1. Pengertian Kesehatan Mental
Kesehatan Mental merupakan alih
bahasa dari Mental Hygiene atau Mental Health berasal dari kata Hygiene
dan Mental. Secara etimologi Hygiene dari kata Hygea yaitu, nama Dewi
Kesehatan Yunani kuno yang mempunyai tugas mengurus masalah kesehatan
manusia di dunia. Kemudian muncul kata hygiene untuk menunjukkan suatu
kegiatan yang bertujuan mencapai hygiene. Sedangkan mental berasal dari
kata latin Mens dan Mentis yang berarti jiwa, nyawa, sukma, ruh, dan
semangat.[1]
Dalam literatur psikologi,
ditemukan beberapa pengertian kesehatan mental, hal itu dapat
dimengerti, sebab pemaknaan kesehatan mental dilatarbelakangi oleh
konsepsi-konsepsi empirik tertentu yang merupakan bagian dari teori
kesehatan mental. Konsep-konsep empirik di sini meliputi dasar-dasar
pemikiran mengenai wawasan, landasan, fungsi-fungsi, tujuan, ruang
lingkup dan metodologi yang dipakai perumus.[2]
Adanya perbedaan batasan atau
definisi serta rumusan tentang kesehatan mental itu sangat wajar dan
tidak perlu merisaukan, karena di sisi lain adanya perbedaan itu justru
memperkaya khasanah kesehatan mental. Sejalan dengan keterangan di atas,
maka di bawah ini dikemukakan beberapa rumusan kesehatan mental, antara
lain:
Pertama, Musthafa Fahmi,
sesungguhnya kesehatan jiwa mempunyai pengertian dan batasan yang
banyak. Di sini dikemukakan dua pengertian saja; sekedar untuk mendapat
batasan yang dapat digunakan dengan cara memungkinkan memanfaatkan
batasan tersebut dalam mengarahkan orang kepada pemahaman hidup mereka
dan dapat mengatasi kesukarannya, sehingga mereka dapat hidup bahagia
dan melaksanakan misi sebagai anggota masyarakat yang aktif dan serasi
dalam masyarakat sekarang. Pengertian pertama mengatakan kesehatan jiwa
adalah bebas dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan.
Pengertian ini banyak dipakai dalam lapangan kedokteran jiwa
(psikiatri). Pengertian kedua dari kesehatan jiwa adalah dengan cara
aktif, luas, lengkap tidak terbatas; ia berhubungan dengan kemampuan
orang untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan
masyarakat lingkungannya, hal itu membawanya kepada kehidupan yang
terhindar dari kegoncangan, penuh vitalitas. Dia dapat menerima dirinya
dan tidak terdapat padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian
sosial, dia juga tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar, akan tetapi
ia berkelakuan wajar yang menunjukkan kestabilan jiwa, emosi dan pikiran
dalam berbagai lapangan dan dibawah pengaruh semua keadaan.[3]
Kedua, Zakiah Daradjat, dalam
pidato pengukuhannya sebagai guru besar kesehatan mental di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta mengemukakan lima buah rumusan kesehatan mental
yang lazim dianut para ahli. Kelima rumusan itu disusun mulai dari
rumusan-rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum, sehingga dari
urutan itu tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan-akan mencakup
rumusan-rumusan sebelumnya.
a. Kesehatan mental adalah
terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari
gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini banyak dianut di
kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari sudut
sehat atau sakitnya.
b. Kesehatan mental adalah
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang
lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup. Definisi ini
tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang pertama,
karena dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan
menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketentraman dan
kebahagiaan hidup.
c. Kesehatan mental adalah
terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi
fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan
dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa
fungsi-fungsi jiwa seperti fikiran, perasaan, sikap, pandangan dan
keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan
keharmonisan hidup yang menjauhkan orang dari sifat ragu-ragu dan
bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.
d. Kesehatan mental adalah
pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan
memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin,
sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar
dari gangguan dan penyakit jiwa. Definisi keempat ini lebih menekankan
pada pengembangan dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa
sejak lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi
orang lain dan dirinya sendiri.
e. Kesehatan mental adalah
terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya
dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan
untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di
akhirat.
Definisi ini memasukkan unsur
agama yang sangat penting dan harus diupayakan penerapannya dalam
kehidupan, sejalan dengan penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan
pengembangan hubungan baik dengan sesama manusia.[4]
Sebagai dzat yang baik dan suci,
Tuhan tidak memberikan jiwa manusia kecuali jiwa yang memiliki
kecenderungan sehat, baik, dan suci. Kesehatan jiwa manusia tidak
sekedar alami dan fitri, melainkan telah diatur sedemikian rupa oleh
sang Khaliq. Dari kerangka ini, kriteria neurosis dan psychosis dalam
psikopatologi Islam bukan hanya disebabkan oleh gangguan syaraf atau
gangguan kejiwaan alamiah, melainkan juga penyelewengan terhadap
aturan-aturan Tuhan atau dengan kata lain lebih banyak terfokus pada
perilaku spiritual dan religius.[5]
2. Faktor-faktor penyebab gangguan mental (Mental Disorder)
Banyak gangguan psikis muncul,
karena anak sejak usia yang amat muda mendapatkan perlakuan yang tidak
patut dalam situasi keluarganya. Pada hakikatnya, bukan maksud orang tua
untuk dengan sengaja menyajikan lingkungan buruk itu. Namun kondisi
ekonomis, kultural atau sosial lain memaksa rumah tangga menjadi
berantakan, para anggota keluarga bercerai berai, dan menjadi a-susila,
misalnya. Pola kriminal dan tidak asusila dari salah seorang anggota
keluarga secara langsung atau tidak langsung mencetak pola yang sama
pada anak-anak. Juga teman-teman sebaya (anak-anak remaja) dengan
tingkah laku berandalan, dan perilaku tetangga-tetangga yang kurang
bertanggung jawab, semua itu memberikan banyak iritasi pada pribadi
anak, yang pasti akan mengganggu perkembangan jiwanya.
Yang jelas ialah
gangguan-gangguan psikis itu hampir-hampir tidak pernah disebabkan oleh
satu sebab saja; akan tetapi disebabkan oleh “satu kompleks faktor
penyebab”, yaitu oleh :
a. Faktor organis atau somatis; misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.
b. Faktor-faktor psikis dan
struktur kepribadiannya; misalnya reaksi neurosis dan reaksi-psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan,
kesedihan, kesakitan hati, depresi, dan rendah-diri bisa menyebabkan
orang sakit secara psikis; mengakibatkan ketidak-imbangan mental dan
desintegrasi kepribadiannya. Maka struktur kepribadian, dan pemasakan
pengalaman-pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat orang
terganggu jiwanya. Terutama sekali apabila beban psikis ternyata jauh
lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.
c. Faktor-faktor lingkungan atau
sosial, faktor-faktor milieu, pergaulan, masyarakat luas. Usaha
pembangunan, modernisasi, arus urbanisasi, mekanisasi, dan
industrialisasi menyebabkan masyarakat modern menjadi sangat kompleks.
Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan sosial yang
serba cepat dan arus modernisasi menjadi sangat sulit. Maka banyak
orang mengalami ketakutan, kecemasan, kebingungan, frustasi, konflik
batin dan konflik terbuka dengan orang lain, serta menderita macam-macam
gangguan psikis.
Kehidupan kota dengan pola
berpacu, serta berlomba-lomba memperagakan kekuasaan dan kekayaan
menyebabkan banyak rasa cemburu, iri hati, ketakutan, kecemasan dan
ketenangan batin pada penduduknya, yang menjadi persemaian subur bagi
timbulnya berbagai penyakit mental. Lebih-lebih dengan penonjolan
interest sendiri dan rasa individualisme, kontak sosial di kota-kota
menjadi longgar, menjadi semacam atom-atom yang berdiri sendiri. Dalam
masyarakat sedemikian ini banyak anggotanya merasa kurang/tidak aman,
menjadi kesepian, panik dan ketakutan, yang mengganggu keseimbangan
jiwanya.
Juga oleh pengaruh ilmu
pengetahuan, mekanisasi dan industrialisasi, kehidupan modern menjadi
semakin terurai dalam fraksi-fraksi dan spesialisasi-spesialisasi serta
pengkotakan-pengkotakan yang berdiri sendiri, sehingga masyarakatnya
sulit diintegrasikan. Disintegrasi masyarakat mengakibatkan proses
disintegrasi pada diri perorangan-perorangan penduduknya, dan ini
menjadi faktor penyebab dari timbulnya banyak gangguan psikis.
Masyarakat modern yang selalu
memburu keuntungan komersial dan sangat individualistis itu selalu penuh
persaingan, rivalitas dan kompetisi, sehingga banyak mengandung
unsur-unsur eksplosif. Sebagai akibatnya banyak penduduk yang menderita
ketegangan urat syarat dan tekanan batin-khususnya kalau tidak bisa
memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup dan keinginannya–, yang
sewaktu-waktu bisa meledak menjadi guncangan psikis. Maka kebudayaan
modern yang serba berpacu itu merefleksikan bentuk kebudayaan eksplosif,
yaitu satu “high tension culture” (kebudayaan bertegangan tinggi) yang
sangat melelahkan jiwa-raga penduduknya; menstimulir banyak gangguan
psikis.
Ditambah pula dengan pengaruh
media massa seperti koran, film, majalah, TV dan iklan yang semuanya
merangsang, maka kebudayaan modern ini menuntut adanya standar hidup
tinggi dan kemewahan materiil. Jika keinginan dan usaha mendapatkan
kemewahan, kedudukan sosial dan kekuasaan tidak tercapai, maka timbullah
rasa malu, takut, bingung, cemas dan rendah diri. Semua ini menjurus
pada frustasi, kekecewaan-kekecewaan, gangguan batin, serta macam-macam
penyakit mental. Yang miskin menjadi bingung dan cemas terus-menerus
dalam usahanya mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sedang yang kaya raya
juga selalu cemas dan khawatir terus menerus, kalau-kalau kehilangan
harta kekayaan dan jabatannya, hingga banyak mengalami keregangan batin
dan terganggu mentalnya. Maka perubahan masyarakat dengan segenap bahaya
dan resikonya itu banyak menyentuh dan merusak kesehatan psikis
penduduknya, dan menghambat perkembangan kepribadian.
Jelaslah kini, bahwa ketiga
faktor, yaitu somatis, psikis, dan sosial itu bekerja sama. Contohnya,
depresi pada usia lanjut tidak hanya disebabkan oleh kemunduran
proses-proses cerebral saja, akan tetapi juga disebabkan atau
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, yaitu tidak menyandang tugas
pekerjaan yang berarti (sudah pensiun), tinggal di rumah dengan hati
pedih merana karena tidak ada pekerjaan bernilai yang bisa dikerjakan.
Kemudian disertai struktur kepribadian dengan pengolahan pengalaman usia
tua yang keliru, yaitu menolak kondisinya sekarang, tidak bisa menerima
dengan rasa syukur dan pasrah ketuaannya; ditambah sakit hatinya karena
tidak “dilihat orang lagi”, dan lain-lain. Semua kejadian in menambah
rasa depresi tadi.
Pada penyakit-penyakit
disebabkan oleh kecanduan obat bius (yang merusak syaraf-syaraf otak dan
fungsi jasmaniah lainnya), baik struktur kepribadian yang lemah maupun
faktor-faktor sosial ikut mengambil peranan penting dalam merusak fisik
dan psike manusia. Kekacauan politik yang mengakibatkan banyak
penderitaan di kalangan masyarakat kecil, korupsi dengan gelimang harta
kekayaan dan kemewahan yang melimpah-limpah di lapisan atas yang
menyebarkan ketidakadilan di kalangan luas, industrialisasi dan
modernisasi yang mengakibatkan disintegrasi sosial dan kesengsaraan pada
rakyat kecil yang tersisihkan, dalam banyak lagi situasi sosial yang
tidak sehat di lingkungan keluarga dan masyarakat luas, semua itu
membawa banyak anak muda pada rasa putus-asa, sehingga mereka itu ada
yang menggunakan obat-obat bius dan penenang yang dijual secara tidak
legal. Lalu mereka berhubungan dengan tokoh-tokoh asusila dan kriminal,
yang membawa anak-anak muda ini ke lembah kerusakan semakin dalam.
Dengan demikian, usaha
pembangunan, mekanisasi, industrialisasi dan modernisasi itu disamping
memberikan kesejahteraan dan fasilitas materiil yang lebih baik kepada
manusia, juga memberikan dampak sampingan yang merusak, yaitu merusak
kesehatan psikis manusia, apabila dampak-sampingan yang negatif itu
tidak bisa dikendalikan dan menjadi dominan liar.[6]
Di samping faktor-faktor di
atas, menurut Havighurst, seperti yang dikutip oleh Siti Rahayu Aditono,
mengemukakan bahwa perjalanan hidup seseorang di tandai oleh adanya
tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi. Tugas ini dalam batas tertentu
bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang. Havighurst menyebutnya
sebagai “tugas perkembangan” (developmental task) yaitu tugas yang harus
dilakukan seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma
masyarakat dan norma kebudayaan.[7] Tugas-tugas perkembangan adalah
ketrampilan, tingkat prestasi, dan kemampuan menyesuaikan diri yang
dianggap penting pada usia tertentu bagi penyesuaian diri dengan sukses
dari seseorang, yang dipengaruhi oleh kematangan psikis, tekanan
kultural dari masyarakat, dan hasrat-hasrat pribadi.[8] Dari rumusan di
atas pada ahli psikologi perkembangan berpendapat bahwa ketika seseorang
tidak dapat melaksanakan apa yang disebut dengan “tugas-perkembangan”
bisa dipastikan akan terjadi “mental disorder” (gangguan jiwa).
Rumusan dalam wacana psikologi
kontemporer yang digambarkan di atas bersifat rendah (dunya) dan hanya
temporer. Kehidupan manusia sebatas pada kehidupan dunia di mulai
pra-natal sampai pada kematian. Manusia seakan-akan hidup dan mati
begitu saja tanpa ada rencana dan tujuan hidup yang hakiki.[9] Sedangkan
pembahasan rumusan pada bab ini adalah gangguan-gangguan mental yang
bersifat ukhrawi (rohani), berupa penyakit akibat penyimpangan terhadap
norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual dan agama.[10]
3. Kriteria-kriteria mental sehat
Atkinson menentukan kesehatan
mental dengan kondisi normalitas kejiwaan, yaitu kondisi kesejahteraan
emosional kejiwaan seseorang. Pengertian ini diasumsikan bahwa pada
prinsipnya manusia itu dilahirkan dalam kondisi sehat, lebih lanjut,
Atkinson menyebutkan enam indikator normalitas kejiwaan seseorang;
Pertama, persepsi realita yang efisien. Individu cukup realistik dalam
menilai kemampuannya dan dalam menginterpretasi terhadap dunia
sekitarnya. Ia tidak terus menerus berpikir negatif terhadap orang lain,
serta tidak berkelebihan dalam memuja diri sendiri. Kedua, mengenali
diri sendiri. Individu yang dapat menyesuaikan diri adalah individu yang
memiliki kesadaran akan motif dan perasaannya sendiri, meskipun tak
seorang pun yang benar-benar menyadari perilaku dan perasaannya sendiri.
Ketiga, kemampuan untuk mengendalikan perilaku secara sadar. Individu
yang normal memiliki kepercayaan yang kuat akan kemampuannya, sehingga
ia mampu mengendalikannya. Kondisi seperti itu tidak berarti menunjukkan
bahwa individu tersebut bebas dari segala tindakan impulsif dan
primitif, melainkan jika ia melakukannya maka ia menyadari dan berusaha
menekan dorongan seksual dan agresifnya.
Keempat, harga diri dan
penerimaan. Penyesuaian diri seorang sangat ditentukan oleh penilaian
terhadap harga diri sendiri dan merasa diterima oleh orang di
sekitarnya. Ia merasa nyaman bersama orang lain dan mampu beradaptasi
atau mereaksi secara spontan dalam segala situasi sosial. Kelima,
kemampuan untuk membentuk ikatan kasih. Individu yang normal dapat
membentuk kasih yang erat serta mampu memuaskan orang lain. Ia peka
terhadap perasaan orang lain dan tidak menuntut yang berlebihan kepada
orang lain. Sebaliknya, individu yang abnormal terlalu mengurusi
perlindungan diri sendiri, sehingga aktivitasnya berpusat pada diri
sendiri (self-centered). Keenam, produktivitas. Individu yang baik
adalah individu yang menyadari kemampuannya dan dapat diarahkan pada
aktivitas produktif.[11]
Meskipun asumsi ini dikenal
sebagai asumsi yang optimistik dan mengakui kekuatan jiwa manusia, namun
sifatnya antroposentris yang hanya menggantungkan kekuatan manusia,
tanpa mengaitkan teorinya pada kehendak mutlak Tuhan. Dalam Islam
meskipun menggunakan kerangka asumsi psikohumanistik (Abraham Maslow dan
Carl Rogers) dalam Membangun Teori-Teori Kesehatan Mental, namun ia
tidak melepaskan diri dari paradigma teosentrisnya.[12] Sebagai dzat
yang baik dan suci, Tuhan tidak memberikan jiwa manusia kecuali jiwa
yang memiliki kecenderungan sehat, baik, dan suci. Kesehatan jiwa
manusia tidak sekedar alami dan fitri, melainkan telah diatur sedemikian
rupa oleh sang khaliq. Dari kerangka ini, kriteria neurosis dan
psychosis dalam psikopatologi Islam bukan hanya disebabkan oleh gangguan
syaraf atau gangguan kejiwaan alamiah, melainkan juga penyelewengan
terhadap aturan-aturan Tuhan atau dengan kata lain lebih banyak terfokus
pada perilaku spiritual dan religius.[13]
Hanna Djumhana Bastaman, yang
dikutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menyebut empat pola yang ada
dalam kesehatan mental, yaitu pola simtomatis, pola penyesuaian diri,
pola pengembangan potensi, pola agama.
Pertama, pola simtomatis adalah
pola yang berkaitan dengan gejala (symptoms) dan keluhan (complaints),
gangguan atau penyakit nafsaniah. Kesehatan mental berarti terhindarnya
seseorang dari segala gejala, keluhan dan gangguan mental, baik berupa
neurosis maupun psikosis. Kedua, pola penyesuaian diri adalah pola yang
berkaitan dengan keaktifan seseorang dalam memenuhi tuntutan lingkungan
tanpa kehilangan harga diri. Atau memenuhi kebutuhan pribadi tanpa
mengganggu hak-hak orang lain. Kesehatan mental berarti kemampuan
seseorang untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan
sosialnya.
Ketiga, pola pengembangan diri
adalah pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani (human qualities)
seperti kreatifitas, produktifitas, kecerdasan, tanggung jawab, dan
sebagainya. Kesehatan mental berarti kemampuan individu untuk
memfungsikan potensi-potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga ia
memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Keempat,
pola agama adalah pola yang berkaitan dengan ajaran agama. Kesehatan
mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama secara
benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan.
Kesehatan mental yang
dimaksudkan di sini lebih terfokus pada kesehatan yang berwawasan agama.
Pemilihan ini selain karena konsisten dengan pola-pola yang
dikembangkan dalam psikopatologi dan psikoterapi, juga sesuai dengan
khazanah Islam yang berkembang. Ibn Rusyd misalnya dalam Fashl al-Maqaal
menyatakan, “takwa itu merupakan kesehatan mental (shihhah al-nufus)”.
Statement itu menunjukkan bahwa dialektika kesehatan mental telah lama
dibangun oleh para psikolog muslim, yang mau tidak mau harus dijadikan
sebagai keutuhan wacana Psikologi Islam saat ini.[14]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar