bagaimana sistem politik berinteraksi dengan lingkungannya, baik di dalam
maupun di luar lingkup masyarakat.,
Secara sederhana Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem politik
sama seperti halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang kesemuanya
merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar. Namun demikian, sistem politik menurut
pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki kekuatan membuat keputusan
yang mengikat semua anggota dalam sistem.
Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat
dipisahkan melalui tiga dimensi: polity,[2]
politik,[3]
dan policy (kebijakan).[4]
Easton berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga dimensi ini terbukti
lebih efektif, terutama untuk memahami realitas politik dalam upaya memberikan
pendidikan politik.
Fokus pendekatan sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan
dukungan, sebagai prasyarat sebelum memasuki proses konversi dalam sistem politik. Setelah melalui proses konversi barulah
keluar keputusan mengikat seluruh anggota masyarakat dalam bentuk hukum ataupun
perundangan. Hukum dan perundangan tersebut, pada gilirannya, akan menciptakan
reaksi berupa opini dalam masyarakat, menghasilkan masukan baru, dan kembali
menciptakan tuntutan dan atau dukungan baru.
Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan
yang memiliki batasan dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan). Model sistem politik terdiri dari fungsi
input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi
output sebagai hasil dari proses sistem politik, lebih jelasnya seperti berikut
ini:
Tahap 1 : Di dalam sistem politik akan terdapat
“tuntutan” untuk “output” tertentu (misal: kebijakan), dan adanya orang atau
kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap 2 : Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan
berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk pengambilan
keputusan itu sendiri.
Tahap 3 : Setiap
keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan
lingkungannya.
Tahap 4 : Ketika
kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan
baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap 5 : Kembali ke tahap 1.
Apabila sistem berfungsi seperti
tahapan yang digambarkan, kita akan mendapatkan “sistem politik stabil.” Sedangkan apabila sistem tidak berjalan
sesuai tahapan, maka kita akan mendapatkan “sistem politik disfungsional.”
Easton menetapkan batasan lingkungan pada sistem politik dimana input dan
output senantiasa berada dalam keadaan tetap, seperti tergambar dalam ilustrasi
di bawah ini.
Keuntungan metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan
berbagai aspek dan elemen politik ke dalam teori analisa sistem. Proses penggabungan akan membuka peluang untuk
melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian mensistemasikannya
dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain
karena:
- Sifatnya yang mutlak;
- Teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik;
- teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem. Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan);
- Teori ini mengingkari keberadaan suatu negara;
- Teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul akibat variasi.[5]
B. Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik
Di tahun 1970-an, ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell
memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem
politik (comparative politics). Mereka
berargumen bahwa memahami suatu sistem politik,
tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga
fungsi mereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi
tersebut harus ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak
dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide ini berseberangan dengan
pendekatan yang muncul dalam lingkup perbandingan politik seperti: teori
negara-masyarakat dan teori dependensi.
Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki
bagian yang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan
batas tertentu. Sedangkan sistem politik
merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam
merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di
dalamnya. Pemerintah atau negara
merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.
Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan dari
teori sistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan
struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh
sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan
respon” yang sama—atau input dan output.
Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup terhadap karakteristik
unik dari sistem itu sendiri.
Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen
kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif,
legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di
jaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain
struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai
fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.
Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan
nilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga,
sekolah, media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang
membangun, menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam
masyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses,
dimana masyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip
kebiasaan menjadi warga negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana
sistem politik menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga
negara, untuk memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan
duduk dalam kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu
sistem menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang
menyusun sistem politik.[6]
Dalam sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai
dari membangun dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat, sampai terjun dalam peperangan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah
memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti parlemen,
birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus
pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakan
kebijakan.
Pengetahuan mengenai keenam macam struktur politik tersebut belum dapat
menerangkan sistem politik apapun, selain memperlakukannya sebagai entitas yang
berdiri sendiri, namun belum mencapai tahap interaksi. Untuk itu, lingkungan perlu tercipta lebih
dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur politik, misalnya negara
Indonesia seperti ilustrasi berikut ini.[7]
Interaksi tiap bagian dalam struktur akan memunculkan kekhasan corak
dan perilaku dalam menyikapi lingkungannya, yang disebut fungsi. Tidak ada dua negara identik dalam
menjalankan fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika Serikat dan Cina
memiliki parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah berlainan. Agar lebih jelas, interaksi antar berbagai
fungsi dalam struktur kelembagaan di dalam sistem politik Indonesia dengan
sistem politik negara lain.
Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami
bagaimana fungsi berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja. Fungsi proses terdiri dari urutan aktifitas
yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap
sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan,
pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan kebijakan. Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka
memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan kebijakan. Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa
individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan
apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik dimulai
ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan.[8]
Agar bekerja efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi) ke
dalam alternatif pilihan, seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau jaminan
sosial lebih tinggi atau kurang, dimana dukungan politik dapat
dimobilisasi. Alternatif pilihan
kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang mengawasi pemerintahan akan
mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan kebijakan mendapatkan legitimasi.
Kebijakan harus ditegakkan dan diimplementasikan, dan apabila ada yang
mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui proses pengadilan.[9]
Namun demikian, Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional
dalam memahami sistem masih banyak kekurangan.
Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian Theda Scokpol, mengenai
studi sistem politik mencari penyebab terjadinya revolusi dengan mengamati
perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan lembaga-lembaga yang
ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang berbeda,[10]
sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic developmental atau pendekatan
dinamika pembangunan sebagai pelengkap pendekatan struktural fungsional dalam
memahami sistem politik.
Namun demikian, pendekatan struktural-fungsional ternyata belum cukup
lengkap dalam menjelaskan fenomena perubahan politik yang ada. Faktor budaya politik (political culture)
sebagai bagian penting dari sistem politik yang sangat berkaitan erat dengan
sejarah perjalanan suatu bangsa.
Terpisah dari siapa yang memaknai dan mendominasi bahasa sejarah, tetap
nilai-nilai historis akan berperan penting sebagai pertanda lahirnya suatu
peradaban ataupun budaya masyarakat tertentu.
Oleh karena itu penggabungan antara pendekatan analisa sistem,
pendekatan struktural-fungsional dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita
akan sistem politik Indonesia yang sedang dipelajari. Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam
sistem politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga
eksekutif, lembaga legislatif; jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan[11]
dapat kita prediksi kecenderungannya di masa mendatang.
C. Peran Penting Sejarah dalam Sistem Politik Indonesia
Peran penting sejarah dalam memahami sistem politik sangat berkaitan
dengan faktor lingkungan. Perubahan lingkungan sebagai batas ruang lingkup
sistem politik merupakan hasil bentukan budaya yang terdapat di dalam maupun di
luar sistem.
Budaya sendiri merupakan peristiwa sejarah yang menggambarkan pola
perilaku, cita rasa, yang dirasakan, ditanamkan, diwariskan, dari generasi satu
ke generasi lainnya. Dengan demikian
sangatlah naif apabila kita menganalisa sistem politik sekarang tanpa paham
akar sejarahnya. Karena yang akan kita
dapatkan hanyalah analisa sempit yang tidak dapat memberikan sumbangsih bagi
kepentingan perbaikan sistem politik di masa depan.
Pendekatan historical institutionalism analysis yang dikemukakan oleh
Paul Pierson dan Theda Scockpol (2000), ilmuwan politik dari Harvard
University, merupakan alternatif pendekatan teori politik behavioralisme dan
rasionalisme yang sangat mengutamakan metodologi empirik dalam mengamati
perubahan pada pemerintahan, politik, dan kebijakan publik. Menurut Scockpol,
ciri dari pendekatan historical institutionalisme terletak pada upaya mencari
jawaban terhadap pertanyaan besar dan substantif yang biasanya menjadi
perhatian publik maupun para ilmuwan politik.
Sebagai contoh, behavioralis terkadang luput mengamati bahwa
keseragaman pola tingkah laku individu dalam berpartisipasi secara sukarela
dalam suatu organisasi atau mencoblos dalam pemilihan umum, dapat berbeda
maknanya tergantung dari organisasi atau institusi apa yang dipilih pada satu
negara ataupun periode tertentu.
Berbeda dengan dua pendekatan
sebelumnya, historical institusional memandang penting penting artinya waktu,
mengkhusukan pada alur berpikir dan
melacak transformasi dan proses dari berbagai ukuran dan waktu. Pendekatan ini
mengalanisis konteks dan hipotesis makro tentang perpaduan dampak dari
institusi dan proses daripada hanya mempelajari satu institusi pada satu
periode waktu saja dalam rangka memahami pemerintahan, politik, dan kebijakan
publik. Oleh karena itu, pendekatan
historical institusional tidak ragu untuk menggali sejarah sebagai pelengkap
pendekatan yang fokus pada analisis data dalam periode waktu singkat. [12]
Pentingnya sejarah juga diakui oleh para Indonesianis (ahli Indonesia)
seperti Herbert Feith, dalam mempelajari sistem politik Indonesia. Dalam mengaplikasikan sejarah dalam sistem
politik Indonesia, Feith menggunakan teori sistem struktural-fungsional dengan
empat pendekatan, antara lain:
- Masa sebelum tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
- Masa pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an, ahli politik Indonesia asal Amerika Serikat, J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan nasionalisme dan revolusi,
- Masa setelah tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat dari tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas. Konsep Geertz mengaplikasikan pendekatan sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai politik, melahirkan konsep “politik aliran,”
- Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan “mempelajari perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.”[13]
Sehingga, dalam mempelajari sistem politik Indonesia masa
sekarang, perlu mengetahui peranan institusi-institusi dalam masa transisi
pemerintahan Indonesia. Kegagalan sistem
dalam pendekatan yang menggabungkan struktural-fungsional dan sejarah, bukan
merupakan tanggung jawab individu sebagai aktor penggerak suatu lembaga, akan
tetapi lebih karena pola yang terus menerus diwariskan atau lebih keras,
diindoktrinasikan, kepada sistem.
Pada akhirnya, apabila sistem politik harus berubah,
institusi-institusi yang ada perlu dirumuskan kembali tingkat kepentingan dan
fungsinya di masa depan dengan memperhatikan kegagalan-kegagalan mereka di masa
lalu sebagai input. Singkat kata, input
berupa desakan, tuntutan, dan dukungan lingkungan nasional dan internasional,
seyogyanya memperhatikan latar belakang sejarah mengapa input tersebut ada.
BAB III
SISTEM POLITIK INDONESIA
A.
Pengertian sistem Politik
1. Pengertian Sistem
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan
yang kompleks dan terorganisasi.
2. Pengertian Politik
Politik berasal dari bahasa yunani yaitu “polis”
yang artinya Negara kota.
Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam
Negara/kehidupan Negara.[14]
Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan
dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal
kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat,
bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara
dan organisasi kemasyarakatan.[15]
Dapat disimpulkan bahwa
politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses
pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama
masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
3. Pengertian Sistem Politik
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik
adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang
berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan
mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu
satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara.[16]
Sistem Politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme
atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang
berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng
4.
Pengertian Sistem Politik di Indonesia
Sistem
politik Indonesia diartikan
sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia
yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan,
upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan
skala prioritasnya.
Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di
dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan
yudikatif ). Dalam
Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang
seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan
infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan
masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah
Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD
1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat
keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Badan yang
ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest
Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi
Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat
dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses
pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan
yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat.
B. Proses Politik Di Indonesia
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses
politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:[17]
-
Masa prakolonial
-
Masa kolonial (penjajahan)
-
Masa Demokrasi Liberal
-
Masa Demokrasi terpimpin
-
Masa Demokrasi Pancasila
-
Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara
sistematis dari aspek :
-
Penyaluran tuntutan
-
Pemeliharaan nilai
-
Kapabilitas
-
Integrasi vertikal
-
Integrasi horizontal
-
Gaya politik
-
Kepemimpinan
-
Partisipasi massa
-
Keterlibatan militer
-
Aparat negara
-
Stabilitas[18]
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai
berikut :
1. Masa prakolonial (Kerajaan)
-
Penyaluran tuntutan – rendah dan
terpenuhi
-
Pemeliharaan nilai – disesuikan
dengan penguasa
-
Kapabilitas – SDA melimpah
-
Integrasi vertikal – atas bawah
-
Integrasi horizontal – nampak
hanya sesama penguasa kerajaan
-
Gaya politik – kerajaan
-
Kepemimpinan – raja, pangeran dan
keluarga kerajaan
-
Partisipasi massa – sangat rendah
-
Keterlibatan militer – sangat kuat
karena berkaitan dengan perang
-
Aparat negara – loyal kepada
kerajaan dan raja yang memerintah
-
Stabilitas – stabil dimasa aman
dan instabil dimasa perang
2. Masa kolonial (penjajahan)
-
Penyaluran tuntutan – rendah dan
tidak terpenuhi
-
Pemeliharaan nilai – sering
terjadi pelanggaran ham
-
Kapabilitas – melimpah tapi
dikeruk bagi kepentingan penjajah
-
Integrasi vertikal – atas bawah
tidak harmonis
-
Integrasi horizontal – harmonis
dengan sesama penjajah atau elit pribumi
-
Gaya politik – penjajahan, politik
belah bambu (memecah belah)
-
Kepemimpinan – dari penjajah dan
elit pribumi yang diperalat
-
Partisipasi massa – sangat rendah
bahkan tidak ada
-
Keterlibatan militer – sangat besar
-
Aparat negara – loyal kepada
penjajah
-
Stabilitas – stabil tapi dalam
kondisi mudah pecah
3. Masa Demokrasi Liberal
-
Penyaluran tuntutan – tinggi tapi
sistem belum memadani
-
Pemeliharaan nilai – penghargaan
HAM tinggi
-
Kapabilitas – baru sebagian yang
dipergunakan, kebanyakan masih potensial
-
Integrasi vertikal – dua arah,
atas bawah dan bawah atas
-
Integrasi horizontal-
disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
-
Gaya politik – ideologis
-
Kepemimpinan – angkatan sumpah
pemuda tahun 1928
-
Partisipasi massa – sangat tinggi,
bahkan muncul kudeta
-
Keterlibatan militer – militer
dikuasai oleh sipil
-
Aparat negara – loyak kepada
kepentingan kelompok atau partai
-
Stabilitas - instabilitas
4. Masa Demokrasi terpimpin
-
Penyaluran tuntutan – tinggi tapi
tidak tersalurkan karena adanya Front nas
-
Pemeliharaan nilai – Penghormatan
HAM rendah
-
Kapabilitas – abstrak, distributif
dan simbolik, ekonomi tidak maju
-
Integrasi vertikal – atas bawah
-
Integrasi horizontal – berperan
solidarity makers,
-
Gaya politik – ideolog, nasakom
-
Kepemimpinan – tokoh kharismatik
dan paternalistik
-
Partisipasi massa – dibatasi
-
Keterlibatan militer – militer
masuk ke pemerintahan
-
Aparat negara – loyal kepada
negara
-
Stabilitas - stabil
5. Masa Demokrasi Pancasila
-
Penyaluran tuntutan – awalnya
seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
-
Pemeliharaan nilai – terjadi
Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
-
Kapabilitas – sistem terbuka
-
Integrasi vertikal – atas bawah
-
Integrasi horizontal – nampak
-
Gaya politik – intelek, pragmatik,
konsep pembangunan
-
Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
-
Partisipasi massa – awalnya bebas
terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
-
Keterlibatan militer – merajalela
dengan konsep dwifungsi ABRI
-
Aparat negara – loyal kepada
pemerintah (Golkar)
-
Stabilitas stabil
6. Masa Reformasi
-
Penyaluran tuntutan – tinggi dan
terpenuhi
-
Pemeliharaan nilai – Penghormatan
HAM tinggi
-
Kapabilitas –disesuaikan dengan
Otonomi daerah
-
Integrasi vertikal – dua arah,
atas bawah dan bawah atas
-
Integrasi horizontal – nampak,
muncul kebebasan (euforia)
-
Gaya politik – pragmatik
-
Kepemimpinan – sipil,
purnawiranan, politisi
-
Partisipasi massa – tinggi
-
Keterlibatan militer – dibatasi
-
Aparat negara – harus loyal kepada
negara bukan pemerintah
-
Stabilitas – instabil
C. Sejarah Sistem Politik di
Indonesia
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang
terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat
sejarah Bangsa Indonesia
tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik
biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang
berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka,
karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan
tekanan.[19]
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi
pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat
dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa
pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan
integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan
keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem.
Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan
tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini
berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti
Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19
melihat prestasi politik diukur dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern
sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level)
yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar
masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku
perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur
politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes
mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat
5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber
daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian
digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah,
pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan
pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan
negara.
2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara
diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan
seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh
masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus
kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan
tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi
individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah
membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan
keterlibatan masyarakat terkekang.
4. Kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan
secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin
diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas
simbolik sistem.
5. Kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara
input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi
oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi
ukuran kapabilitas responsif. kapabilitas dalam negeri dan internasional.
Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini,
bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa
perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara
kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan
pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
D.
Perbedaan sistem politik di berbagai Negara
1. Sistem Politik Di Negara Komunis
Bercirikan pemerintahan yang sentralistik,
peniadaan hak milk pribadi, peniadaan hak-haak sipil dan politik, tidak adanya
mekanisme pemilu yang terbuka, tidak adanya oposisi, serta terdapat pembatasan
terhadap arus informasi dan kebebasan berpendapat
2. Sistem Politik Di Negara Liberal
Bercirikan adanya kebebasan berpikir bagi
tiap individu atau kelompok; pembatasan kekuasaan; khususnya dari pemerintah
dan agama; penegakan hukum; pertukaran gagasan yang bebas; sistem pemerintahan
yang transparan yang didalamnya terdapat jaminan hak-hak kaum minoritas
3. Sistem Politik Demokrasi Di Indonesia
Sistem politik yang didasarkan pada nilai,
prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun
sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :
1. Ide kedaulatan rakyat
2. Negara berdasarkan atas hukum
3. Bentuk Republik
4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi
5. Pemerintahan yang bertanggung jawab
6. Sistem Pemilihan langsung
7.
Sistem pemerintahan presidensiil
BAB V
KESIMPULAN
Indonesia
adalah negara kesatuan berbentuk republik, dengan memakai system demokrasi, di
mana kedaulatan berada di tangan rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Indonesia
menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Para Bapak Bangsa yang meletakkan
dasar pembentukan Negara Indonesia,
setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat
menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang
tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Indonesia
pernah menjalani sistem pemerintahan federal di bawah Republik Indonesia
Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950), namun
kembali ke bentuk pemerintahan republik. Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 -
1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan
yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah
untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan.
Sistem
politik Indonesia diartikan
sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia
yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan,
upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan
skala prioritasnya.
Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang
Dasar (UUD) 1945, yang mengatur kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara
negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara lembaga-lembaga negara
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif). UUD 1945 juga mengatur hak dan
kewajiban warga negara. Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga Eksekutif terdiri atas
Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden
dan kabinet. Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang
gubernur, sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang
bupati/walikota. Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama
badan-badan kehakiman lain yang berada di bawahnya. Fungsi MA adalah melakukan
pengadilan, pengawasan, pengaturan, memberi nasehat, dan fungsi adminsitrasi.
Saat ini UUD 1945 telah mengalami beberapa kali amandemen, yang telah memasuki
tahap amandemen keempat. Amandemen konstitusi ini mengakibatkan perubahan mendasar
terhadap tugas dan hubungan lembaga-lembaga negara.
1 komentar:
MANTAP BUNG...... Sehingga dapat membantu dalam tugas kuliah.
Posting Komentar