Kuliah I :
Pengantar Psikologi Abnormal
Abnormalitas atau yang disebut juga perilaku abnormal adalah suatu
bentuk perilaku yang maladaptif. Ada juga yang menyebutnya mental
disorder, psikopatologi, emotional discomfort, mental illness (penyakit mental), ataupun insanity.
Perilaku abnormal merupakan suatu istilah yang terutama banyak
berkembang di Amerika Serikat, yang timbul karena masyarakat
negara
tersebut lebih berdasarkan ilmu pengetahuan, sikap hidup, dan umumnya
pemikiran pada mahzab perilaku (behaviorisme). Sedangkan,
istilah psikopatologi merupakan istilah yang paling populer dimasa lalu,
ketika pusat ilmu pengetahuan berada si daratan Eropa, yang disebut
juga bermahzab mental. Orang Eropa daratan (continental) lebih melihat
aspek dalam (inner) dari perilaku itu, sehingga perilaku yang menyimpang
biasanya dipandang sebagai akibat dari gangguan atau penyakit jiwa
tertentu. Orang-orang Amerika lalu, lebih melihat aspek perilaku yang
berada diluar individu (over behavior) yang mereka anggap lebih penting
dari pada aspek dalam kepribadian (inner personality).- A. Perilaku Abnormal (Abnormal Behavior)
Perilaku abnormal merupakan tampilan dari
kepribadian seseorang, dan tampilan luar atau tampilan atas
kedua-duanya. Perilaku abnormal juga merupakan perilaku spesifik,
phobia, atau pola-pola peilaku yang lebih mendalam, misalnya skizofren.
Perilaku abnormal juga merupakan sebutan untuk masalah-masalah yang
berkepanjangan atau bersifat kronis dan gangguan-gangguan yang
gejala-gejalanya bersifat akut dan temporer, seperti intoksinasi
(peracunan obat-obatan), terutama narkoba.
- Psikopatologi (Psychopathology)
Psikopatologi adalah perilaku abnormal,
atau mental yang terganggu dimana ditandai dengan adanya kesalahan dalam
penyesuaian diri, yang disebut juga perilaku maladaptif, atau
penyesuaian diri yang salah. Psikopatologi tidak hanya sekedar
menyangkut gangguan-gangguan seperti psikosis atau neurosis, tetapi juga
pola-pola individual dan kelompok, seperti perilaku bisnis yang tidak
etis atau prasangka rasial yang juga ditadai dengan adanya keterasingan
dan sikap apatis.
- Gangguan Mental (Mental Disorder)
Istilah ini hampir sama dengan pola perilaku abnormal yang meliputi
seluruh cakupan dari gangguan, mulai dari yang sifatnya sangat ringan
sampai dengan yang sangat berat. Gangguan mental yang acapkali
digolongkan kedalam pengertian ini adalah gangguan yang berat pada
fungsi-fungsi mental. Bahkan digunakan pula untuk perilaku-perilaku yang
secara komprehensif tidak efektif.
- D. Gangguan Emosional (Emotional Disturbance)
Istilah ini mengacu pada adanya integrasi kepribadian yang tidak adekuat dan adanya tekanan pribadi (personal distress),
yang menimbulkan stress yang sifatnya negatif. Biasanya
gangguan-gangguan emosional dipakai untuk perilaku maladaptif pada
anak-anak. Dalam psikiatris ada dua istilah yang kadang-kadang diartikan
sama yaitu :
Disorder, yaitu ordernya atau keteraturan yang terganggu.
Distrubance, yaitu gangguan yang tidak mengandung
perubahan-perubahan secara struktural, melainkan gangguan dari luar yang
sifat datangnya sementara.
- Sakit Mental (Mental Illness)
Istilah ini terkadang digunakan orang karena sama artinya dengan
gangguan mental. Akan tetapi, saat ini penggunaannya biasa dibatasi
untuk ganggguan-gangguan yang melibatkan patologi otak atau
disorganisasi kepribadian berat. Sakit mental, meskipun tampaknya
digunakan untuk gangguan-gangguan yang menampilkan ketidakmampuan yang
parah, biasanya bersesuaian dengan gangguan yang umumnya merupakan
akibat dari false learning.
- Gangguan Perilaku (Behavior Disorder)
Istilah ini digunakan dalam perilaku abnormal yaitu gangguan perilaku atau behaviour disorder. Penggunaan istilah ini secara khusus mengacu pada gangguan-gangguan yang berasal dari false learning,
baik dari kesalahan dalam mempelajari kompetensi ataupun belajar pola
penanggulangan maladaptif. Bisa jadi digunakan secara lebih luas sebagai
perilaku sinonim dari perilaku abnormal.
- Sakit Mental (Mental Disease)
Awalnya istilah sakit mental ini digunakan untuk gangguan-gangguan yang diasosiasikan dengan patologis pada otak, seperti brain damage disorder.
Namun, saat ini tidak banyak digunakan. Penggunaannya merupakan analogi
dari istilah kedokteran yaitu sakit, atau lebih tepat sakit fisik.
- Gila (Insanity)
Insanity merupakan istilah yang biasa
digunakan dikalangan hukum. Insanity mengindikasikan seseorang yang
memiliki ketidakmampuan untuk mengelola masalah-masalahnya, atau untuk
melihat serta menduga konsekuensi atas perilakunya. Denotasinya yaitu
gangguan yang serius.
Kuliah II :
SEJARAH DAN PENDEKATAN PSIKOPATOLOGI
Selama rentang sejarah budaya barat, konsep perilaku abnormal telah dibentuk dalam beberapa hal oleh pandangan dunia (worldview)
yang berlaku pada saat itu. Juga sepanjang sejarah, keyakinan akan
kekuatan supranatural, setan, dan roh jahat telah sangat mendominasi.
Perilaku abnormal seringkali dianggap sebagai tanda kerasukan (possession).
Pada masa kini yang lebih modern, pandangan dunia secara umumnya meski
tak berarti universal, telah berganti pada keyakinan terhadap ilmu dan
nalar (reason). Dalam budaya psikologi, perilaku abnormal telah
dipandang sebagai produk dari faktor fisik dan psikososial, bukan
akibat dari kerasukan setan.
- A. Model Demonologi
Pada zaman prasejarah, para ahli arkeologi telah menemukan kerangka
manusia dari zaman batu dengan lubang sebesar telur pada tengkoraknya.
Satu asumsi yang muncul terhadap lubang tersebut adalah bahwa nenek
moyang kita di zaman prasejarah percaya bahwa perilaku abnormal
merefleksikan serangan dari roh-roh jahat terhadap mereka. Mungkin
mereka menggunakan cara kasar yang disebut trephination yaitu dengan
menciptakan sebuah jalur melalui tengkorak sebagai jalan keluar bagi roh
marah tersebut. Pertumbuhan tulang yang baru mendeskripsikan bahwa
sejumlah orang mampu bertahan hidup dari siksaan tersebut.
Mengaitkan perilaku abnormal dan penyebab supranatural ataupun hal-hal gaib disebut sebagai model demonologi.
Orang zaman purba mengaitkan bencana alam dengan kehendak Tuhan dan
arwah. Bangsa Babylonia purba juga percaya bahwa pergerakan bintang dan
planet ditentukan oleh perjalanan dan konflik dari para dewa. Disisi
lainnya, bangsa Yunani kuno percaya bahwa dewa-dewa mereka memperlakukan
manusia sebagai mainan. Saat para dewa itu marah, mereka dapat
menciptakan bencana alam untuk mendatangkan malapetaka pada orang-orang
yang kurang ajar atau angkuh, bahkan menyelimuti pikiran mereka dengan
ketidakwarasan. Pada zaman Yunani kuno, orang yang berperilaku secara
abnormal sering dikirim kekuil untuk dipersembahkan pada Aesculapius,
yaitu dewa penyembuhan. Para pendeta percaya bahwa Aesculapius akan
mengunjungi orang-orang yang menderita ketika mereka tertidur didalam
kuil dan memberikan saran penyembuhan melalui mimpi. Istirahat, diet
nutrisi, dan olahraga juga dipercaya dapat membantu penanganan.
Ketidaksembuhan juga ditentukan oleh kuil dengan membuat orang tersebut
tidak sensitif.
- Asal Mula Model Medis : Dalam “Cairan Tubuh yang Memicu Penyakit”
Hipocrates (460-377 SM) adalah seorang dokter terkenal pada zaman
keemasan Yunani yang menantang keyakinan konservatif pada masanya dengan
menyatakan bahwa penyakit pada tubuh dan jiwa merupakan hasil dari
penyebab yang naturalis, bukan karena penguasaan oleh kekuatan
supranatural. Beliau yakin bahwa kesehatan tubuh dan jiwa tergantung
pada keseimbangan cairan tubuh (humors), atau cairan vital, di dalam
tubuh : lendir, cairan empedu hitam, darah dan cairan empedu kuning.
Orang yang tidak bertenaga atau lambat, diasumsikannya memiliki
kelebihan lendir (phlegm), yang kemudian menjadi asal kata plegmatis (phlegmatic).
Berlebihnya cairan empedu hitam diyakini menyebabkan depresi, atau
melankolia (melancholia). Serta terlalu banyak darah dapat menimbulkan
disposisi sanguinis (sanguine) : ceria, percaya diri, dan optimis. Kelebihan cairan empedu kuning membuat orang-orang menjadi murung, dan koleris (choleric),
yaitu mudah marah. Meskipun kita tidak lagi menganut teori Hippocrates
tentang cairan ketubuhan, teorinya memiliki riwayat historis yang
penting karena penyimpangannya dari konsep demonologi kuno. Teori ini
juga mengawali perkembangan model medis yang modern, yaitu pandangan
bahwa perilaku abnormal merupakan hasil dari proses biologis yang
melatar belakanginya. Hipocrates telah mulai mengklasifikasikan
pola-pola perilaku abnormal, dengan menggunakan tiga kelas utama yang
memiliki sejumlah kesamaan, dimana melankolia untuk menandai depresi yang berlebihan, manaik untuk mengacu pada kegembiraan yang berlebihan, dan ferenitis utuk menandai bentuk perilaku aneh yang mungkin pada saat ini mencirikan skizofrenia.
- Zaman Pertengahan
Keyakinan terhadap penyebab supranatural, terutama doktrin tentang
penguasaan oleh roh jahat, meningkat pengaruhnya ,dan akhirnya
mendominasi pemikiran pada zaman pertengahan. Doktrin tentang penguasaan
oleh roh jahat meyakini bahwa perilaku abnormal merupakan suatu tanda
kerasukan oleh roh jahat atau iblis. Keyakinan ini dibubuhkan kedalam
ajaran gereja katolik Roma, yang menjadi kekuatan pemersatu di Eropa
Barat, setelah runtuhnya kekaisaran Roma tentunya. Sebagai pilihan dalam
menanganani perilaku abnormal adalah dengan pengusiran roh jahat (exorcism).
Para pengusir roh jahat dipekerjakan untuk meyakinkan roh jahat bahwa
tubuh korban yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni.
Metode-metodenya meliputi berdoa, mengayun-ayunkan tanda salib kehadapan
korban, memukul dan mencambuk, bahkan membuat korban menjadi lapar.
Apabila korban masih menunjukkan perilaku yang tidak sepatutnya,
terdapat pengobatan yang bahkan lebih kuat, seperti penyiksaan, dengan
peralatan untuk menyiksa. Tampak jelas bahwa penerima “pengobatan”
tersebut akan termotivasi untuk menyesuaikan perilaku mereka sebaik
mungkin sesuai dengan harapan sosial.
- Ilmu Sihir
Pada akhir abad ke-15 sampai akhir abad ke-17, yang merupakan masa
dimana terjadi penganiayaan-penganiayaan terhadap orang-orang yang
dituduh memiliki ilmu sihir. Lalu muncul tes-tes diagnostik yang
kreatif untuk mendeteksi penguasaan oleh roh jahat dan ilmu sihir. Dalam
kasus tes terapung di air, orang yang tidak bersalah ditenggelamkan
sebagaai cara untuk meyakinkan bahwa mereka tidak dirasuki oleh iblis.
Tes terapung di air didasarkan pada prinsip bahwa logam murni tetap
berada didasar selama peleburan, sedangkan yang tiruan muncul
kepermukaan. Tertuduh yang dapat mempertahankan kepala mereka di atas
permukaan air dianggap bersekutu dengan iblis. Oleh karenanya mereka
benar-benar berada dalam kesulitan. Percobaan ini merupakan sumber
frase yang berbunyi “terkutuklah jika engkau melakukan dan terkutuklah
jika tidak” (damn if you do and damn if you don’t). Akademisi
modern pernah meyakini bahwa orang-orang yang disebut sebagai penyihir
pada abad pertengahan dan zaman renaisensse sebenarnya merupakan
orang-orang yang mengalami gangguan secara mental. Mereka diyakini
dianiaya karena perilaku abnormal mereka dianggap sebagai bukti bahwa
mereka bersekutu dengan iblis. Adalah benar bahwa banyak dari penyihir
yang diduga mengaku telah melakukan perilaku yang tidak mungkin, seperti
terbang atau melakukan hubungan seksual dengan iblis. Dilain sisi,
pengakuan semacam itu mungkin mengacu pada gangguan dalam pikiran dan
persepsi yang konsisten dengan diagnosis modern tentang gangguan
psikologis, seperti skizofrenia.
Meskipun setan diyakini memainkan peranan baik dalam perilaku
abnormal, maupun ilmu sihir, tapi terdapat perbedaan antara keduanya.
Korban dari kerasukan oleh roh jahat kemungkinan dipersepsikan dirundung
hal itu sebagai balasan atas pelanggaran yang telah dilakukan, tapi
beberapa orang yang menunjukkan perilaku abnormal dianggap merupakan
korban yang tidak berdosa dari penguasaan setan tersebut. Namun,
penyihir diyakini secara sukarela memasuki persekutuan dengan iblis dan
meninggalkan Tuhan. Penyihir biasanya dipandang lebih pantas untuk
mengalami penyiksaan, dan eksekusi hukuman mati.
- Rumah Sakit Jiwa
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, rumah sakit jiwa , atau
penampungan untuk orang gila, mulai menjamur di seluruh Eropa. Banyak
yang sebelumnya merupakan leprosariun (tempat perawatan untuk penderita
lepra), yang tidak lagi dibutuhkan karena berkurangnya penyakit lepra
pada akhir abad pertengahan. Rumah sakit jiwa acapkali memberikan
perlindungan bagi para pengemis sebagaimana orang yang mengalami
gangguan, dan kondisi di tempat itu biasanya mengerikan. Para
penghuninya acapkali dirantai di tepi tempat tidur mereka dan dibiarkan
terbaring di tengah kotoran mereka atau berkeluyuran tanpa ada yang
membantunya.
- Gerakan Reformasi dan Terapi Mental
Sejak tahun 1784 hingga 1802, Pusin, seorang awam, ditempatkan sebagai penguasa suatu bangsal untuk orang-orang yang dianggap gila tidak tersembuhkan
pada La Bicêtre, sebuah rumah sakit mental besar di kota Paris.
Orang-orang yang tidak beruntung tersebut telah dianggap terlalu
berbahaya dan tidak dapat diramalkan perilakunya jika dibiarkan tidak
dirantai. Namun, Pusin meyakini apabila mereka dirawat dengan kebaikan
hati, maka mereka tidak perlu dirantai. Sebagaimana yang
diperkirakannya, kebanyakan dari mereka yang dikurung menjadi lebih
mudah ditangani dan tenang saat rantai mereka dilepaskan. Mereka dapat
berjalan di halaman rumah saki dan menghirup udara segar. Pinel
(1746-1826) melanjutkan penanganan manusiawi yang telah dimulai oleh
Pussin. Ia menghentikan prektek-prektek yang kasar, seperti melukai dan
mensucikan penderita, dan memindahkan pasien dari kamar bawah tanah yang
gelap kekamar yang memiliki ventilasi yang baik dan terkena sinar
matahari. Pinel juga menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara
dengan para penghuni, dengan keyakinan bahwa dengan memberikan
pengertian dan kepedulian akan membantu penyembuhan mereka untuk kembali
berfungsi secara normal. Filosofis penanganan yang muncul dari upaya
ini disebut terapi moral. Terapi ini didasarkan pada keyakinan bahwa
memberikan penanganan yang manusiawi dalam lingkungan yang santai dan
layak dapat mengembalikan fungsi individu menjadi normal kembali.
- Suatu Langkah Mundur
Pada paruh terakhir abad ke-19, keyakinan bahwa perilaku abnormal
dapat berhasil ditangani atau disembuhkan dengan terapi moral menjadi
kurang disukai (USDHHS, 1999a). Rumah sakit mental menjadi tempat yang
menakutkan. Kondisi rumah sakit yang menyedihkan tetap menjadi hal yang
umum hingga pertengahan abad ke-20. Walaupun sejumlah rumah sakit negara
yang bagus menyediakan perawatan yang layak dan manusiawi, banyak yang
digambarkan tidak lebih sebagai sarang macan bagi manusia. Para penghuni
sering dijejalkan di dalam bangsal yang bahkan tidak memiliki sanitasi
yang baik. Banyak pasien menerima sedikit perawatan profesional dan
diperlakukan tidak manusiawi oleh staf-staf yang kurang terlatih dan
kurang mendapatkan pengawasan.
Kuliah III :
STRESS, FAKTOR PSIKOLOGIS, DAN KESEHATAN
Istilah stress menunjukkan adanya tekanan atau kekuatan pada tubuh
yang dialami individu agar ia mampu beradaptasi atau menyesuaikan
dirinya. Dalam batas tertentu stress sehat untuk diri kita, dan stress
memantu kita untuk membantu kita agar tetap waspada dan aktif. Ada 2
jenis stress yaitu eustress (stress positif yang berguna bagi individu) dan distress (stress negatif yang cenderung mengacu pada tekanan fisik atau psikis). Stress bersumber dari stressor
yang beragam macamnya, bisa fisik maupun psikis. Adakalanya stress yang
berlebihan dapat merusak kemampuan coping masalah seseorang. Stress
dapat berakibat pada gangguan penyesuaian diri individu.
Gangguan penyesuaian bercirikan reaksi
maladaptif individu terhadap suatu stressor tertentu yang nampak dari
penurunan yang signifikan dalam fungsi sosial, pekerjaan, ataupun
akademis individu. Dalam hal ini individu mengalami stress diatas batas
ambang normal. Bila ini berlangsung dalam minimal 6 bulan setelah
stressor terjadi, maka individu diagnosa mengalami gangguan tersebut.
Stressor gangguan ini bisa berupa putus cinta, sehingga individu
mengalami hendaya fungsi psikisnya yang terwujudkan dalam penurunan
kinerja fungsinya. Berikut ini adalah subtipe gangguan penyesuaian,
yaitu :
Jenis Gangguan Penyesuaian Diri
|
Ciri Utamanya
|
Gangguan Penyesuaian Dengan Gangguan Mood | Sedih, menangis, merasa tak punya harapan. |
Gangguan Penyesuaian Dengan Kecemasan | Khawatir, gelisah, gugup, pada anak mungkin tak mampu |
lepas dari figur kelekatannya, umumnya ibunya. | |
Gangguan Penyesuaian Dengan Gejala Campuran Antara Kece | Merupakan kombinasi antara depresi dan kecemasan. |
masan dan Mood Depresi | |
Gangguan Penyesuaian Dengan Gangguan Perilaku | Melanggar norma sosial, dan hak orang lain, misalnya berke |
lahi, melalaikan kewajibannya. | |
Gangguan Penyesuaian Dengan Gejala Campuran Antara | Komplikasi gangguan emosi, misalnya depresi atau kecema |
Gangguan Emosi dan Tingkah Laku | san, dan gangguan perilakunya. |
Gangguan Penyesuaian Yang Tidak Terklasifikasikan | Kategori Residual yang meliputi ciri-ciri yang tidak termasuk |
dalam jenis gangguan penyesuaian lainnya. |
DSM-IV-TR (APA, 2000).
Stress dapat meningkatkan resiko terkena penyakit fisik, dari mulai
gangguan pencernaan hingga penyakit jantung (Cohen, dkk, 1993). Stress
mempunyai efek berarti bagi sistem endokrin manusia, yang juga langsung
berhubungan dengan sistem sirkulasi darah. Beberapa kelenjar hormon
menunjukkan reaksi terhadap stress. Hipotalamus melepaskan hormon
tertentu yang menstimulasi kelenjar pituitari untuk menghasilkan adrenocorticotrophic hormone
(ACTH) yang kemudian menstimulasi kelenjar adrenalin di ginjal. Dalam
pengaruh ACTH, kelenjar adrenalin melepas hormon steroid, dua
diantaranya adalah kortisol dan krotison. Kedua hormon ini berperan
dalam mereduksi stress, dan membantu perkembangan otot, yang menyebabkan
hati melepaskan gula, sebagai energi dalam mereduksi stress. Saat
stress, individu juga melepaskan eprinefrina dan noneprinefrina yang
berperan dalam neurotransmitters, dan membantu meningkatkan kerja
jantung dan menstimulasi hati melepaskan gula. Stress yang kronis dapat
memacu aktivitas hormonal dalam tubuh sehingga tubuh manusia tersebut
berada di bawah ambang homeostatis, dan gangguan fungsi hormonal tubuh,
sehingga dapat berakibat pada terganggunya fungsi tubuh yang lainnya,
misalnya sistem imun tubuh.
Stress dapat berupa stress fisik misalnya suara yang bising, maupun
stress psikologis misalnya stress karena perceraian. Stress yang
berlebihan membuat kita menjadi rentan terhadap penyakit karena lemahnya
sistem kekebalan tubuh (Adler, 1999). Nampak dari hasil penelitian
tertentu bahwa dukungan sosial mengurangi efek negatif dari stress ini.
Misalnya saja motivasi dari orang tua terhadap mahasiswa dapat membantu
mereduksi stress pada mahasiswa. Bukti lainnya menunjukkan bahwa menulis
mengenai keadaan yang penuh tekanan dapat mereduksi efek negetif dari
stress dan meningkatkan optimalisasi respon imun terhadap stress
(Carpenter, 2001b; Esterling, dkk, 1999; Smyth, & Pennebaker, 2001).
Misalnya dengan menulis cerpen, dan puisi. Sedangkan, menutupi situasi
yang penuh tekanan dapat menambah beban tekanan pada sistem saraf
otonomik, yang dapat melemahkan sistem imun tubuh, dan kerentanan
terhadap stress (Pettie, Booth, & Pennbaker, 1998).
Dalam menjelaskan pola respons individu secara biologis terhadap stress, Hans Selye (1976) mengemukakan General Adaptation Syndrome (GAS). Sindrom ini mengisyaratkan bahwa seseorang melalui siklus stress dengan melampaui 3 tahapannya, yaitu :
Alarm Reaction, dalam tahapan ini individu
mengalami suatu reaksi yang terus mengawasi stressor, dan diri akan
memberikan daya untuk mereduksinya.
Resistance Stage, dalam tahapan ini
individu telah mengalami kepersistensian dari suatu jenis stressor.
Tahap ini dikenal juga dengan tahap adaptasi, dimana terjadi upaya diri
untuk menghimpun tenaga dan memperbaiki kerusakan dan keadaan pasca
stress. Apabila stress berlanjut jua, maka individu akan mencapai pada
tahapan selanjutnya.
Exhaustion Stage, dimana persistensian dari
stressor membuat suatu kelelahan (exhaustion) diri dalam menanggapinya.
Apabila sumber stress menetap maka individu bisa mengalami diseases of adaptation, yang berkisar mulai dari alergi hingga kematian.
Beberapa faktor pencetus stress adalah sebagai berikut :
Perubahan pola hidup menjadi sumber stress
bila perubahan hidup tersebut menuntut kita untuk beradaptasi secara
berlebihan di luar ambang kemampuan diri kita.
Akulturasi budaya, sebuah penelitian yang
dilakukan terhadap individu Meksiko-Amerika oleh Zamanian, dan
rekan-rekannya (1992) mengidentifikasikan bahwa mereka yang menunjukkan
akulturasi yang rendah menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang terakulturasi dan bikultural. Status
akulturasi yang rendah menunjukkan rendahnya status sosial ekonomi,
kesulitan inilah yang diasumsikan menjadi pemicu tambahan bagi stress,
dengan disertai ketidakmampuan berakulturasi terhadap kultur setempat,
memungkinkan meningkatkan resiko depresi, dan masalah psikologis
lainnya. Menutup diri dari kultur tertentu dapat menghambat individu
dalam berkegiatan sebagai mana mestinya, sehingga dirinya mengalami maladjustment.
Metode coping stress diri yang buruk. Ada dua cara coping stress, yang akan dijelaskan berikut ini beserta resikonya terhadap kemunculan stress individu.
ü Coping stress berfokus pada emosi, misalnya
dengan penyangkalan, berkhayal, dan penghindaran diri dari masalah.
Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa jenis coping serupa ini dapat
memicu buruknya kondisi medis mereka, dan mereka cenderung bisa
mengalami distress emosional, dan berakibat pada hendaya fungsi imun
tubuh.
ü Coping stress yang berfokus pada masalah. Jenis
coping stress ini cenderung menilai stressor yang dihadapi dan melakukan
sesuatu untuk mengubah reaksi guna meringankan efek dari stressor
tersebut. Hal ini juga melibatkan strategi untuk menghadapi secara
langsung sumber stress.
Harapan akan Self Efficacy meliputi harapan
terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan hidup, harapan akan
kemampuan diri untuk melakukan perilaku terampil, dan harapan terhadap
kemampuan diri untuk dapat mengatasi stressor secara efektif.semakin
tinggin harapan akan self-efficacy, maka semakin kecil kecenderungan
individu dalam hal mengalami stress.
Daya tahan psikologis individu yang buruk.
Bagaimana seseorang mengatasi stress dan mengelolanya merupakan bagian
dari ketahanan psikologis. Asumsi sebuah studi mengisyaratkan bahwa
semakin tinggi komitmen hidup, kepercayaan bahwa perubahan hidup adalah
wajar adanya, dan pengendalian hidup yang kuat pada individu, maka
semakin tinggi ketahanan psikologis seseorang pada dasarnya (Kobasa,
Maddi, & Kahn, 1982, hal. 196-170).
Rasa pesimistis individu. Dalam hal ini ada
hubungan antara rasa optimistis dan kesehatan yang lebih baik.
Optimisme berkaitan dengan mood dan respon sistem imun tubuh yang lebih
baik (Segerstrom, dkk, 1998).
Dukungan sosial yang kurang baik. Dengan
adanya dukungan sosial yang cukup dari lingkungan, kita mendapatkan
alternatif dalam coping stress dalam menghadapi stressor atau sekadar
memberikan dukungan emosional yang dibituhkan selama masa-masa rumit
kehidupan.
Identitas etnik. Identitas etnik tertentu
pada suatu budaya, misalnya kaum Afrika-Amerika yang menerima
diskriminasi budaya dari budaya kulit putih di Amerika, cenderung
memiliki resiko kesehatan fisik dan psikis yang tinggi, begitu halnya
dengan stress.
Faktor Psikologis Stress, misalnya
kepribadian seseorang, emosi-emosi negatif seperti mara dan kecemasan,
dan lingkungan sosial. Sebuah penelitian mengemukakan bahwa tipe
kepribadian A merupakan faktor resiko psikologis juga terhadap stress.
Tipe kepribadian ini dicirikan dengan berkemauan sangat keras, ambisius,
tidak sabaran, dan kompetitif yang tinggi. Sedangkan lingkungan sosial
sendiri juga dapat meningkatkan resiok stress, atau sebaliknya.
Faktor-Faktor Gangguan Fisik. Faktor-faktor
ini bisa mencakup segala gangguan ringan misalnya sakit kepala. Sebuah
studi menunjukkan bahwa stress juga dapat menimbulkan gangguan fisik
seperti sakit kepala, cardiovascular diseases, kanker, dan penyakit
lainnya. Dan sebaliknya juga, gangguan fisik dapat mengakibatkan stress
misalnya AIDS, cacat organ tubuh tertentu, dan sebagainya. Kesemuanya
juga saling mempengaruhi, dan mungkin bergantung pada taraf penyesuaian
diri seseorang terhadap penyakit, dan lingkungannya.
Kuliah IV :
ANXIETY DISORDERS
Anxiety atau kecemasan merupakan suatu
keadaan aprehensi atau khawatir yang megeluhkan bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi. Kecemasan dikatakan abnormal jika tingkatannya tak lagi
sesuai dengan proporsi ancaman yang dicemaskannya, dan apabila datangnya
tanpa disertai alasan yang dapat dijadikan penyebab kecemasan itu
sendiri. Gangguan kecemasan bisa terjadi kapanpun, tanpa ada rentang
masa yang jelas, bisa perhari, perjam, perbulan, bahkan pertahun. Saat
stimulus yang dicemaskan muncul, maka kecemasan berlebihan akan
terpaparkan, misalnya pada gangguan phobia. Kecemasan terdiri
dari beragamnya ciri fisik, kognisi, dan psikomotor. Freud mengatakan
bahwa perilaku neurotik misalnya kecemasan ini terjadi karena adanya
ancaman bahwa ide-ide pembangkit kecemasan yang tidak dapat diterima
muncul kedalam alam sadar. Semua gangguan ini merupakan refleksi ego
dalam menjalankan defense mechanismnya.
Gangguan Kecemasan meliputi banyak aspek, antara lainnya yaitu :
Kesehatan, Relasi Sosial, Karier, Keselamatan, dan Kondisi Lingkungan.
- Klasifikasi ganngguan kecemasan
Istilah neurosis diambil dari kata yang berarti suatu kondisi abnormal.
Neurosis diasumsikan mempunyai penyebab biologis. Neurosis dipandang
sebagai suatu penyakit pada sistem syaraf. Sigmund Freud mengatakan
bahwa tingkah laku neurotis terjadi karena adanya ancaman bahwa ide
pembangkit kecemasan yang tidak dapat diterima akan muncul kealam sadar.
Pada tahun 1980, DSM tidak lagi mempunyai kategori yang disebut
neurosis. DSM yang sekarang didasarkan pada similaritas dalam tingkah
laku yang diamati dan ciri-ciri khusus dibandingkan dengan asumsi
kausal. Orang yang mempunyai gangguan penyesuain, depresi dan gangguan
psikotis juga dapat mempunyai masalah kecemasan. Versi DSM IV, mengakui
tipe spesifik dari gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan tidak berdiri
secara eksklusif, karena penderita seringkali memenuhi lebih dari satu
kriteria diagnostik.
Gangguan Panik
Panic Disorder meliputi munculnya serangan panik yang berulang dan
tidak terduga. Serangan panik pertama melibatkan reaksi kecemasan yang
intens disertai dengan simtom-simton fisik. Terdapat komponen ketubuhan
yang lebih kuat pada serangan panik dibandingkan bentuk kecemasan yang
lain. Orang yang mengalami serangan panik cenderung sangat menyadari
adanya perubahan detak jantung mereka. Serangan panik terjadi tiba-tiba
dan mencapai puncak intensitas dalam 10-15 menit. Dalam banyak hal,
orang yang mengalami serangan panik membatasi aktivitas mereka untuk
menghindari apa yang mereka cemaskan tersebut. Hal ini bisa menyebabkan agoraphobia yaitu ketakutan untuk keluar tempat umum.
Gangguan Kecemasan yang Menyeluruh (GAD)
Gangguan kecemasan menyeluruh atau GAD (Generalized Anxiety Disorder) dicirikan
oleh perasaan cemas yang persisten yang nampak mengapung bebas atau
tidak terikat pada situasi yang spesifik. Gangguan ini cenderung
merupakan gangguan yang stabil. Gangguan ini sering ada bersama dengan
gangguan kecemasan lainnya. Ciri-ciri GAD yaitu sebagai berikut :
Aspek pemicu GAD antara lainnya : Keuangan, Kesejahteraan anak atau keluarga, Hubungan sosial, dan sebagainya.
Gangguan Phobia
Phobia merupakan ketakutan irasional yang
berlebihan terhadap suatu situasi atau objek spesifik. Phobia juga
mencakup komponen perilaku, penghindaran stimulus phobik, selain
ciri-ciri fisik dan kognitif. Jenis gangguan-gangguan phobia antara lain
:
1) Phobia Spesifik, merupakan
ketakutan yang berlebihan dan persisten terhadap objek atau situasi
spesifik. Terdapat beberapa tipe phobia spesifik, antara lainnya :
binatang, lingkungan alam, darah, situasi lainnya. Phobia spesifik
seringkali bermula pada masa kanak-kanak. Phobia spesifik adalah salah
satu gangguan psikologis yang paling umum. Selain itu, cenderung
berlangsung terus selama bertahun-tahun, kecuali bila ditangani dengan
efektif.
2) Phobia Sosial, merupakan ketakutan
yang melibatkan perasaan takut yang besar dan muncul karena penilaian
negatif orang lain. Penderita biasanya memiliki ketakutan yang kuat pada
situasi yang menyengsarakan dan mereka cenderung menjauhi kontak
sosial.
3) Agoraphobia, merupakan ketakutan
pada tempat terbuka, dan daerah yang ramai. Ini dapat terjadi dengan
atau tanpa serangan panik. Agoraphobia lebih umum terdapat pada
perempuan.
Bentuk terapi yang disarankan antara lainnya :
a) Cognitive Restructuring, yaitu proses
terapi yang digunakan untuk membantu penderita dengan cara membuat
daftar tentang hal-hal yang ada dalam pikiran meraka dan merusak
kontrol, lalu dicari alternatif rasional untuk mengatasi hal yang ada
dalam pikirannya itu.
b) Terapi Kognitif dan Perilaku,
merupakan teknik gabungan antara kognitif dan perilaku yang dipadukan.
Dalam pendekatan ini, diterapkan teknik relaksasi dan latihan
pernapasan. Dengan berjalannya waktu penderita akan mengalami
desentisasi terhadap pengalaman.
c) Terapi Psikososial, yaitu pendekatan keluarga yang diarahkan untuk mendidik dan mendukung usaha perubahan yang dilakukan penderita.
Gangguan Obsesif-Kompulsif (OCD)
Obsesi adalah suatu ide, pikiran atau dorongan yang intrusif dan
berulang yang sepertinya berada diluar kemampuan seseorang untuk
mengontrolnya. Kompulsi adalah tingkah laku yang repetitif atau tindakan
mental repetitif yang dirasakan oleh seseorang sebagai suatu keharusan.
Obsesi akan meningkatkan kecemasan seseorang. Sedangkan, kompulsi
menurunkan kecemasan. Akan tetapi, jika seseorang dipaksa untuk
melakukan suatu kompulsi, maka kecemasannya akan meningkat.
Obsesif-kompulsif seringkali berkombinasi menciptakan kecemasan. Obsesif
kompulsif dialami 2-3 % populasi individu di seluruh dunia. Persentase
antara wanita dan pria sama dalam terkena gangguan ini. Seseorang
dikatakan mengidap gangguan obsesi-kompulsif, jika menyebabkan distress
konkret pada individu, dan dalam durasi lebih dari 1 jam/ hari,
mengganggu hal-hal rutin yang normal, fungsi kerja dan fungsi social
individu. Gangguan ini juga sering berangkai dengan gangguan tic.
Perbedaannya dengan delusi adalah adanya keyakinan pada OCD dapat
digoyahkan, jika diberi penjelasan logis terus menerus secara berulang
kali.
Gangguan stress akut (ASD) dan Gangguan Stress Pascatrauma (PTSD).
Gangguan stress akut (ASD) adalah suatu reaksi maladaptif yang
terjadi pada bulan pertama sesudah pengalaman traumatis. Gangguan stress
pascatrauma adalah reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu
pengalaman traumatis. Pada kedua tipe gangguan stress ini terjadi karena
terjadinya suatu peristiwa traumatis. Ciri-ciri stres traumatis,
antara lain : mengalami kembali peristiwa traumatis, menghindari
petunjuk, mati rasa dalam segi emosional, mudah sekali terangsang, dan
mengalami gangguan fungsi. Walaupun gangguan cemas telah menjadi subjek
dari penelitian yang ekstensif, hanya sedikit perhatian yang diberikan
pada perbedaan etnik dalam kaitannya dengan prevalensi dari
gangguan-gangguan ini. Contoh Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan
stress yaitu : Perang, Bencana Alam, Bencana Teknologis, Kematian
seseorang yang berharga, Sakit, Perceraian orang tua, Kekerasan,
Pemerkosaan, Kecelakaan, dan sebagainya.
- B. Perspektif Teoritis
Gangguan kecemasan merupakan suatu laboratorium teoritis bagi para
ilmuwan. Banyak teori mengenai tingkah laku abnormal dikembangkan dengan
pemikiran tentang gangguan ini khususnya kecemasan. Berikut adalah
beberapa pandangan mengenai gangguan kecemasan :
- a. Pandangan Psikodinamis
Kecemasan dalam pandangan ini diasumsikan sebagai suatu sinyal bahaya
bahwa impuls yang mengancam yang sifatnya seksual atau agresif mendekat
kealam kesadaran. Teoretikus psikodinamis memandang gangguan kecemasan
sebagai usaha ego untuk mengendalikan munculnya impuls yang mengancam
kesadaran melalui defense mechanism individu.
Perasan-perasaan akan kecemasan merupakan tanda-tanda peringatan bahwa
impuls yang mengancam mendekat kearah kesadaran. Ego menggerakkan defense mechanismnya untuk mengalihkan impuls tersebut, dan kemudian mengarah pada gangguan kecemasan lainnya.
- b. Faktor-faktor Kognitif dalam Gangguan Kecemasan
Faktor-faktor kognitif mungkin juga memegang peranan penting dalam
gangguan kecemasan, misalnya saja prediksi berlebihan mengenai
ketakutan, keyakinan yang self-defeating dan irasional, sensitivitas berlebihan tentang sinyal-sinyal dan tanda-tanda adanya ancaman, harapan-harapan self-efficacy
yang terlalu rendah, dan salah mengartikan sinyal-sinyal tubuh. Para
peneliti berusaha untuk menemukan dasar biologis dari gangguan-gangguan
kecemasan dengan mempelajari peranan dari faktor-faktor genetis,
neurotransmitter, dan induksi rasa panik melalui tantangan-tantangan
biologis.
- c. Faktor-faktor Biologis dalam Gangguan Kecemasan
Rata-rata perempuan mengalami agoraphobia dan spesifikasiphobia.
Selain itu, menurut penelitian Sandra Searr, dkk mengungkapkan bahwa
anak-anak alami mengalami konstelasi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan anak adopsi terhadap orang tuanya. Faktor genetik ini lebih
memainkan peranan pada phobia spesifik daripada agoraphobia, karena
adanya pengalaman aversif yang mempengaruhi perkembangan phobia
spesifik. Aspek biologis dari gangguan panik ditunjukkan dengan sebagian
besar penyebab gangguan panik adalah karena terjadinya gangguan pada
otak. Gangguan panik juga dapat disebabkan oleh terinfusnya kimiawi
sodium laktosa atau kelebihan CO2 dan lebih disebabkan gangguan internal daripada gangguan eksternal.
- C. Penanganan Gangguan Kecemasan
Pendekatan-pendekatan Psikodinamis
Kecemasan merefleksikan energi yang dilekatkan kepada konflik-konflik
tak sadar dan usaha ego untuk membiarkannya tetap terepresi. Terapis
psikodinamika yang lebih modern juga menyadarkan klien mengenai
sumber-sumber konflik yang berasal dari dalam dirinya. Akan tetapi, jika
dibandingkan dengan pendekatan tradisional, mereka lebih menjejaki
sumber kecemasan yang berasal dari keadaan hubungan yang sekarang ini
daripada hubungan di masa lalu, dan mereka mendorong klien untuk
mengembangkan tingkah laku yang lebih adaptif.
Pendekatan-pendekatan Humanistis
Para teoritikus Humanistis yakin bahwa banyak dari kecemasan kita
yang berasal dari represi sosial diri kita yang sesungguhnya. Orang
mungkin merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi tanpa mampu
untuk mengatakan yang dirasakannya, karena bagian diri yang tidak diakui
tidak secara langsung diekspresikan pada kesadaran. Terapis humanis
bertujuan untuk membantu penderita dalam memahami, dan mengekspresikan
bakat, serta perasaan mereka yang rasakan sesungguhnya.
Pendekatan-pendekatan Biologis
Berbagai variasi obat-obatan digunakan untuk mengobati
gangguan-gangguan kecemasan. Orang yang menjadi tergantung kepadanya
dapat mengalami serangkaian simtom putus zat bila mereka berhenti
menggunakannya secara tiba-tiba. Simtom-simtom tersebut mendorong orang
untuk menggunakan kembali obat-obatan tersebut. Masalah potensial dengan
terapi obat adalah bahwa pasien kemungkinan menganggap perbaikan klinis
yang terjadi disebabkan oleh obat dan bukan karena sumber daya mereka
sendiri. Obat-obat ini juga tidak membawa kesembuhan total. Terapi obat
kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi kognitif behavioral.
Pendekatan-pendekatan Belajar
Inti dari pendekatan belajar ini adalah usaha untuk membantu
individu-individu menjadi lebih efektif dalam menghadapi objek atau
situasi yang menimbulkan ketakutan dan kecemasan.
A) Desentisitisasi Sistematis
Merupakan prosedur untuk mengurangi rasa takut yang diciptakan oleh
psikiater Joseph Wolpe. Desensitisasi sitematis adalah suatu proses
gradual. Klien belajar menghadapi secara progresif menghadapi stimulus
yang makin mengganggu sementara mereka tetap rileks. Para terapis
berorientasi pada behavioral, seperti yang Wolpe jelaskan akan manfaat
dari desensitisasi sistematis dan terapi serupa melalui prinsip
counterconditioning para terapis yang berorientasi kognitif member
catatan bahwa dengan berada bersama dengan gambaran stimulus fobik, dan
tidak lari darinya, akan meningkatkan harapan self-efficacy.
B) Pemaparan Gradual
Metode ini dapat menbantu orang dalam mengatasi phobianya melalui
pendekatan setapak demi setapak dari pemaparan aktual terhadap stimulus
fobik. Pemaparan gradual juga sangat banyak dipakai pada penanganan
agoraphobia. Metode yang disebut flooding adalah
suatu bentuk dari terapi pemaparan dimana subjek dihadapkan kepada
stimulus pembangkit kecemasan tingkat tinggi baik melalui imajinasi
ataupun situasi aktual. Melalui teknik flooding, klien secara langsung
dihadapkan pada situasi pembangkit ketakutan. Terapi Kognitif
, berusaha untuk mengidentifikasi dan mengoreksi keyakinan yang
disfungsional. Terapis kognitif membantu orang untuk mengenali cacat
logis dalam pemikiran mereka dan membantu mereka untuk memandang situasi
secara rasional. Terapi virtual untuk phobia,
keuntungan menggunakan terapi virtual ini adalah untuk memberi
kesempatan pada kita untuk mengatasi situasi sulit atau hampir tidak
mungkin diadakan dalam realitas yang sesungguhnya. Terapi Kognitif-behavioral, dengan memadukan teknik-teknik behavioral seperti restrukturisasi kognitif.
Kuliah V :
Gangguan Disosiatif, Gangguan Buatan, dan Gangguan Somatoform
- I. Gangguan disosiatif (dissociative disorder)
Adalah sebuah kelompok gangguan yang ditandai adanya suatu kekacauan
atau disosiasi dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran. Gangguan
disosiatif mayor mencakup gangguan identitas disosiatif, amnesia
disosiatif, fugue disosiatif, dan gangguan depersonalisasi. Dalam setiap
kasus, terdapat suatu gangguan atau disosiasi (perpecahan) pada
fungsi-fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran yang dalam keadaan
normal membuat diri kita menjadi satu kesatuan.
- A. Gangguan Identitas Disosiatif atau Kepribadian Ganda
Adalah suatu gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau
lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti. Pada gangguan
identitas disosiatif, acapkali disebut sebagai “kepribadian terpecah”,
dua atau lebih kepribadian yang masing-masing memiliki trait dan ingatan
yang terdefinisikan secara baik, yang menempati tubuh satu orang.
Mereka bisa sadar atau tidak sadar akan keberadaan satu dengan yang
lainnya. Dalam beberapa kasus, yang tidak dipublikasikan, kepribadian
pengganti (disebut juga kepribadian alter) bahkan dapat menunjukkan
rekaman EEG, reaksi alergi, dan respon terhadap pengobatan yang berbeda.
Juga, hasil pemeriksaan mata dan besar pupil yang berbeda.
Pada beberapa kasus, kepribadian tuan rumah (utama) mungkin tidak
sadar akan kehadiran identitas lainnya, sementara kepribadian lainnya
sadar akan keberadaan si tuan rumah. Pada kasus-kasus lainnya,
kepribadian-kepribadian yang berbeda benar-benar tidak sadar satu sama
lain. Acapkali kedua kepribadian bersaing untuk mendapatkan kontrol
terhadap orang tersebut. Terkadang ada satu kepribadian dominan atau
inti dan ada dua atau lebih kepribadian subordinat. Beberapa dari
kepribadian pengganti (kepribadian alter) umumnya mencakup anak-anak
dari beragam usia, remaja dengan jenis kelamin berbeda, pekerja seks
komersial, serta laki-laki homoseksual dan wanita lesbian. Beberapa
kepribadian dapat menunjukkan simtom-simtom psikosis putus dari realitas
yang diekspresikan dalam bentuk halusinasi dan pola pikir delusional.
Kepribadian yang dominan sering tidak menyadari keberadaan
kepribadian-kepribadian alter. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa
mekanisme disosiatif dikontrol oleh proses-proses ketidaksadaran.
Meskipun kepribadian dominan tidak menyadari mengenai keberadaan
kepribadian lainnya, ia dapat samar-samar merasakan bahwa ada sesuatu
yang tidak beres. Bahkan mungkin terjadi “persaingan interpersonalitas”
dimana satu kepribadian ingin memusnahkan kepribadaian yang lainnya.
Meskipun wanita merupakan mayoritas kasus dari kepribadian ganda,
proporsi dari laki-laki yang didiagnosis memiliki gangguan tersebut
telah mengalami peningkatan. Wanita yang menderita gangguan tersebut
cenderung memiliki lebih banyak identitas pengganti dimana rata-rata 15
atau lebih daipada laki-laki, yang rata-rata sekitar 8 identitas (APA,
2000).
Ciri-ciri dari gangguan identitas disosiatif (sebelumnya disebut kepribadian ganda), yaitu :
Sedikitnya dua kepribadian yang berbeda ada dalam diri seseorang,
dimana masing-masing memiliki pola yang relatif kekal dan berbeda dalam
memersepsikan, memikirkan dan berhubungan dengan lingkungan serta self.
Dua atau lebih dari kepribadian ini secara berulang mengambil kontrol penuh atas perilaku individu itu.
Ada kegagalan untuk mengingat kembali informasi pribadi penting yang
terlalu substansial untuk dianggap sebagai mekanisme lupa biasa.
Ganguan ini tidak terjadi akibat efek dari zat psikoaktif atau kondisi medis umum.
- B. Amnesia Disosiatif
Adalah suatu gangguan disosiatif dimana seseorang mengalami
kehilangan ingatan tanpa sebab organis yang dapat teridentifikasi.
Amnesia disosiatif adalah tipe yang paling umum dari gangguan
disosiatif. Amnesia berasal dari kata Yunani a-, berarti tanpa, dan mnasthai, berarti untuk mengingat. Dalam amnesia disosiatif (dissociative amnesia),
sebelumnya disebut amnesia psikogenik, orang menjadi tidak mampu
menyebutkan kembali informasi pribadi yang penting, biasanya melibatkan
pengalaman yang traumatis atau penuh tekanan, dalam bentuk yang tidak
bisa dianggap sebagai lupa biasa. Kehilangan ingatan ini tidak
disebabkan oleh penyebab organik tertentu, seperti kerusakan pada otak
atau kondisi medis tertentu, dan juga bukan efek langsung dari
obat-obatan atau alkanol. Ingatan yang hilang dalam amnesia disosiatif
dapat kembali, meskipun gangguan ini bisa berlangsung selama beberapa
hari, minggu atau bahkan bertahun-tahun. Mengingat kembali dalam amnesia
disosiatif dapat terjadi secara bertahap, tetapi sering kali muncul
secara tiba-tiba dan spontan. Kebanyakan kasus dari amnesia disosiatif
mengambil bentuk amnesia terlokalisasi dimana peristiwa yang terjadi
dalam suatu periode waktu tertentu hilang dari ingatan.
Bentuk lain dari amnesia disosiatif mencakup amnesia selektif dan
amnesia menyeluruh. Dalam amnesia selektif, orang lupa hanya pada
hal-hal khusus yang mengganggu yang terdapat dalam suatu periode waktu
tertentu. Dalam amnesia menyeluruh, orang melupakan seluruh kehidupannya
meliputi siapa dirinya ?, apa pekerjaannya ?, dan dimana tempat
tinggalnya ?. Orang dengan amnesia menyeluruh tidak dapat mengingat
informasi pribadi, tapi cenderung untuk tetap mempertahankan kebiasaan,
selera, dan keterampilan mereka. Orang dengan amnesia selektif biasanya
lupa pada peristiwa atau periode kehidupan yang traumatis yang
membangkitkan emosi negatif yang kuat seperti ketakutan serta rasa
bersalah. Pura-pura mengaku amnesia sebagai suatu cara menghindari
tanggung jawab disebut malingering, yang mencakup usaha untuk menirukan simtom terkait atau membuat pengakuan palsu demi keuntungan pribadi.
- C. Fugue Disosiatif
Adalah suatu gangguan disosiatif dimana seseorang tiba-tiba pergi
dari lingkupan kehidupannya, melakukan perjalanan kelokasi baru, dengan
mengasumsikan identitas baru dan mengalami amnesia untuk hal-hal
pribadi. Fugue berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri. Kata fugitive (pelarian/ buronan) memiliki asal kata yang sama fugue sama seperti amnesia dalam pelarian. Dalam fugue disosiatif (dissociative fugue),
sebelumnya disebut fugue psikogenik, penderita melakukan perjalanan
secara tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya dari rumah atau tempat
kerjanya, ia tidak mampu mengingat kembali informasi personal yang
sudah-sudah, dan menjadi bingung akan identitasnya atau mengasumsikan
identitas yang baru (baik secara sebagian atau secara lengkap). Selain
perilaku yang aneh ini, orang tersebut dapat terkesan normal dan tidak
menunjukkan tanda-tanda lain dari gangguan mental. Orang tersebut
mungkin tidak memikirkan tentang masa lalu, atau mungkin melaporkan masa
lalu yang penuh dengan memori yang salah tanpa menyadari bahwa memori
itu salah. Hal yang utama disini yaitu bahwa disosiasi dalam tahap fugue
melindungi seseorang dari ingatan traumatis atau sumber pengalaman
maupun konflik lain yang menyakitkan secara emosi, yang diyakini oleh
perspektif psikodinamik sebagai upaya pertahanan ego. Fugue juga sulit
dibedakan dari malingering.
- D. Gangguan Depersonalisasi
Adalah perasaan ketidaknyataan atau keterpisahan dari self atau dari tubuhnya sendiri. Depersonalisasi (depersonalization)
mencakup kehilangan atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa
mengenai realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang
merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Penderita mungkin merasa seperti sedang bermimpi atau bertingkah laku
seperti robot. Derealisasi adalah kehilangan
perasaan realitas terhadap lingkungan sekitar, dialami dalam bentuk
perubahan yang aneh pada lingkungan atau pada periode waktu. Derealisasi
(derealization) adalah suatu perasaan tidak riil mengenai
dunia luar yang mencakup perubahan yang aneh dalam persepsi mengenai
lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai jangka waktu juga dapat
muncul. Gangguan depersonalisasi adalah suatu gangguan yang ditandai
oleh episode yang persisten atau berulang dari depersonalisasi.
Ciri-ciri diagnostik dari gangguan depersonalisasi, yaitu :
Pengalaman yang berulang atau persisten dari depersonalisasi, yang
ditandai oleh perasaan terpisah dari proses mental atau tubuh seseorang,
seakan-akan seseorang menjadi pengamat luar dari dirinya sendiri.
Pengalaman ini dapat memiliki karakteristik seperti mimpi.
Individu tersebut mampu mempertahankan pengujian realitas, contohnya,
membedakan kenyataan dari ketidaknyataan saat keadaan depersonalisasi.
Pengalaman depersonalisasi menyebabkan distress atau hendaya pribadi
yang signifikan pada satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti
fungsi sosial atau pekerjaan individu.
Pengalaman depersonalisasi tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan
lain atau tidak merupakan efek langsung dari obat-obatan, alkanol, atau
kondisi medis tertentu.
II. Sudut Pandang Teoritis
Pandangan psikodinamis. Amnesia disosiatif dapat
menjadi suatu fungsi adaptif dengan cara memutus atau mendisosiasi alam
sadar seseorang dari kesadaran akan pengalaman traumatis atau
sumber-sumber lain dari nyeri maupun konflik psikologis. Bagi teoretikus
psikodinamis, gangguan disosiatif melibatkan penggunaan represi secara
besar-besaran, yang menghasilkan terpisahnya impuls yang tidak dapat
diterima dan ingatan yang menyakitkan dari kesadaran seseorang. Dalam
amnesia dan fugue disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri dari
kebanjiran kecemasan dengan mengeluarkan ingatan-ingatan yang mengganggu
atau dengan mendisosiasi impuls menakutkan yang bersifat seksual dan
agresif. Pada kepribadian ganda, orang mungkin mengekspresikan
impuls-impuls yang tidak dapat diterima ini melalui pengembangan
kepribadian pengganti. Pada depersonalisasi, orang berada di luar
dirinya sendiri, aman dengan cara menjauh dari pertarungan emosional di
dalam dirinya.
Pandangan Kognitif dan Belajar. Teoretikus belajar
dan kognitif memandang disosiasi sebagai suatu respon yang dipelajari
yang meliputi proses tidak berpikir tentang tindakan atau pikiran yang
mengganggu dalam rangka menghindari rasa bersalah dan rasa malu yang
ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman tersebut. Spanos percaya bahwa
gangguan identitas disosiatif merupakan suatu bentuk permainan peran
yang dikuasai melalui observasi, yang melibatkan proses pembelajaran dan
reinforcement.
Eklektisitas Perspektif. Meskipun memiliki
konseptualisasi yang berbeda akan fenomena disosiatif, para psikolog
menyadari bahwa penyiksaan di masa kecil sering memegang peranan
penting. Pandangan yang paling banyak dianut dari gangguan identitas
disosiatif adalah bahwa gangguan tersebut mewakili sebuah cara untuk
mengatasi (coping) dan selamat dari penyiksaan masa kecil yang berat dan
berulang, yang pada umumnya dimulai sebelum usia 5 tahun. Anak yang
mengalami penyiksaan berat dapat memiliki kepribadian alter sebagai
pertahanan psikologis menghadapi penyiksaan yang tak tertahankan.
Pembentukan kepribadian alter ini memberi jalan bagi anak-anak seperti
itu untuk secara psikologis menyelamatkan diri atau menjauhkan diri dari
penderitaan mereka.
III. Penanganan Terhadap Gangguan Disosiatif
Pada kasus-kasus seperti amnesia, fugue dan depersonalisasi, klinisi
biasanya berfokus pada penanganan kecemasan atau depresinya. Untuk
gangguan identitas disosiatif, penelitian secara khusus berfokus pada
usaha mengintegrasikan keperibadian alter menjadi sebuah struktur
kepribadian yang kohesif. Psikoanalisis berusaha membantu orang yang
menderita gangguan identitas disosiatif untuk mengungkapkan dan belajar
mengatasi trauma-trauma masa kecil. Mereka sering merekomendasikan
membangun kontak langsung dengan kepribadian-kepribadian alter.
IV. FACTITIOUS DISORDER (GANGGUAN BUATAN)
Dalam gangguan ini, penderita dengan sengaja membuat gejala medis dan
mental, serta memalsukan sejarah dan gejalanya dengan tujuan
mendapatkan peranan orang sakit. Perilaku memiliki kualitas kompulsif,
menimbulkan gejala dengan disengaja (volunter), dan memiliki tujuan
walaupun penderita tidak dapat mengontrolnya. Gangguan ini sering
ditemukan pda pria. Menurut psikodinamika faktor penyebabnya sangat
sulit ditemukan karena penderita sulit untuk dilibatkan dalam proses
psikoterapi eksploratif. Hal ini disebabkan penderita beranggapan bahwa
gejala yang ada secara fisik, sehingga pendekatan yang berorientasi
psikologis akan diabaikan. Penderita mendapatkan penyiksaan dan
penelantaran pada masa anak yang menyebabkan seringnya perawatan RS
selama perkembangan awal. Perawat, dokter menjadi figur pengganti
orangtua yang menolak. Mekanisme pertahanan diri yang terjadi adalah
represi, identifikasi dengan agresor, regresi, dan simbolisasi. Kriteria
Diagnostik Gangguan Buatan yaitu :
a) Gajala dimunculkan secara sengaja atau dibuat-buat tanda, atau gejala fisik, atau psikologis.
b) Motivasi perilaku untuk mendapatkan peranan sakit (sickrole).
c) Tidak mendapatkan keuntungan eksternal untuk perilaku
(tujuan ekonomi, menghindari tanggung jawab atau memperbaiki
kesejahteraan fisik seperti pada pura-pura.
Tanda dan gejala psikologis yang menonjol jika simtom psikologis
menguasai gambaran klinis. Tanda dan gejala fisik yang menonjol jika
simtom fisik menguasai gambaran klinis. Kombinasi tanda dan gejala
psikologis dan fisik jika keduanya ditemukan tetapi tidak ada yang
menguasai gambaran klinis.
V. Gangguan Somatoform
Gangguan Somatoform merupakan gangguan yang dicirikan dengan adanya
simtom fisik yang tidak ditemukan penjelasannya secara medis. Penderita
somatoform merasa percaya bahwa mereka punya penyakit yang serius
padahal tidak ada kelainan fisik yang ditemukan.
- Gangguan Konversi (Histeria Neurosis)
Adalah gangguan yang dicirikan dengan adanya satu atau lebih gejala
neurologis (kebutaan, paralisis) yang tidak dapat dijelaskan oleh
gangguan neurologis atau medis. Gejala tersebut tidaklah dibuat secara
sengaja. Orang tersebut tidak melakukan malingering. Simtom fisik itu
biasanya timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Biasanya
penderita mengalami kelumpuhan sebagian atau keseluruhan koordinasi,
kejang, mati rasa, anosmia (kehilangan kemampuan membau), aphonia
(kehilangan suara). Namun, gejala yang paling sering adalah paralisis,
kebutaan dan mutisme. Adapun faktor penyebabnya menurut beberapa
perspektif yaitu :
Psikoanalis; adanya represi konflik intrapsikis
bawah sadar dan konversi kecemasan dalam gejala fisik. Konflik yang
terjadi antara dorongan instinktif (seksual) dengan penghalangan
ekspresi.
Behavioral; memanipulasi lingkungan untuk memberikan
perhatian khusus pada penderita. Dengan penderitaan sakitnya tersebut,
penderita mengendalikan lingkungan untuk mencapai tujuan yang
dikehendakinya.
Faktor Biologis; adanya hipometabolisme di hemisfer
dominan dan hipermetabolisme di hemisfer nondominan dan melibatkan
gangguan komunikasi hemisferis. Pada beberapa pasien ditemukan adanya
gangguan serebrum yang tak jelas dalam komunikasi verbal, daya ingat,
kewaspadaan, ketidaksesuaian efek dan perhatiannya.
Gambaran Klinis :
Gejala Sensoris : melibatkan organ indera spesifik yang menyebabkan ketulian, dan kebutaan.
Gejala Motoris : kelainan pergerakan, cara
berjalan, kelemahan, paralitis. Tiks dan gerakan sentakan-sentakan
sering ditemukan. Pergerakan biasanya memburuk, jika ada perhatian
padanya. Satu gaya berjalan penderita konversi Astasia-abasia : ataksik
(tidak terkoordinasi antara otot dan otak) dan sempoyongan yang disertai
oleg gerakan batang tubuh yang menyentak, iregular kasar, dan gerakan
lengan yang menggelepar dan bergelombang.
Gejala Kejang : adanya kejang semu (pseudoseizure). Kondisi kejang semu sulit dibedakan dengan kejang biasa.
Ciri penyerta lain :
Tujuan Primer : mempertahankan konflik internal di luar kesadarn. Adnya nilai simbolik yang mewakili konflik psikologis bawah sadar.
Tujuan Sekunder : mendapatkan keuntungan
yang nyata akibat sakit; dimaafkan, mendapat bantuan; bebas kewajiban
dan situasi yang sukar, memanipulasi orang lain.
La Belle Indefence : sikap sombong, ketidakacuhan, pandai menahan sikap yang tidak sesuai dengan gejala serius.
Tanda-tanda Gangguan Konversi menurut DSM IV :
Satu atau lebih defisit mengenai fungsi motoris volunter atau sensoris yang mengarah pada kondisi medis atau neurologis.
Didahului konflik atau stressor psikologis.
Gejala tidak dibuat-buat secara sengaja.
Hasil pemeriksaan medis tidak ditemukan kondisi medis umum, efek zat
tertentu atau perilaku kultural yang diterima secara akurat.
Meyebabkan penderitaan bermakna secara psikologis.
- Hipokondriasis
Ciri utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa
simtom fisik yang dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit
serius yang mendasarinya, seperti kanker atau masalah jantung. Pada
dasarnya tidak ada distorsi atau kemunduran fungsi tubuh. Penderita
menginterpretasikan simtom tidak akurat dan menimbulkan rasa ketakutan
yang tidak realistis terhadap simtom tersebut, walaupun tidak ditemukan
penyebab medis dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam kehidupan
sosial penderita. Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar
berpura-pura akan simtom fisiknya. Mereka umumnya mengalami
ketidaknyamanan fisik, sering kali melibatkan sistem pencernaan atau
campuran antara rasa sakit dan nyeri. Biasanya dialami pada usia 20-30
tahun. Kebanyakan yang diduagnosa hipokondria juga menunjukkan
tanda-tanda gangguan psikologis seperti depresi dan gangguan kecemasan.
Diagnosa tanda-tanda hipokondria:
a) Orang memikirkan dengan ketakutan bahwa mempunyai penyakit
yang serius tanpa adanya laporan medis mendukung pernyataannya.
b) Yang menjadi pokok adalah bukannya intensitas delusi, tetapi emosi yang berada di bawah stress.
c) Dialami selama enam bulan atau lebih.
d) Indikasi hipokondria yang terjadi secara eksklusif dengan tanda gangguan lain.
Orang dengan hipokondriasis menjadi sangat sensitif terhadap
perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit perubahan dalam
detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri. Padahal, kecemasan akan
simtom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik tersendiri, misalnya
keringat berlebihan dan pusing bahkan pingsan. Orang yang mengalami
hipokondriasis memiliki lebih lanjut kekhawatiran akan kesehatan, lebih
banyak simtrom psikiatris, dan mempersepsikan kesehatan yang lebih buruk
daripada orang lain.
- Gangguan Somatik (Somatisasi)
Gangguan Somatisasi (somatization disorder), sebelumnya dikenal sebagai Sindrom Briquet.
Merupakan gangguan dengan karakteristik banyaknya keluhan atau gejala
somatik yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya secara medis. Dibedakan
dengan gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan
melibatkan sistem organ multiple (gangguan saraf dan
pencernaan). Sifat gangguan ini kronis (dialami selama beberapa tahun
dan dimulai sebelum usia 30 tahun) dan disertai dengan penderitaan yang
bermakna, gangguan fungsi sosial dan perilaku mencari bantuan medis
berlebihan. Adapun Faktor penyebabnya yaitu :
Psikososial : interpretasi gejala sebagai
suatu tipe komunikasi sosial yang hasilnya adalah menghindari kewajiban
(melakukan hal yang tidak disenangi), mengekspresikan emosi (kebencian),
simbolisasi perasaan atau kesakitan (nyeri kepala). Menurut
psikoanalisis, simtom merupakan substitusi dorongan instinktif yang
direpresikan. Pandangan behavioral melihat adanya proses belajar
parental. Di samping itu, juga ditemukan pasien berasal dari rumah yang
tidak stabil dan mengalami penyiksaan fisik.
Faktor Biologis : adanya gangguan pada neurologis. Faktor genetika juga dilaporkan mempunyai pengaruh munculnya gangguan somatisasi.
Kriteria diagnostik gangguan somatisasi menurut DSM IV :
Empat gejala nyeri; riwayat nyeri
berhubungan setidaknya empat tempat atau fungsi yang berlainan (kepala,
perut, punggung, sendi, dada, anggota gerak, sexual intercourse, menstruasi, urine).
Dua gejala gastrointestinal (mual, kembung, muntah selain kehamilan, diare ateu intoleransi terhadap jenis makanan).
Satu gejala seksual (kurang bergairah, ejakulasi dini, menstruasi tidak teratur).
Satu gejala saraf (sulit menelan, hilangnya sensasi sentuh, dissosiatif (amnesia), afonia, kebutaan, kelumpuhan dan hilang ingatan).
Penderita gangguan somatisasi mempunyai banyak keluhan dan riwayat
medis yang lama dan sulit, mual, muntah (selama kehamilan), kesulitan
menelan, nyeri di lengan dan tungkai, amnesia, komplikasi kehamilan dan
menstruasi gejala yang paling sering. Riwayat medis digambarkan secara
sepintas, samar-samar, tidak jelas, tidak konsisten, dan tidak
sistematis. Penderita wanita biasanya berpakaian secara eksibisionistis,
tergantung, berpusat pada diri sendiri, haus pujian, dan manipulatif.
Sering disertai dengan adanya gangguan mental lainnya, termasuk depresif
berat, gangguan kepribadian, adiksi zat, kecemasan umum, dan phobia.
- Body Dysmorphic Disorder (BDD)
Orang dengan gangguan dismorfik tubuh (Body dismorphic disorder/
BDD) sering terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau
dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan
waktu berjam-jam untuk memerikasakan diri di depan cermin dan mengambil
perilaku yang ekstrem untuk mencoba memerbaiki kerusakan yang mereka
persepsikan. Bahkan, bisa menjalani operasi plastik yang tidak
dibutuhkan. Gangguan ini menyebabkan penderitaan yang bermakna bagi
penderita, sehingga terganggu fungsi sosial dan kehidupan sehari-hari.
Faktor penyebab belum banyak dipelajari. Diperkirakan adanya pengaruh
kultural atau sosial yang bermakana karena penekanan konsep mengenai
kecantikan yang stereotipe pada keluarga tertentu atau budaya
tertentu. Pandangan psikodinamika menjelaskan adanya pengalihan konflik
seksual atau emosional ke dalam bagian tubuh yang tidak berhubungan
melalui defense mechanism represi, disosiasi, simbolisasi, dan proyeksi.
Permasalahan banyak melibatkan kerusakan tubuh yang berhubungan dengan
bagian spesifik (dagu). Kadangkala permasalahan terlihat tak jelas dan
susah untuk dipahami, seperti permasalahan bentuk bibir yang aneh.
Gejala penyerta yang sering adalah ide yang menyangkut diri (ideas of reference),
waham yang menyangkut diri (orang lain yang membicarakan kekurangan
pada tubuhnya). Hampir semua penderita menghindari pertemuan sosial dan
pekerjaan, terus tinggal di rumah karena takut diteretawakan, dan
beberapa kasus berusaha untuk melakukan upaya bunuh diri.
Kriteria diagnostik gangguan Somatisasi menurut DSM IV :
Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan
sedikit anomali tubuh, maka individu akan merasakan kekhawatiran yang
berlebihan.
Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis, fungsi sosial atau fungsi penting lainnya.
Tidak dapat diterangkan lebih baik dengan mental lain (ketidakpuasan bentuk dan ukuran tubuh pada anoreksia nervosa).
- Gangguan Nyeri
Adanya rasa nyeri pada satu atau lebih tempat yang tidak sepenuhnya
disebabkan oleh kondisi medis atau neirologis nonpsikiatris. Gejala
nyeri disertai penderitaan emosional dan gangguan fungsional, dan
gangguan memiliki hubungan kausal yang logis dengan faktor psikologis.
Nama lain dari gangguan ini yaitu : gangguan nyeri psikogenik; gangguan
nyeri idiopatik, dan gangguan nyeri atipikal eufemestik. Berikut adalah
pandangan beberapa perspektif mengenai faktor penyebab gangguan nyeri :
Psikodinamis : merupakan ekspresi simbolik dari
konflik intrapsikis melalui tubuh. Beberapa penderita mengalami
aleksitima yaitu kesulitan mengartikulasikan perasaan internal ke dalam
kata-kata, sehingga tubuh mengekspresikan perasaan. Pengalihan masalah
kedalam tubuh menjadikan penderita merasa memiliki kekuasaan untuk
memenuhi kebutuhan ketergantungan. Arti simbolis dapat juga berhubungan
dengan penebusan dosa, kesalahan ataupun agresi yang ditekan. Beberapa
pasien sukar disembuhkan karena merasa pantas untuk menderita. Nyeri
dapat berfungsi sebagai cara untuk mendapatkan cinta, hukuman kesalahan,
dan cara menebus kesalahan. Pola defens mekanism yang digunakan adalah pengalihan, substitusi, dan represi.
Behavioral : gejala nyeri menjadi kuat jika diikuti
oleh perlakuan cemas dan perhatian orang lain atau keberhasilan
menghindari aktivitas yang tidak disenangi.
Interpersonal : cara untuk dapat memanipulasi dan
mendapatkan keuntungan dalam berhubungan interpersonal, misalnya untuk
menjadi anggota keluarga yang paling disayangi atau mempertahankan
perkawinan yang rapuh.
Biologis : adanya kelainan limbik atau kelainan kimiawi pada otak.
Kriteria diagnostik gangguan somatisasi menurut DSM IV :
Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup parah.
Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis, sosial atau fungsi lainnya.
Adanya faktor psikologis dianggap berperan dalam onset, keparahan, bertahannya nyeri.
Tidak ditimbulkan secara sengaja.
Nyeri tidak dapat diterangkan dengan kecemasan atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi dispareunia.
Gangguan nyeri bukan merupakan suatu kelompok yang seragam, akan
tetapi simtom yang dikeluhkan sangat heterogen dengan berbagai nyeri,
seperti punggung, ataupun kepala. Untuk memenuhi kriteria diagnosis
gangguan nyeri diharuskan adanya faktor psikologis yang terlibat secara
signifikan dalam gejala nyeri dan permasalahannya. Sering timbul
keinginan-keinginan untuk melakukan pembedahan. Pasien sering menyangkal
adanya faktor emosional dan menyatakan hidup dalam kebahagiaan kecuali
adanya rasa nyeri. Untuk mengatasi rasa nyerinya, biasanya pasien
menggunakan alkanol dan zat untuk meringankan penderitaannya.
- Sindrom Koro dan Dhat
Sindrom Koro (Koro Syndrome) adalah sebuah
sindrom yang terkait dengan budaya yang ditemukan terutama di China dan
sejumlah negara timur jauh lainnya (Sheung-Tak, 1996). Orang dengan
sindrom koro takut alat genitalnya mengalami pengecilan dan masuk
kedalam tubuh, yang mereka percaya dapat menyebabkan kematian. Sindrom
ini diidentifikasi terutama pada pria muda, meski beberapa kasus juga
dilaporkan pada wanita. Tanda-tanda fisiologis kecemasan yang mendekati
proporsi panik umum terjadi, mencakup keringat yang berlebihan, tidak
dapat bernapas, dan jantung berdebar-debar. Pria yang menderita koro
diketahui menggunakan alat-alat mekanis, seperti sumpit, untuk mencoba
mencegah penis masuk ke dalam tubuh. Sindrom Dhat (Dhat Syndrome)
ditemukan diantara laki-laki muda di Asia-India dan melibatkan
ketakutan yang berlebihan akan kehilangan air mani saat buang air di
malam hari (Akhtar, 1988). Beberapa pria dengan sindrom ini juga percaya
(secara tidak benar) bahwa air mani bercampur dengan urine dan
dikeluarkan saat buang air kecil. Pria dengan sindrom dhat akan
berkeliling dari satu dokter ke dokter lain mencari bantuan untuk
mencegah pembuangan di malam hari atau hilangnya air mani (yang
dibayangkan) yang bercampur dengan urine yang dibuang.
VI. Treatment
1) Psikoanalisis
Membuka dan membawa konflik ketidaksadaran yang dimulai pada masa kecil sehingga simptom-simptomnya akan hilang.
2) Behavioral
Teoretikus Behavioris memfokuskan pada penghilangan secondary reinforcement
yang mungkin berhubungan dengan keluhan fisik. Terapis behavioral dapat
mengajarkan anggota keluarga untuk menghargai usaha memenuhi tanggung
jawab dan mengabaikan tuntutan dan keluhan.
3) Kognitif-Bahavioral
Pemaparan terhadap Pencegahan respons dan rekstrukturisasi kognitif.
Pemaparan dapat dilakukan dengan secara sengaja memunculkan sesuatu yang
ditakutinya. Dalam rekstrukturisasi kognitif, terapis menantang
keyakinan klien dengan cara menyemangati mereka untuk mengevaluasi
keyakinan mereka dengan bukti yang jelas. Perhatian akhir-akhir ini
beralih pada pengguanaan antidepresan, terutama fluoxetine (Prozac),
dalam menangani beberapa tipe gangguan somatoform. Meski kita
kekurangan terapi obat yang spesifik untuk gangguan konversi.
Kuliah VI :
GANGGUAN IDENTITAS GENDER DAN GANGGUAN SEKSUAL
Gangguan Identitas Gender
Definisi gangguan identitas gender dalam DSM-IV (2000) yaitu adanya
perasaan tidak nyaman dengan jenis kelamin yang dimiliki atau adanya
perasaan tidak cocok dengan peran gender dari jenis kelamin yang
dimiliki. Identitas gender biasanya ditemukan sejak pada awal masa
kanak-kanak (usia 18-24 bulan). Seorang anak bisa saja menyukai
aktivitas yang kadang terlihat lebih tepat untuk lawan jenisnya, tetapi
anak-anak dengan identitas gender yang normal masih melihat dirinya
sebagai bagian dari seks biologis mereka sendiri.
- Ciri-ciri orang yang mengalami gangguan identitas gender/
transseksualisme dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
III (1993) yaitu :
- Memiliki hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya.
- Memiliki perasaan tidak enak atau tidak sesuai dengan anatomi seksualnya.
- Menginginkan untuk memperoleh terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.
- Faktor-faktor penyebab gangguan identitas gender, antara lain :
- Sudut Pandang Biologis ; Faktor hormon seksual yang mempengaruhi neuron otak dan berkontribusi terhadap maskulinisasi atau feminisasi otak yang terjadi pada area hipotalamus.
- Sudut Pandang Psikososial ; Mengembangkan identitas gender selaras dengan apa yang diajarkan pada mereka selama masa pengasuhan; dipengaruhi oleh interaksi, temperamen anak, kualitas, dan sikap orang tua.
- Penanganan yang disarankan :
- Operasi Pergantian Jenis Kelamin ; Alat genital diubah untuk dibuat menyerupai alat genital lawan jenis yang diinginkan (Davidson & Neale, 2001).
- Terapi Hormon ; Pemberian hormon untuk memunculkan tanda-tanda kelamin sekunder dari jenis kelamin yang diinginkan.
Penderita gangguan identitas gender mungkin akan mencari pertolongan
psikologis, baik untuk membantu mereka dalam mengatasi kesulitan hidup
dalam sebuah tubuh yang menimbulkan perasaan tidak nyaman ataupun untuk
membantu mereka melewati suatu peralihan jenis kelamin. Beberapa
penderita mungkin puas dengan perubahan peranan jenis kelamin mereka
tanpa harus melakukan pembedahan; dengan bekerja, tinggal dan berpakaian
seperti lawan jenisnya didalam pergaulan. Mereka merubah penampilan
luar mereka, meminum obat-obat hormonal, dan memperoleh identitas yang
memperkuat perubahannya, tanpa perlu melakukan pembedahan yang mahal dan
beresiko.
Gangguan Seksual/ Parafilia
Pada gangguan parafilia, penderita menunjukkan rangsangan seksual
dalam respon stimulus yang tidak biasa atau ganjil. Menurut DSM IV,
parafiilia meliputi keadaan berulang, dorongan seksual kuat dan mendesak
dan pusat-pusat fantasi lainnya :
Objek non-human (pakaian dalam, sepatu kulit dan sutera).
Penghinaan atau pengalaman-pengalaman pahit yang terjadi pada diri sendiri atau orang lain.
Anak-anak atau orang lain yang tidak dapat izin dana bantuan.
Diagnosis penderitanya adalah keadaan berulang, dorongan dan keras
kepala selama peride 6 bulan. Faktor penyebab parafilia menurut Kartono
(1989):
Genetis/ hereditas.
Pengalaman tahun-tahun awal perkembangan masa kanak-kanak.
Proses belajar selama masa anak-anak.
Kejadian-kejadian yang diasosiasikan dengan tingkah laku seksual pada usia pubertas dan adolesens.
Jenis-jenis parafilia :
Ekshibisionisme ; Ekshibisionisme melibatkan
dorongan kuat dan berulang untuk menunjukkan alat kelaminnya dengan
tujuan mengagetkan, mengejutkan atau membangkitkan dorongan seksualnya.
Orang tersebut dapat bermasturbasi sambil membayangkan atau benar-benar
menunjukkan alat kelaminnya (hampir semua kasus terjadi pada pria).
Orang yang didiagnosa mengalami ekshibisionisme pada dasarnya tidak ada
keinginan untuk mengadakan kontak seksual dengan korbannya, sehingga
tidak berbahaya. Beberapa penelitian menunjukkan ekshibisionisme sebagai
salah satu maksud ekspresi permusuhan secara tidak langsung pada
wanita. Laki-laki penderita ini cenderung pemalu, tergantung serta
kurang memiliki ketrampilan sosial dan seksual. Mereka diragukan
kejantanannya dan merasa kekurangannya. Perubahan atau dorongan rasa
takut dari korban membuat mereka merasa lebih menguasai keadaan dan
meningkatkan dorongan seksual.
Fetishisme ; Fetishisme berasal dari bahasa Portugis feitico
yang berarti daya tarik ajaib, maksudya disini adalah kemampuan objek
untuk merangsang secara seksual. Ciri utamanya adalah dorongan seksual
yang kuat dan berulang serta membangkitkan fantasi yang melibatkan objek
tak hidup. Misalnya bagian dari pakaian dalam. Normal bagi laki-laki
untuk menyukai tampilan, rasa, dan aroma pakaian dalam pasangannya. Tapi
bagi laki-laki dengan kelainan ini lebih memilih objeknya daripada
orang yang memilikinya dan tidak dapat terangsang tanpa objek tersebut.
Mereka sering mengalami kepuasan seks dengan melakukan masturbasi saat
menemukan objek, menggosokkan, dan menciumnya saat melakukan aktivitas
seks.
Transvestic Fetishism ; Ciri utama transvestic fetishism adalah dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang melibatkan cross-dressing
untuk mendapat rangsangan seksual. Orang dengan fetishisme memperoleh
kepuasan dengan menyentuh objek seperti pakaian dalam wanita, tapi bagi
penderita transvestic fetishism ingin mengenakannya. Transvestic fetishism
hanya terjadi pada pria heteroseksual, dan biasanya dilakukan secara
tertutup dengan membayangkan diri mereka menjadi wanita yang dicumbunya.
Cross-dress diantara gay dan penderita gangguan identitas
gender dilakukan untuk alasan lain seperti menarik perhatian pria lain,
dan bukan untuk memperoleh kepuasan seksual, sehingga bukan merupakan
bentuk dari transvestic fetishism.
Voyeurism ; Ciri utama voyeurism adalah mengalami
distress akibat munculnya dorongan seksual yang kuat dan terus menerus
sehubungan dengan fantasi yang melibatkan melihat/ memperhatikan orang,
biasanya yang tidak dikenal, yang sedang tidak berpakaian atau membuka
pakaian atau sedang melakukan aktivitas seksual dimana mereka tidak
menduganya. Tujuannya adalah untuk mencapai rangsangan seksual. Orang
dengan gangguan ini biasanya tidak mencari aktivitas seksual dengan
korban. Selama tindakan voyeurism mereka biasanya masturbasi sambil
melihat/ menonton. Sejumlah orang yang melakukan tindakan voyeuristik
menempatkan diri mereka pada situasi yang berisiko, sedangkan adanya
kemungkinan tertangkap atau dilukai dapat meningkatkan gairah mereka.
Frotteurisme ; adalah desakan seksual yang kuat,
berulang dan berhubungan dengan fantasi yang dilakukan dengan
menggosok-gosokkan atau menyentuh orang tanpa izin. Biasanya terjadi di
tempat yang padat seperti terminal, bus atau kereta.
Pedophilia ; adalah desakan yang kuat, berulang dan
berhubungan dengan fantasi yang melibatkan aktivitas seksual dengan
anak-anak prapuber (13 tahun atau yang lebih muda). Sumber pedophilia
adalah stereotip yang lemah, pemalu, tidak bersosialisasi, dan pria yang
merasa lebih puas melakukan dengan anak-anak karena tidak mengkritik
atau memuntut. Pada sejumlah kasus lain, bisa jadi pengalaman seksual
masa kanak-kanak dengan anak-anak lain dirasa sangat menyenangkan
sehingga pria tersebut, pada saat dewasa, berkeinginan untuk merasakan
kembali kegembiraan masa lalu. Ataupun mungkin pada beberapa kasus
pedofilia, pria yang teraniaya secara seksual oleh orang dewasa pada
masa kanak-kanaknya sekarang bisa membalikkan situasi sebagai usaha
untuk mendapatkan perasaan berkuasa. Beberapa penderita pedophilia
membatasi aktivitas mereka pada melihat atau melucuti pakaian anak-anak,
sedangkan yang lainya terlibat dalam ekshibisionisme, mencium,
membelai, seks oral, hubungan seks anal atau seks vaginal. Untuk
diagnosa penderita pedophilia setidaknya berusia 16 tahun, dan
setidaknya 5 tahun lebih tua dibandingkan anak-anak yang menjadi
korbannya.
Masokisme Seksual ; melibatkan dorongan yang kuat,
berulang dan fantasi yang terkait dengan tindakan seksual yang
melibatkan perasaan dipermalukan, diikat, dicambuk, atau dibuat
menderita dalam bentuk lainnya. Hal ini didasari distress personal dan
bertujuan untuk mencapai kepuasan seksual. Ekspresi masokisme yang
paling berbahaya adalah hipoksifilia, dimana seseorang
terangsang secara seksual dengan mengurangi konsumsi oksigennya. Orang
yang melakukan aktivitas ini biasanya menghentikannya sebelum mereka
kehilangan kesadaran, tetapi terkadang mengakibatkan kematian karena
kehabisan napas, yang juga terjadi karena salah perhitungan.
Sadisme Seksual ; melibatkan dorongan yang kuat,
berulang serta fantasi yang terkait dengan melakukan tindakan dimana
seseorang dapat terangsang secara seksual dengan menyebabkan penderitaan
fisik atau rasa malu pada orang lain. Mereka mungkin mencari pasangan
yang masokistis atau pekerja seks. Banyak orang yang memilki fantasi
yang sadistik atau masokistik pada masa-masa tertentu atau melakukan
permainan seks yang melibatkan simulasi atau bentuk ringan sadomasokisme
dengan pasangan mereka. Sadomasokisme menggambarkan interaksi seksual
yang secara mutual memuaskan yang melibatkan tindakan sadistik atau
maskistis.
Paraphilia Yang Lain ; Ada banyak paraphilia yang lain, termasuk berbuat cabul di telepon, necrophilia (desakan seksual atau fantasi yang berkaitan dengan kontak seksual dengan mayat), partialisme (terfokus pada satu bagian tubuh), zoophilia (kontak seksual dengan binatang), coprophilia (rangsangan seksual yang berhubungan dengan feses), obat pencahar (klismophilia) dan urine (urophilia).
Beberapa Persepktif Teoritis mengenai gangguan seksual adalah sebagai berikut :
1) Teori Psikodinamis ; bahwa
paraphilia sebagai pertahanan melawan kecemasan kastrasi dari periode
Oedipus. Mereka berpikir bahwa penis mereka akan dikastrasi. Pria yang
terjangkit paraphilia kemungkinan menghindari ancaman dari kecemasan
kastrasi dengan memindahkan rangsangan seksual pada aktivitas yang lebih
aman. Dengan melindungi penisnya di dalam pakaian wanita, pria dengan
fetishistik transvestik melakukan tindakan simbolis dari pengingkaran
bahwa wanita tidak memiliki penis, yang kemudian dapat mengurangi
kecemasan kastrasi dengan secara tidak sadar memberikan bukti atas
keselamatan wanita. Pandangan ini masih spekulatif dan kontroversial
karena belum ada cukup bukti langsung yang menunjukkan bahwa pria dengan
paraphilia memiliki hambatan dalam mengatasi kecemasan akan kastrasi.
2) Teori Belajar ; bahwa
paraphilia sebagai bagian dari pembelajaran, pengkondisian dan
observasi. Beberapa objek atau aktivitas yang secara tidak sengaja
dihubungkan dengan rangsangan seksual kemudian mendapatkan kapasitas
untuk menimbulkan rangsangan seksual. Fetishisme
dapat pula terjadi pada masa kanak-kanak awal. Reinisch (1990) menduga
bahwa kesadaran akan rangsangan seksual atau respon seksual seperti
ereksi yang pertama kali dihubungkan dengan celana karet atau popok
sehingga tercipta hubungan antara keduanya, menandakan suatu tahap
perkembangan fetishisme.
Paraphilia juga melibatkan faktor biologis, psikologis, dan
sosiokultural. Money dan Lamacz (1990) mengembangkan hipotesis model
multifaktorial yang melacak perkembangan paraphilia pada masa
kanak-kanak, menurut mereka sebaiknya anak-anak memilki pola tertentu
atau love map, yang seperti software di otak yang menerjemahkan
bentuk-bentuk rangsang dan perilaku yang menjadi rangsangan seksual
seseorang. pada kasus paraphilia, love map menjadi vandalis dan pengalaman trauma awal, seperti incest,
gangguan fisik, atau kelalaian dan pelanggaran kekerasan anti seksual
pada anak. Tidak semua anak pada akhirnya mengembangkan paraphilia. Dan
tidak semua orang dengan pengalaman traumatik, mungkin beberapa anak
dapat lebih cepat untuk mengembangkan perubahan love map daripada yang lainnya. Penanganan Parafilia yang disarankan yaitu :
Tokoh psikoanalisis mencoba memecahkan masalah Oedipus Complex
pada anak-anak dengan cara menyadarkan pada kepibadian orang dewasa,
namun penelitian ini kurang mendukung penerapan psikodinamika pada
paraphilia.
Ahli terapi perilaku menggunakan kondisi keengganan (aversive)
untuk menimbulkan reaksi emosional negatif pada stimulus perangsang
paraphilik atau fantasi-fantasi. Pada kondisi aversif, stimulus yang
menimbulkan rangsangan seksual seperti kejutan listrik, dengan tujuan
stimulus tersebut akan memperoleh sifat-sifat keengganan (aversif).
Sensitivisasi (pemekaan) yang tersembunyi merupakan variasi dari kondisi
aversif yang merupakan gabungan dari stimulus aversif dan masalah
perilaku yang terjadi dalam imaginasi. Sensitivisasi yang tersembunyi
adalah bentuk yang paling umum dari terapi aversif dan ini digunakan
untuk merawat para pelaku penyimpangan seks di Amerika. Pada sebuah
aplikasi dalam skala besar, Maletzky (1980) menggunakan sensitifisasi
tersembunyi pada perawatan 8 kasus pedophilia dan 62 kasus
ekshibisionisme. Beberapa hasil yang dilaporkan pada penggunaan
anti-depresan Prozac dalam perawatan voyeurisme dan fetishisme. Prozac
telah digunakan secara efektif pada perawatan gangguan
obsesif-kompulsif. Para peneliti mempertimbangkan bahwa paraphilia
mungkin termasuk dalam spektrum obsesif kompulsif.
Pada umumnya penderita mempunyai sifat dasar kekurangan kecakapan
sosial. Penderita perlu diikutsertakan dalam program terapi yang
mengajarkan kecakapan sosial serta empati pada lingkungan sekitarnya.
Program ini juga ditambah dengan terapi perilaku secara individual.
Terapi Farmakologi yang meliputi pemberian hormon wanita, anti
androgen dan obat-obatan golongan penghambat daur ulang serotonin yang
biasanya digunakan untuk mengobati penderita depresi. Hasil terapi ini
lebih kepada penurunan nafsu birahi dan lebih efektif digunakan pada
penderita parafilia yang bersifat hiperseks.
Perhatian masyarakat terhadap penderita menjadi faktor yang tidak
kalah pentingnya. Penderita hendaknya tidak dicemooh dan dikucilkan,
tetapi diberi pengarahan agar berusaha menghilangkan kebiasaan tidak
lazim yang dideritanya.
Disfungsi Seksual
Definisi disfungsi seksual dalam DSM-IV (2000) yaitu gangguan pada
dorongan seksual dan pada perubahan psikofisik dalam siklus respon
seksual yang dapat mengakibatkan kesulitan dalam hubungan interpersonal.
Siklus respon seksualnya antara lain :
Desire, yaitu adanya fantasi-fantasi seksual dan adanya keinginan untuk melakukan hubungan seksual.
Excitement, yaitu adanya gairah seksual yang diikuti dengan perubahan fisiologis.
Orgasmus, yaitu adanya kenikmatan puncak dalam hubungan seksual.
Resolusi, yaitu pengenduran/ relaksasi otot genital setelah terjadi orgasmus.
Faktor penyebab disfungsi seksual antara lain :
Kesalahan dalam belajar.
Perasaan takut, cemas, dan tidak memadai.
Masalah-masalah interpersonal contohnya : tidak ada kedekatan emosional terhadap pasangan.
Pengaruh sosial budaya.
Gangguan identitas gender.
Homoseksualitas, orientasi seksual terhadap jenis kelamin yang sama.
Dorongan seksual rendah.
Lemahnya otot-otot di sekitar perut dan alat kelamin.
Infeksi kulit yang diakibatkan karena terlalu lembabnya daerah genital akibat pakaian dalam yang terlalu ketat.
Kerusakan struktur dan fungsi organ genital.
Jenis-jenis disfungsi seksual
Sexual Desire Disorder, meliputi gangguan gairah seks hipoaktif dan gangguan seks aversif.
Sexual Arousal Disorder, meliputi ketidakmampuan
untuk mencapai atau mempertahankan respon-respon psikologis yang
meliputi rangsangan atau kenikmatan seks yang diperlukan untuk
melengkapi aktivitas seksual.
Gangguan Orgasmus, mengacu pada penundaan secara
terus menerus mencapai orgasmus atau tidak mengalami orgasmus seperti
pada fase normal dalam kenikmatan seksual.
Gangguan Nyeri Seksual
1) Dyspareunia dikaitkan
dengan rasa sakit yang menetap dan berulang pada daerah genital pada
saat melakukan hubungan seksual dan bukan disebabkan kurangnya lubrikasi
vagina.
2) Vaginismus adalah kejang otot di sekitar vagina ketika penetrasi vagina, sehingga intercourse tidak mungkin dilakukan.
Penanganan disfungsi seksual yaitu :
Pengurangan kecemasan.
Masturbasi terarah.
Pelatihan keterampilan dan komunikasi.
Terapi pasangan.
Prosedur medis dan fisik.
Melakukan latihan-latihan fisik yang bertujuan mengencangkan otot-otot di sekitar perut dan alat kelamin.
Pemeriksaan medis yang teratur.
Pendidikan seks.
Kuliah VII :
MOOD DISORDER DAN SUICIDE (BUNUH DIRI)
1) Mood DISORDER
Mood adalah kondisi perasaan yang selalu ada dalam memberikan corak
kehidupan psikologis individu. Perasaan sedih atau depresi bukanlah hal
yang abnormal dalam konteks peristiwa atau situasi yang penuh tekanan.
Namun, orang dengan gangguan mood mengalami kendala mood yang luar biasa
parah, atau bisa berlangsung lama, serta mengganggu kemampuan individu
untuk berfungsi memenuhi tanggung jawab secara normal. Gangguan Mood
adalah gangguan pada mood yang berlangsung sangat lama, tidak seperti
biasanya, atau parah, serta cukup serius sehingga menghambat fungsi
individu sehari-harinya. Terdapat beragam jenis gangguan mood, termasuk
gangguan depresi (unipolar), seperti gangguan depresi mayor, dan
gangguan distimik,dan gangguan yang melibatkan perubahan mood, seperti
gangguan bipolar dan gangguan siklotimik.
Gangguan Depresi Mayor
Pada depresi mayor, seseorang mengalami suatu perubahan yang mendasar
dalam mood yang menghambat kemampuanya untuk berfungsi sebagaimana
mestinya. Ada banyak ciri yang dihubungkan dengan gangguan depresi
mayor, termasuk kemampuan mood yang menurun, perubahan selera makan,
kendala dalam tidur, berkurangnya rasa bahagia pada aktivitas yang
sebelumnya dinikmati, perasaan lelah atau kehilangan energi, rasa tidak
berharga, rasa bersalah yang berlebihan atau yang tidak pada tempatnya,
kesulitan berkonsentrasi, berpikir secara jernih, atau kesulitan dalam
mengambil keputusan, pikiran berulang akan kematian atau bunuh diri,
percobaan bunuh diri, dan bahkan pula perilaku psikosis (halusinasi
maupun delusi).
Gangguan Distimik
Gangguan Distimik adalah suatu bentuk
depresi kronis yang lebih ringan dibandingkan gangguan depresi mayor.
Namun, tetap dapat diasosiasikan dengan penurunan pada fungsi
peran-peran sosial dan fungsi pekerjaannya.
Gangguan Bipolar
Pada gangguan bipolar, orang mengalami kondisi mood yang
berfluktuasi, dimana hal tersebut mengganggu kemampuannya dalam
berfungsi normal. Gangguan bipolar I diidentifikasikan dengan satu atau
lebih episode manik. Bipolar II dicirikan dengan munculnya paling
sedikit satu episode depresi mayor dan satu episode hipomanis, tapi
tanpa disertai episode manik yang penuh. Ciri-ciri dari suatu episode
manik antara lain :
Adanya peningkatan atau ekspansi secara tiba-tiba dari mood dan perasaan self-importance.
Perasaan memiliki energi yang hampir tak terbatas.
Hiperaktivitas.
Sosiabilitas yang ekstrem dimana sering kali dalam bentuk yang menuntut dan sangat mengatur.
Memperlihatkan pembicaraan yang penuh tekanan dan sangat cepat.
Menurunnya kebutuhan untuk tidur.
Gangguan Siklotimik
Gangguan Siklotimik
adalah sebuah tipe gangguan bipolar yang ditandai dengan suatu pola
yang kronis dari perubahan mood ringan yang kadang kala meningkat
menjadi gangguan bipolar. Pandangan teoretis mengenai gangguan mood
yaitu :
Hubungan Stress Terhadap Gangguan Mood
Deskripsi terhadap stress kehidupan berkaitan dengan suatu
peningkatan resiko dari perkembangan dan kambuhnya gangguan mood,
terutama depresi mayor. Namun, sejumlah orang memang lebih tangguh dalam
menghadapi stress. Hal ini mungkin karena faktor psikososial seperti
dukungan sosial dan pola coping individu yang berbeda-beda.
Teori Psikodinamis Mengkonsepkan Gangguan Mood
Dalam teori psikodinamis klasik, depresi dipandang sebagai bentuk
dari rasa marah yang diarahkan kedalam. Orang yang memegang kuat
perasaan ambivalen terhadap orang yang telah hilang, atau terancam akan
kehilangannya, dapat mengarahkan kemarahan yang belum terselesaikan
terhadap representasi didalam dari orang-orang yang mereka rasa telah
menyatu atau terintroyeksikan didalam diri mereka, menghasilkan
self-loathing, serta depresi. Dalam teori psikodinamika, gangguan
bipolar diasumsikan dalam bentuk keseimbangan yang berfluktuasi antara
ego dan superego. Psikodinamis yang lebih mutakhir seperti model
self-focusing, menggabungkan aspek-aspek psikodinamis dan kognitif untuk
menjelaskan depresi dalam kaitannya dengan mengejar objek cinta yang
hilang atau tujuan yang akan lebih adaptif bila direlakan.
Teori Humanistik Memandang Depresi
Teoretikus yang bekerja dalam kerangka kerja humanistik memandang
depresi sebagai refleksi dari kurangnya arti dan autentisitas dalam
kehidupan seseorang.
Teori Belajar Memandang Depresi
Pandangan belajar berfokus pada faktor-faktor situasional dalam
menjelaskan depresi , seperti perubahan-perubahan dalam tingkat
reinforcement. Saat reinforcement berkurang, orang akan merasa tidak
termotivasi dan depresi, yang dapat menyebabkan ketidakaktifan, akhirnya
semakin mengurangi kesempatan untuk mendapat reinforcement. Teori
interaksi dari Coyne berfokus pada interaksi keluarga yang negatif dapat
menyebabkan anggota keluarga dari orang-orang yang mengalami depresi
mengurangi pemberian reinforcement kepadanya.
Teori Kognitif Memandang Depresi
Pendekatan Kognitif Beck berfokus pada peran berpikir yang negatif
atau terdistorsi dalam depresi. Orang yang rentan mengalami depresi
memegang keyakinan yang negatif terhadap dirinya sendiri, lingkungan,
dan masa depannya. Segitiga kognitif dari depresi ini menghasilkan
kesalahan tertentu dalam berpikir atau distorsi kognitif, dalam berespon
pada peristiwa negatif, yang akhirnya dapat menyebabkan depresi.
Pendekatan ketidakberdayaan yang dipelajari didasarkan pada keyakinan
bahwa orang dapat menjadi depresi, jika mereka memandang dirinya sendiri
tidak berdaya dalam mengontrol reinforcement yang ada pada
lingkungannya, atau dalam mengubah kehidupannya menjadi lebih baik.
Faktor -Faktor Biologis Dalam Gangguan Mood
Faktor biologis juga memegang peran penting dalam gangguan mood,
terutama dalam menjelaskan gangguan depresi mayor dan gangguan bipolar.
Ketidakseimbangan dalam aktivitas neurotransmiter dalam otak tampak
terlibat dalam depresi dan maniak. Model-model diatesis-stress digunakan
untuk mengasumsikan bahwa diatesis biologis atau psikologis bisa
berinteraksi dengan stress dalam perkembangan depresi tersebut.
Penanganan terapis psikodinamis terhadap depresi secara tradisional
berfokus membantu orang depresi untuk menggali perasaan ambivalennya
terhadap objek yang hilang. Hal ini bertujuan untuk mereduksi kemarahan
yang diarahkan kedalam. Pendekatan psikodinamis modern cenderung lebih
berfokus pada pengembangan cara-cara yang lebih adaptif dalam mencapai self-worth
dan menyelesaikan konflik-konflik interpersonal. Pendekatan teoretikus
belajar berfokus dalam membantu orang depresi dalam meningkatkan
frekuensi reinforcement pada kehidupannya melalui cara-cara seperti
meningkatkan jumlah aktivitas menyenangkan, dimana mereka berpartisipasi
dan membimbing mereka dalam mengembangkan ketrampilan sosial yang lebih
efektif dalam meningkatkan kemampuannya untuk memperoleh reinforcement
sosial dari orang lain. Terapis kognitif berfokus membentu orang
depresi untuk mengidentifikasikan, memperbaiki pikiran-pikiran yang
terdistorsi serta disfungsional, dan mempelajari lebih banyak perilaku
yang adaptif. Pendekatan biologis berfokus pada penggunaan obat-obatan
antidepresan dan pengobatan biologis lainnya, seperti terapi
elektrokonvulsif (ECT). Obat-obatan anti depresan dapat menormalkan
fungsi neurotransmiter pada otak. Gangguan bipolar biasanya diobati
dengan litium.
2) SUICIDE (BUNUH DIRI)
Gangguan mood sering dihubungkan dengan bunuh diri.
Meskipun wanita lebih cenderung untuk mencoba bunuh diri, tetapi
faktanya lebih banyak laki-laki yang berhasil, mungkin karena mereka
memilih cara yang lebih mematikan. Orang lanjut usia lebih cenderung
untuk melakukan bunuh diri, dan angka bunuh diri di antara orang lanjut
usia tampaknya meningkat. Orang yang mencoba bunuh diri sering kali
depresi, tapi mereka secara umum masih memiliki kontak dengan realitas.
Mereka mungkin kurang memiliki keterampilan pemecahan masalah yang
efektif dan merasa tidak ada alternatif lain untuk menghadapi stress
kehidupan selain bunuh diri. Suatu perasaan tidak berdaya tergambarkan
juga secara mencolok pada kasus-kasus bunuh diri. Pendekatan
Psikodinamika klasik tentang kemarahan yang diarahkan kedalam, teori
Durkeim tentang aliensi sosial, serta pandangan yang berdasarkan
belajar, sosial kognitif, dan biologis diharapkan dapat menjelaskan
fenomena suicide tersebut. Alasan seseorang untuk melakukan
tindakan bunuh diri sesungguhnya dijelaskan sebagai berikut dalam
beberapa perspektif :
ü Orang yang mempertimbangkan bunuh diri pada saat stress
kemungkinan kurang memiliki ketreampilan dalam memecahkan masalah serta
kurang dapat menemukan alternatif cara untuk coping terhadap stressor.
ü Psikodinamika : pengalihan ke dalam dari rasa marah terhadap representasi internal atas obyek cinta yang hilang.
ü Teoritikus Belajar : kurangnya ketrampilan pemecahan masalah menangani tekanan yang berat
ü Teoritikus Sosial Kognitif : termotivasi dari harapan positif dan legitimasi dari bunuh diri, serta faktor modeling.
ü Faktor Biologis : penurunan aktivitas serotonin (penghambat sistem syaraf), dan adanya disposisi genetis
ü Akibat depresi, schizophrenia, penyalahgunaan alkohol dan zat.
Meskipun tidak semua orang yang mengancam akan bunuh diri akan
meneruskan tindakannya, banyak juga yang melakukannya. Orang yang bunuh
diri sering kali memberikan tanda dari niatnya seperti dengan mengatakan
pada orang lain mengenai pikiran-pikiran dan keinginannya untuk bunuh
diri.
Kuliah VIII :
PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN ZAT
Penggolongan Gangguan Yang Berkaitan Dengan Zat
DSM-VI menggolongkan gangguan yang berkaitan dengan zat kedalam dua kategori besar, yaitu :
1) Gangguan Penggunaan Zat (Substance Disorders)
Penggunaan maladaptif dari zat psikoaktif, meliputi penyalahagunaan zat dan ketergantungan zat.
2) Gangguan Akibat Penggunaan Zat (substance-incluced disorders)
Adalah gangguan yang muncul karena penggunaan zat psikoaktif seperti
intoksikasi (mabuk), putus zat, gangguan mood, derilium, dimensia,
amnesia, gangguan psikotik, gangguan kecemasan, disfungsi seksual dan
tidur. Menurut DSM penyalahgunaan zat melibatkan pola penggunaan
berulang yang menghasilkan konsekuensi merusak. Penyalahgunaan zat dapat
berlangsung untuk jangka waktu yang panjang atau meningkat menjadi
ketergantungan zat (substance dependence). Tipe gangguan
pengunaan obat yang lebih parah dimana penggunaan diasosiakn dengan
tanda-tanda fisiologis ketergantungan (toleransi atau gejala putus zat)
atau penggunaan kompulsif dari suatu zat. Pengunaan
berulang dari zat dapat mengubah reaksi fisiologis tubuh, dan
menyebabkan perkembangan toleransi atau gejala putus zat secara fisik.
Toleransi (tolerance) adalah kondisi habituasi fisik terhadap suatu obat
sehingga dalam penggunaan obat yang sering akan membutuhkan dosis yang
lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama. Sindrom putus zat
(withdrawal syndrome yang juga disebut sindrome abstinensi) mencakup
sekelompok karakteristik gejala putus zat yang terjadi saat orang
tergantung secara mendadak menghentikan pengunaan zat tertentu setelah
periode penggunaan yang berat dan berkepanjangan. Orang yang mengalami
gejala putus zat sering kali kembali menggunakan zat untuk menghilangkan
rasa tidak nyaman akibat putus zat, yang membuat pola adiksi menetap. Pada
beberapa kasus alkoholisme kronis, putus zat menyebabkan kondisi
delirium tremens atau DTs. DTs mencakup hiperaktivitas yang intens
secara tidak disadari dan derilium (kondisi kekacauan mental dicirikan
dengan pembicaraan yang inkoheren, disorientasi, serta kegelisahan yang
ekstrem).
Adiksi (addiction) sebagai penggunaan habitual dan kompulsif atau
dari suatu obat diikuti dengan bukti ketergantungan fisiologis.
Ketergantungan fisiologis (psysiological dependence) berarti bahwa tubuh
seseorang telah berubah sedemikian rupa sebagai hasil dari penggunaan
obat-obatan psikoaktif secara teratur sehingga tubuh menjadi tergantung
pada pasokan zat yang stabil. Tanda-tanda utama dari ketergantungan
fisiologis mencakup perkembangan toleransi dan atau sindrom abstinensi.
Ketergantungan psikologis (psychological depende) mencakup penggunaan
obat-obatan secara kompulsif dalam memenuhi kebutuhan psikologis seperti
tergantung pada obat untuk mengatasi stress. National Comorbidity Survey (NSC)
menunjukan bahwa ketergantungan obat sebenarnya kurang umum pada orang
kulit putih Amerika non-Hispanik dan tidak lebih banyak pada orang
Hispanik Amerika daripada kulit putih Amerika no-nHispanik.
Obat yang PERsalahgunakan
- 1. Depresan
Adalah obat yang menghambat atau mengekang aktivitas sistem saraf
pusat. Obat tersebut mengurangi perasaan tegang dan cemas, menyebabkan
gerakan kita menjadi lebih lambat, dan merusak proses kognitif kita.
Penggunaan dalam dosis tinggi dapat menahan fungsi vital dan menyebabkan
kematian. Macam-macam zat depresan, yaitu : Alkanol, Barbiturate, Opioid, Morfin, Heroin.
- 2. Stimulan
Stimulan adalah zat psikoaktif yang meningkatkan aktivitas sistem saraf. Stimulan dapat menyebabkan perasaan euforia dan self-confidence. Macam-macam zat stimulant, yaitu : amfetamin, ekstasi, kokain, nikotin.
- 3. Halusinogen
Halusinogen yang juga dikenal sebagai psychedelics
yaitu golongan obat yang menghasilkan distorsi sensori atau halusinasi,
termasuk perbuatan perubahan besar dalam persepsi warna dan
pendengaran. Halusinogen dapat juga memiliki efek seperti relaksasi dan
euforia, atau pada beberapa kasus menyebabkan kepanikan. Macam-macam zat
halusinogen, yaitu : Lysergic acid diethylamide (LSD), obat halusinogen sintesis, Phencyclidine (PCP), Mariyuana.
Perspektif Teoretis
1) Perspektif Biologis
Berfokus pada neurotransmitter terutama dopamin dan faktor genetis.
Obat seperti nikotin, alkohol, amfetamin, dan sejenisnya dapat
menyebabkan dampak menyenangkan dengan meningkatkan dopamin dalam
sirkuitkenikmatan atau reward pada otak. Peneliti menduga penggunaan
kronis obat mengurangi jumlah reseptor pada neuron penerima dimana
dopamin berada. Hal itu juga mengurangi kemampuan otak dalam memproduksi
dopamin sendiri. Sebagai akibatnya, kemampuan untuk merasa nikmat dari
aktivitas hidup sehari-hari menurun. Pengguna obat kronis menjadi
tergantung pada obat untuk memproduksi perasaan nikmat yang tidak lagi
mampu diproduksi sendiri oleh otak. Selain itu, peneliti juga menduga
bahwa seretonin juga mengaktivasi sirkuit kenikmatan atau reward dalam
merespon kokain, alkanol, dan sejenisnya. Ada bukti yang menghubungkan
faktor genetis dengan berbagai bentuk penggunaan dan penyalahgunaan zat,
termasuk alkoholisme, adiksi opiat, dan bahkan merokok. Alkoholisme
cenderung menurun dalam keluarga.
2) Perspektif Belajar
Teoretikus belajar menyatakan bahwa perilaku yang berhubungan dengan
zat sebagian besar dipelajari dan pada prinsipnya dapat dikembalikan
kebentuk sebelumnya. Mereka berfokus pada peran operant conditioning dan classical condotioning serta belajar observasional.
Pada awalnya orang menggunakan obat dapat dipengaruhi oleh pengaruh
sosial, trial error (coba-coba), atau pengamatan sosial. Adanya
penguatan atau reinforcement positif seperti perasaan terbebas emosi
negatif menjadikan seseorang kembali mengunakan obat tersebut.
Reinforcement negatif seperti gejala putus obat uga dapat menyebebkan
seseorang kembali menggunakan obat untuk mengurangi rasa sakit itu. Classical condisioning
dapat membantu menjelaskan ketagihan obat yang dialami oleh orang
dengan ketergantungan obat. Ketagihan obat memiliki dasar biologis,
menggambarkan kebutuhan tubuh untuk memuluhkan tingkat zat adiktif.
Namun, ketagihan juga dapat dipicu cue lingkungan yang dihubungkan dengan penggunaan zat sebelumnya. Cue
yang berhubungan dengan obat seperti mencium aroma minuman beralkohol
dapat menjadi stimulus terkondisi (CS) yang membangkitkan respons
terkondisi (CR) dalam bentuk kegiatan yang kuat atau ketagihan obat.
Peran belajar melalui modelling dan observasional
meningkatkan resiko masalah penyalahgunaan zat pada remaja dalam
keluarga dengan riwayat penyalahgunaan atau ketergantungan zat. Sebagai
contoh, orang tua yang menjadi model dalam hal minum-minum yang tidak
tepat dapat mengakomodasi penggunaan dan penyalahgunaan alkanol pada
anak-anak mereka.
3) Perspektif Kognitif
Keyakinan dan harapan yang dipegang sehubungan dengan efek alkohol
dan obat lain jelas mempengaruhi pilihan anda untuk menggunakan zat
tersebut atau tidak. Misalnya : ekspektasi positif pada alkanol adalah
bahwa alkanol mengurangi ketegangan, membantu mengalihkan perhatian
seseorang dari masalahnya, meningkatkan kenikmatan, mengurangi
kecemasan, pada situasi sosial dan membuat seseorang lebih terampil
dalam keterampilan sosial serta kemampuan alkanol untuk meningkatkan self efficacy.
Menurut model penyakit atas alkoholisme, orang yang sudah berhenti
minum kemudian menjadi minum berlebihan setelah satu gelas melakukan hal
tersebut sebagian besar karena alasan biokimiawi. Riset laboratorium
oleh Marlatt dan koleganya menyatakan kecenderungan orang dengan
alkoholisme untuk minum berlebih setelah minuman pertama merupakan self fulfilling perophecy bukan ketagihan.
4) Perspektif Psikodinamika
Menurut teoretikus psikodinamika klasik, alkoholisme mencerminkan
ciri tertentu dari apa yang disebut kepribadian tergantung oral (oral dependent personality).
Alkoholisme merupakan sebuah pola perilaku oral. Teoritekus
psikodinamika juga memandang merokok sebagai suatu bentuk fiksasi oral.
5) Perspektif Sosiokultural
Perilaku minum ditentukan sebagian oleh dimana kita tinggal, siapa
yang kita hormati, dan norma sosial atau kultural yang mengatur perilaku
kita. Sikap kultural dapat mendorong atau menekan masalah minum.
Penggunaan obat oleh teman sebaya dan pengaruh teman sebaya untuk
menggunakan obat, merupakan pengaruh penting dalam menentukan penggunaan
alkanol dan obat dikalangan remaja.
6) Perspektif Eklektis
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat dalam pandangan ini merupakan
pola perilaku yang rumit yang melibatkan faktor biologis, psikologis,
dan lingkungan. Masalah penyalahgunaan dan ketergantungan zat paling
baik didekati dengan meneliti susunan faktor yang berbeda dan
diterapkan pada masing-masing kasus individual. Tidak ada model tunggal
atau sekelompok faktor yang akan menjelaskan setiap kasus.
Penanganan Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat
1) Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis pada gangguan penyalahgunaan zat termasuk
detoksifikasi, penggunaan obat seperti disulfiram, metadon, nalokson,
naltrekson, dan anti depresan ; dan terapi penggatian nikotin.
2) Penanganan Peka Budaya Untuk Alkoholisme
Contoh penanganannya adalah dengan penggunaan konselor dari kelomppok
etnis klien sendiri. Program yang peka secara budaya memperhatikan
semua sisi kehidupan manusia termasuk identitas ras dan budaya, yang
meghargai kebanggaan etnis dan membantu orang bertahan godaan untuk
mengatasi tekanan dengan bahan kimia. Penyedia penanganan juga dapat
lebih berhasil, jika mereka mengetahui dan melibatkan teknik penyembuhan
asli setempat dalam proses penanganan.
3) Kelompok Pendukung Nonprofesional
Masalah penyalahgunaan zat sering ditangani oleh orang awam atau
nonprofesional. Orang seperti itu sering atau pernah memiliki masalah
yang sama. Kelompok ini menyerukan abstinensi dan memberi kesempatan
bagi anggotanya untuk mendiskusikan perasaan dan pengalaman mereka dalam
lingkup kelompok pendukung. Sebagai contoh pertemuan self-help
yang disponsori oleh organisasi Alcoholic Anonymous, Narcotic
Anonymous, dan Cocain Anonymous. Anonymous didasari pada keyakinan bahwa
alkoholisme adalah penyakit bukan dosa dan pengalaman didalamnya
sebagian adalah spiritual.
4) Pendekatan Residental
Pendekatan ini merupakan penangan dengan melibatkan perawatan di
rumah sakit atau tempat terapi. Sejumlah komunitas terapeutik
residensial juga digunakan. Mereka berbagi pengalaman hidup untuk saling
membantu mengembangkan cara yang lebih produktif untuk mengatasi
stress.
5) Pendekatan Psikodinamika
Psikodinamika memandang penyalahgunaan dan ketergantungan zat sebagai
tanda-tanda terjadinya konflik yang berakar pada pengalaman masa kecil.
Diasumsikan bahwa jika konflik yang mendasar diatasi, penyalahgunaan
juga akan digantikan oleh bentuk yang lebih matang dari pemenuhan
kebutuhan yang dicari.
6) Pendekatan Behavioral
Behavioris menekankan pada modifikasi pola perilaku penyalahgunaan, dependent, dan masalah apakah penyalahguna dapat belajar untuk mengubah perilaku mereka ketika dihadapkan dengan godaan. Strategi self-control,
suatu pelatihan self-control berfokus pada membantu penyalahguna
mengembangkan keterampilan yang dapat mereka gunakan untuk mengubah
perilaku mereka. Terapis perilaku menekankan pada tiga komponen :
a) Isyarat Anteseden, atau stimuli (A) yang memicu penyalahgunaan.
b) Perilaku Penyalahgunaan (B) itu sendiri.
c) Konsekuensi hukuman atau penguatan (C) yang mempertahankan atau mencegah penyalahgunaan.
Aversive Condisioning, stimulus menyakitkan
atau yang menolak (aversive) dipasangkan dengan penyalahgunaan zat atau
stimulus yang berhubungan dengan penyalahgunaan untuk membuat
penyalahgunaan kurang menarik. Pelatihan Keterampilan Sosial
dapat membantu orang untuk mengembangkan respon interpersonal yang
efeektif dalam situasi sosial yang memicu penyalahgunaan zat. Terapi Perkawinan Behavioral
memperbaiki komunikasi dalam perkawinan dan keterampilan dalam
meyelesaikan masalah untuk membebaskan stress rumah tangga yang dapat
menjadi pemicu penyalahgunaan.
7) Pelatihan Pencegahan Kambuh
Karena adanya prevalensi kambuh, para terapi beraliran behavioral
mendesain sejumlah metode yang disebut pelatihan pencegahan kambuh (relapse prevention training).
Pelatihan semacam ini membantu orang dengan masalah penyalahgunaan zat
mengatasi situasi beresiko tinggi dan mencegah mereka tergelincir untuk
menjadi kambuh total. Pelatihan pencegahan kambuh merupakan teknik
kognitif behavioral yang berfokus pada interpretasi seseorang akan
kemungkinan kambuh. Klien diajari untuk menghindari apa yang disebut
efek pelanggaran abstinensi (abstinence violation effect), kecenderungan untuk berlebihan setelah penggunaan kembali dengan belajar mengatur kembali pikiran mereka tentang hal itu.
Kuliah IX :
Skizofrenia dan Gangguan Psikotik Lainnya
Nama awal dari gangguan ini adalah dementia praecox
yang dikemukakan oleh Emil Kraepelin, lalu kemudian dinamakan
skizofrenia oleh Eugen Bleuler. Skizofrenia dicirikan dengan waham atau
delusi, halusinasi, pikiran yang tidak logis, pembicaraan yang tidak
koheren, dan perilaku yang aneh. Selain itu, penderita skizofrenia
mungkin memiliki emosi dan perasaan hanya saja mereka kehilangan dan
tidak mampu untuk merealisasikannya dalam bentuk respon emosional yang
tepat. Perbedaan penderita skizofrenia dengan penderita kepribadian
ganda yaitu sebagai berikut :
Penderita skizofrenia mengalami perpecahan dalam fungsi kognisi,
afeksi, dan psikomotornya, karena pecahnya fungsi otak tersebut
menimbulkan respon yang inkoheren dan ketidakmampuan dalam
mengintegrasikan fungsi psikisnya.
Pada penderita kepribadian ganda, mengalami pecahnya fungsi
kepribadian. Meskipun kepribadian penderitanya mengalami perpecahan
menjadi lebih dari satu, tetapi kepribadian-kepribadian tersebut
mesing-masing masih menunjukkan integritas kepribadian dalam fungsi
afeksi, kognisi, dan psikomotornya.
Eugen Bleuler mengajukan empat simtom primer penderita skizofrenia, yaitu :
Hubungan asosiatif antarpikiran mengalami gangguan.
Afeknya menjadi datar atau tidak sesuai.
Penderita skizofrenia mengalami ambivalensi perasaan terhadap orang lain.
Sedangkan menurut Kurt Schneider, diagnosis skizofrenia dicirikan dengan adanya :
Simtom peringkat utama, yaitu waham dan halusinasi.
Simtom peringkat kedua, misalnya gangguan mood.
Menurut DSM-IV (APA, 2000) diagnosis skizofrenia dicirikan sebagai berikut :
Kondisi-kondisi yaitu waham, halusinasi, inkoherensitas pembicaraan,
katatonik, dan gangguan afek secara signifikan muncul selama minimal
sebulan.
Fungsi pada bidang-bidang seperti hubungan sosial, pekerjaan, atau
perawatan diri selama perjalanan penyakit secara nyata berada di bawah
tingkatan yang dapat dicapai sebelum munculnya gangguan. Apabila
gangguan muncul pada masa kanak-kanak atau remaja, terdapat suatu
kegagalan dalam mencapai tingkat perkembangan sosial yang seharusnya.
Tanda-tanda gangguan nyata terjadi secara kontinuitas selama
setidaknya 6 bulan, dan selama itu harus mencapai fase aktif setidaknya
sebulan dimana tierjadi simtom waham, halusinasi, inkoherensitas
pembicaraan, katatonik, dan gangguan afek.
Gangguan bukan karena penggunaan zat-zat tertentu.
Ada beberapa bentuk-bentuk gangguan psikotik lainnya, yaitu :
1) Gangguan Psikotik Singkat, berlangsung satu hingga satu bulan
dan ditandai dengan minimal satu ciri yaitu halusinasi, waham,
inkoherensitatif pembicaraan dan perilaku, dan katatonik.
2) Gangguan Skizofreniform, yang identik dengan skizofrenia,
dikategorikan setelah simtom muncul minimal sebulan dan maksimal 6
bulan. Sedangkan skizofrenia dikategorikan setelah simtom minimal 6
bulan terjadi secara persisten.
3) Gangguan Delusi, yang diberikan pada seseorang yang mengalami
waham yang persisten dan jelas yang acapkali meliputi topik-topik
paranoid. Perilaku inidvidu tidak menunjukkan bukti adanya keanehan atau
keganjilan sebagaimana dalam skizofrenia. Hanya saja, pikiran
penderitanya menjadi kacau seperti penderita skizofrenia. Waham
terealisasi dalam persepsi, pikiran, dan dan kepercayaan. Ada 7 macam
gangguan delusi, yaitu :
ü Jenis Erotomanik, dimana delusinya yaitu bahwa orang dengan status sosial yang lebih tinggi jatuh cinta pada penderita.
ü Jenis Grandiose, dimana delusinya yaitu bahwa penderita memiliki
keyakinan bahwa dirinya mempunyai hubungan khusus dengan Tuhan atau
orang terkenal.
ü Jenis Cemburu, dimana delusinya yaitu bahwa kekasih atau pasangan hidupnya tidak setia pada dirinya.
ü Jenis Persekusi, dimana penderitanya mengalami delusi dengan
gambaran adanya konspirasi yang menentang dirinya, diikuti,
dimata-matai, dan sejenisnya.
ü Jenis Somatik, dimana delusinya yaitu bahwa dirinya yakin bahwa
dirinya mengalami sesuatu yang mal atau kerusakan, atau penyakit tanpa
adanya bukti yang riil.
4) Gangguan Spektrum Skizofrenia, yang meliputi gangguan yang
bervariasi tingkat keparahannya mulai dari skizoid hingga skizofrenia
itu sendiri. Salam satunya adalah skizoafektif yang ditandai dengan
pencampuran simtom termasuk ciri psikotik layaknya skizofrenia (waham
dan halusinasi), bersama dengan gangguan utama dari mood misalnya
depresi mayor.
Skizofrenia biasanya berkembang pada masa akhir remaja atau dewasa
awal (Cowan & Kandel, 2001; Harrop & Trower, 2001). Semaikin
lama penderita skizofrenia akan semakin terlepas dari lingkungan
sosialnya, karena gagal berfungsi sebagaimana peran mereka dalam
lingkungan sosialnya. Adanya hal ini menimbulkan pengurangan rasa
toleran pada penderita skizofrenia. Mereka semakin terkucilkan. Meskipun
munculnya pada akhir remaja atau dewasa awal, tetapi gejala awal
biasanya muncul pada usia ± 25 tahun (Keith, Regier, & Rae, 1991).
Mulanya gejala muncul dengan ditandai penurunan fungsi individu yang
mungkin butuh bertahun-tahun untuk memunculkan perilaku psikotiknya.
Periode ini disebut Fase Prodromal. Episode akut
yang mungkin saja terjadi secara berkala selama rentang hidup
penderita. Fase ini ditandai dengan adanya waham dan halusinasi.
Kemudian diantara epsiode yang akut tersebut ada Fase Residual dimana simtom yang muncul sama dengan simtom pada fase prodromal.
Mengenai kecenderungan antargender, antarkultur, dan antarusia dalam hal skizofrenia, berikut adalah gambaran umumnya :
Kecenderungan lebih tinggi pada lelaki, dibandingkan dengan perempuan.
Perempuan cenderung mengalaminya pada usia 25 – 30 tahun.
Laki-laki cenderung mengalaminya pada usia 15 – 25 tahun.
Perjalanan penyakitnya cenderung memprihatinkan lebih pada laki-laki. Mengapa ?. Dalam hal ini, dijelaskan berikutnya.
Dalam sejarah penyakitnya, kebudayaan timur lebih cenderung mengalami
halusinasi dan waham (Ndetei, & Vadher, 1984). Hal ini disebabkan
fakta bahwa budaya timur lebih menekankan pada perasaan dan olah rasa,
sedangkan budaya barat cenderung menekankan pada logika dan
rasionalitas. Waham dan halusinasi nampaknya lebih berhubungan dengan
budaya timur yang lebih mengarah pada olah perasaan ketimbang rasio dan
logika.
Beberapa ciri utama pada penderita skizofrenia yaitu bahwa ia mengalami :
Gangguan dalam pikiran dan pembicaraan yang tidak koherentif.
Gangguan pada isi pikiran yang mencakup waham dan halusinasi.
Gangguan dalam bentuk pikiran, dimana penderita skizofrenia cenderung
tidak logis. Selain itu, juga mencakup organisasi, pemrosesan,
kelonggaran dalam asosiasi, pikiran yang kacau balau, dan kendali
pikiran yang terganggu. Penderita skizofrenia dasarnya mengalami juga :
ü Neologisme, dimana ucapan mereka tidak dipahami orang lain.
ü Preseverasi, dimana pengulangan kata terjadi secara tidak sesuai.
ü Clanging, yaitu merangkaikan kata-kata berdasarkan irama atau rima verbal.
Ketidakmampuan dalam konsentrasi atau pemusatan perhatian. Hal ini
dikerenakan penderita skizofrenia mengalami kesulitan dalam hal
menyaring informasi stimulus yang tidak relevan dan yang relevan,
sehingga informasi yang tidak relevan menjadi pengganggu dalam pikiran
mereka, mungkin saja ini disebabkan kerusakan genetis mencakup kerusakan
pada otak (Grady, 1997a).
Gangguan gerakan bola mata. Hal ini dikarenakan kerusakan pada proses
involunter di otak yang berfungsi mengatur perhatian visual seseorang.
Masih diduga juga ini melibatkan peran gen dalam gangguan gerakan
penelusuran bola mata ini (Sweeney, dkk, 1994).
Kekurangan dalam Event-Related Potentials (ERP). Ini melibatkan
kerusakan pada pola aktivitas neurotransmitter dan pola gelombang pada
otak, dimana terjadi muatan sensoris yang berlebihan.
Gangguan Persepsi. Ini diasumsikan penyebabnya yaitu kerusakan pada
bagian otak tertentu yang saling terkait fungsinya (dalam hal
mempersepsikan) sehingga otak menciptakan realitasnya sendiri yang
berbeda.
Gangguan Emosi, dimana penderita skizofrenia memiliki afek yang tidak
sesuai ataupun datar terhadap stimulus luar dan internal. Terkadang
mereka tertawa disaat sedih. Hal ini bukan berarti mereka tidak mampu
merasakan emosi, melainkan mereka diasumsikan juga merasakan emosi itu,
hanya saja mereka kehilangan kemampuan dalam mengekspresikan afeknya.
Ini berkaitan dengan kerusakan pada sistem otak mungkin saja pada
korteks prefrontalisnya.
Hendaya Inisiatif, dan komunikasi interpersonal.
Hendaya pada perilaku yang sesuai.
Jenis-jenis skizofrenia dalam DSM-IV ada tiga tipe yaitu :
1) Tipe Disorganitatif. Tipe ini ditandai dengan perilaku yang
tak terorganisasi, waham yang aneh, dan respon yang kurang terhadap
lingkungannya. Mereka mungkin bergerak-gerak dan tertawa-tawa tanpa
alasan yang jelas. Jelas ini mengalami gangguan afek.
2) Tipe Katatonik. Tipe ini ditandai dengan gangguan pada
aktivitas motorik, seperti stupor katatonik. Mereka umumnya mengalami waxy flexibility yaitu statis pada posisi tertentu yang umumnya sukar dilakukan oleh orang normal. Hal ini bisa berlangsung berjam-jam.
3) Tipe Paranoid. Tipe ini ditandai dengan waham dan halusinasi
audiotoris yang sering terjadi. Perilaku mereka cenderung wajar dan
terlihat normal, gangguan terlihat pada reaksinya terhadap waham dan
halusinasi yang dialaminya.
Diatas sebelumnya telah penulis singgung ciri dan gangguan skizofrenia, dalam berikutnya akan dijelaskan pandangan berbagai point of view dalam memandang skizofrenia. Berikut adalah penjelasannya.
1) Teoretis Psikoanalisis.
Dalam pandangan ini, penderita skizofrenia dibanjiri dengan
dorongan-dorongan seksual primitif yang berasal dari id. Ini kemudian
berkembang menjadi konflik intrapsikis yang kuat. Kerusakan pada fungsi
ego disebabkan adanya konflk yang kuat ini, dan oleh karena rusaknya
fungsi ego ini realitas dunia dan diri mengalami putus hubungan sehatnya
dan menimbulkan waham dan halusinasi. Hubungan yang buruk antara ibu
dan anak mungkin mendorong penarikan diri anak dan permusuhan, kemudian
anak mengembangkan defense mechanismnya dengan
membentuk dunia fantasi pribadinya sendiri yang berbeda dengan
realitas. Pendekatan terapi psikodinamika Freudian terhadap pasien
skizofrenia mungkin dilakukan untuk membantu menemukan asal penyebab
gangguannya sehingga dapat dilakukan penanganan yang sesuai. Asosiasi bebas dapat dilakukan untuk menemukan penyebab gangguan skizofrenia tersebut.
2) Teoretis Biokimia.
Teoretis biokimia dan kedokteran mengasumsikan adanya gangguan pada
otak dan faktor genetika dalam menjelaskan gangguan ini. Skizofrenia
cenderung menurun dalam hubungan biologis atau keluarga. Prevalensi akan
semakin besar untuk mengidap gangguan ini jika seseorang semakin dekat
dalam hubungan genetis keturunan dengan penderita skizofrenia. Kembar
satu telur lebih memiliki prevalensi yang tinggi ketimbang kembar dua
telur (Onstad, dkk, 1991). Selain itu, juga berhubungan dengan usia
orang tua saat melakukan konsepsi berperan dalam kemunculan skizofrenia.
Prevalensi akan semakin besar dalam kondisi usia yang jauh lebih tua
saat melakukan konsepsi (Fertilisasi). Teori Dopamin menjelaskan pada penderita skizofrenia terjadi terlalu aktifnya reseptor dopamin yang terletak di postsynpatic neuron
dimana molekul dopamin terikat (Haber & Fudger, 1997). Secara
umum, bukti menjelaskan adanya ketidakteraturan pada jalur saraf di otak
yang memanfaatkan dopamin (Maedor-Woodruff, dkk, 1997).
Mengenai adanya infeksi virus tertentu dalam skizofrenia masihlah
bersifat dugaan sementara. Meskipun ini terbukti, penderita skizofrenia
hanya sedikit yang mendapatkan penyakitnya dari viru tersebut. Yang
pasti adanya kerusakan pada otak jelas mendukung asumsi skizofrenia.
Kerusakan otak ditemukan terjadi dengan pembesaran ventrikel di otak
yang menandai hilangnya jaringan otak tertentu pada korteks
prefrontalis. Asumsi lainnya yaitu terjadi infeksi virus pada masa
prenatal, nutrisi janin yang buruk, kerusakan genetis, trauma kelahiran,
berkurangnya aktivitas gelombang otak (ERP) pada korteks prefrontalis
yang mengatur proses berpikir dan pengaturan otak. Bagian inilah yang
juga mengatur fungsi kognitif dan emosional. Terapi yang diajukan
teoretis ini yaitu dengan menggunakan obat antipsikotik (neuroleptis)
yang bertujuan untuk menormalkan reseptor dopamin yang terlalu aktif
pada penderita skizofrenia, sehingga mengurangi tingkat aktivitas
dopamin (Kane, 1996). Konsekuensinya, Neoruleptis menghambat transmisi
berlebihan dari impuls-impuls neuron yang dapat meningkatkan perilaku
skizofrenia.
3) Teoretis Behaviorisme dan Belajar.
Perspektif teoretis perilaku keluarga menjelaskan ibu yang dingin,
angkuh, overprotektif, dan mendominasi memungkinkan menghilangkan
kepercayaan, melumpuhkan kemandirian dan memaksa ketergantungan anak
pada ibunya. Anak yang didik serupa ini memiliki kecenderungan yang
tinggi terkena gangguan skizofrenia, apalagi ditambah dengan ayah yang
tidak mampu menetralkan perilaku tersebut. Komunikasi double blind
dalam keluarga terutama antara ibu dan anaknya, rupanya berkontribusi
juga. Kondisi keluarga seperti ini dapat meningkatkan resiko tersebut.
Keluarga yang kaku dan pola ekspresi emosi yang tinggi dapat menjadi
sumber stress yang potensial. Terapi yang dapat dilakukan yaitu dengan
modifikasi perilaku agar mengembangkan perilaku yang efektf dalam
lingkungannya. Model terapinya yaitu :
Pemberian Reinforcement secara selektif terhadap perilaku tertentu yang diharapkan.
Pelatihan keterampilan sosial yang sesuai dengan prinsip belajar.
Pelatithan ini mencakup program yang membantu individu memperoleh
sejumlah keterampilan sosial dan vokasional. In dilakukan demi
menigkatkan fungsi adaptif individu (Hunter, Bedell, & Corrigan,
1997).
Penerapan Terapi Modelling.
Melakukan rehabilitasi sosial penderita skizofrenia. Hal ini
bertujuan agar penderita skizofrenia menemukan tempatnya di dalam
masyarakat.
4) Teoretis Model Diatesis-Stress.
Zubin dan Spring (1977) mengemukakan bahwa
skizofrenia sebagai interaksi atau kombinasi dari diatesis dalam bentuk
predisposisi genetis untuk berkembangnya gangguan, dengan stress
lingkungan yang melebihi ambang stress atau coping individu. Adanya
kombinasi antara genetis dan lingkungan dalam hal ini. Kerusakan
struktural pada otak meliputi gangguan neurotransmitters. Skizofrenia
cenderung berkembang pada masa remaja akhir atau dewasa awal ketika
individu mengalami tekanan yang berhubungan dengan tantangan
perkembangan yang berkaitan dengan pemerolehan kemandirian dan penemuan
sebuah peran dalam kehidupan. Stress psikososial mempeburuk simtom yang
ada sehingga meningkatkan resiko kambuhnya (King, & Dixon, 1997).
Faktor-faktor lingkungan tertentu misalnya pola asuh yang baik mempunyai
peran penting dalam hal mencegah perkembangan gangguan tersebut.
Intinya model ini menekankan bahwa kerentanan bawaan genetis skizofrenia
yang didukung oleh faktor stress potensial dari lingkungan sosialnya
dan faktor pelindung sosial yang rendah dapat menyokong perkembangan
gangguan skizofrenia. Terapi dapat dilakukan untuk mempertahankan
hubungan antara penderita gangguan skizofrenia dan lingkungannya.
Perlunya dukungan sosial sangat menyokong penyembuhan skizofrenia itu
sendiri. Inti terapinya yaitu mengatasi faktor stress potensial dan
menguatkan faktor pelindung potensialnya.
Kuliah X :
Personality Disorder
Kepribadian (Personality) merupakan keseluruhan dari emosi dan
perilaku yang relatif stabil dan dapat diramalkan. Penderita gangguan
kepribadian cenderung memiliki sifat Alloplastis (mengadaptasi dengan mengubah lingkungan eksternal) dan ego-syntonic yaitu menganggap apa yang terjadi pada individu tersebut sebagai sesuatu yang wajar atau lazim.
Klasifikasi Gangguan Kepribadian
Perilaku Kaku dan Eksentrik
Sulit berhubungan dengan orang lain dan menunjukkan sedikit atau
bahkan tidak tertarik untuk membangun hubungan sosial dengan orang lain.
1) Paranoid
Suatu kecenderungan menginterpretasikan perilaku orang lain sebagai sesuatu yang mengancam atau hendak menyakitinya.
2) Schizoid
Penyendiri dan eksentrik. Energi afektif sulit untuk disalurkan dalam
relasi sosial, tetapi lebih tertarik dengan non-human (matematika,
astronomi, hewan) atau segala sesuatu yang tidak memerlukan keterlibatan
pribadi.
3) Schizotypal
Schizotypal tidak mampu mengenali perasaan sendiri, tetapi sangat peka terhadap perasaan orang lain terutama afek negatif.
Perilaku Dramatis, Emosional Atau Perilaku Tidak Menentu
Pola perilaku dari gangguan ini adalah sesuatu yang berlebihan, tidak
dapat diprediksi atau self-centered serta sulit memulai dan membina
hubungan.
1) Antisosial
Kecenderungan untuk terus menerus melanggar hak-hak orang lain dan
hukum. Cenderung egosentris tidak jujur dengan sering berbohong,
menggunakan nama samaran, suka memanipulasi, tidak ada rasa empati, rasa
bersalah atau penyesalan. Iritabilitas dan agresif yang ditunjukkan
dengan perkelahian fisik atau penyerangan yang berulang dan tidak merasa
bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Pola psikologis kepribadian
ini antara lain :
a. Mempunyai daya tarik dan inteligensi yang kurang;
b. Tidak adanya kecemasan dalam situasi yang penuh tekanan;
c. Tidak tulus dan jujur;
d. Kurang mempunyai rasa penyesalan dan rasa malu;
e. Ketidakmampuan merasakan cinta atau emosi yang sesungguhnya;
f. Tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dipercaya;
g. Impulsif dan tidak menghargai perilaku yang diterima secara sosial;
h. Tidak terdapat delusi dan pikiran yang tidak rasional;
i. Ketidakmampuan untuk belajar dari pengalaman; dan
j. Tidak mempunyai insight.
2) Borderline (Kepribadian Ambang)
Borderline dicirikan dengan ketidakstabilan dalam bersosialisasi, self-image, mood
dan impulsif. Istilah borderline digunakan bagi individu yang
perilakunya berada pada garis batas antara neurosis dan psikosis. Ada
ambivalensi dalam bersikap, disatu sisi ada ketergantungan dengan
seseorang, tetapi juga memiliki rasa permusuhan.
3) Histrionik
Adanya emosi dan kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian yang berlebihan, cenderung self-centered
dan tidak dapat mentoleransi penundaan kesenangan. Penderita senang
mendramatisir kejadian untuk menarik perhatian lingkungan. Kebanyakan
penderita mengalami disfungsi seksual, anorgasmik pada perempuan dan
impotensi bagi laki-laki.
4) Narsisistik
Adalah gangguan kepribadian yang ditandai oleh self-image
yang membumbung serta tuntutan akan perhatian dan pemujaan. Orang dengan
gangguan ini memiliki rasa bangga atau keyakinan yang berlebihan
terhadap diri mereka sendiri dan kebutuhan yang ekstrem akan pemujaan.
Mereka bersifat self-absorbed dan kurang memiliki empati pada
orang lain. Orang dengan gangguan kepribadian ini cenderung terpaku pada
fantasi akan keberhasilan dan kekuasaan, cinta yang ideal, atau
pengakuan akan kecerdasan atau kecantikan.
Perilaku Kecemasan atau Ketakutan
Pola perilaku yang utama pada gangguan ini adalah adanya ketakutan dan kecemasan.
1) Avoidant Personality
Merupakan gangguan kepribadian yang dicirikab dengan penghindaran
terhadap hubungan sosial karena takut akan penolakan. Ketakutan yang
sangat terhadap penolakan dan kritik ini membuat mereka umumnya enggan
menjalani hubungan tanpa adanya kepastian akan penerimaaan. Penderita
menghindari aktifitas pekerjaan yang membutuhkan kontak interpersonal
karena takut adanya kritik dan penolakan, takut berbicara di depan umum,
sensitif terhadap komentar, memandang dirinya janggal secara sosial,
tidak menarik secara pribadi, dan underestimate terhadap dirinya sendiri atau dengan kata lain malu yang kronis.
2) Dependent Personality
Merupakan gangguan kepribadian yang ditandai oleh kesulitan dalam
membuat keputusan yang mandiri dan perilaku bergantung yang berlebihan.
Gangguan ini menggambarkan orang yang memiliki kebutuhan yang berlebihan
untuk diurus oleh orang lain yang menyebabkan mereka menjadi sangat
patuh dan tergantung dalam hubungan mereka serta sangat takut akan
perpisahan. Pola kepribadian ini biasanya menghindari tanggung jawab dan
cemas jika dijadikan pimpinan, pesimis, ragu-ragu dan pasif.
3) Obsessive Compulsive
Adalah gangguan kepribadian yang ditandai oleh cara berhubungan
dengan orang lain yang kaku, kecenderungan perfeksionis, kurangnya
spontanitas, dan perhatian yang berlebihan akan detail. Cirinya meliputi
derajat keteraturan yang berlebihan, perbuatan yang melampaui batas,
perfeksionis/ kesempurnaan, kekakuan, kesulitan melakukan coping dengan
ketidakpastian/ keadaan ambigu, kesulitan mengekspresikan perasaan dan
mendetail dalam kebiasaan kerja, sehingga umumnya tidak dapat
menyelesaikan segala sesuatu tepat waktu.
Gangguan yang Tidak Ditentukan
Kategori ini untuk gangguan fungsi kepribadian yang tidak memenuhi
kriteria untuk gangguan spesifik, misalkan adanya ciri-ciri lebih dari
satu gangguan kepribadian spesifik yang tidak memenuhi kriteria lengkap
untuk salah satu gangguan kepribadian.
SUDUT PANDANG TEORETIS
Perspektif Psikodinamika
Teori Freudian berfokus pada konflik Oedipal yang tidak terselesaikan
dalam menjelaskan perkembangan kepribadian normal dan abnormal.
Teoretikus psikodinamika terkini berfokus pada periode pra-Oedipal
dalam menjelaskan perkembangan dari gangguan kepribadian seperti
kepribadian narsisistik dan ambang. Bagi Kohut, kegagalan untuk merubah
narsisisme masa kanak-kanak dengan penilaian yang lebih realistis
tentang self dan orang lain mendasari perkembangan kepribadian
Perspektif Belajar
Ciri perilaku gangguan kepribadian berhubungan dengan pengalaman
belajar di masa kanak-kanak, termasuk belajar observasional dari
perilaku menyimpang atau agresif. Obsessive-compulsive bisa
dihubungkan dengan disiplin dan kontrol orang tua yang berlebihan pada
masa kanak-kanak. Kurangnya kesempatan pada masa kanak-kanak untuk
mempelajari perilaku eksploratif atrau mandiri menuntun pada trait
kepribadian dependen. Kepribadian histrionik terjadi karena pengalaman
masa kanak-kanak di mana penguat sosial seperti perhatian dan reinforcement
yang tidak konsisten dari orang tua untuk perilaku yang seharusnya
mendapatkan perhatian. Kepribadian antisosial terjadi karena pengalaman
belajar pertama dan reinforcer yang kurang konsisten dan sulit
diprediksi, sehingga gagal merespon orang lain sebagai penguat yang
potensial. Menurut Bandura, anak-anak mempelajari hukum-hukum dari
belajar melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain. Biasanya
agresivitas timbul akibat dari provokasi dan kepercayaan bahwa mereka
akan lebih mendapat penghargaan daripada hukuman dari perilaku tersebut.
Perspektif Keluarga
Gangguan kepribadian terjadi karena gangguan dalam hubungan keluarga. Trauma masa kanak-kanak mendasari berkembangnya borderline personality. Faktor keluarga seperti orang tua yang overprotective dan authoritarian,
mempunyai pengaruh dalam perkembangan dependent personality. Obsessive
compulsive muncul dalam lingkungan keluarga dengan moralistik yang kuat
dan keras yang tidak mengizinkan pelanggaran peraturan atau perilaku
yang diharapkan, walau sedikit pun. Antisocial personality
terjadi karena penolakan dan pengabaian orang tua pada masa kanak-kanak
sehingga anak-anak tidak mengembangkan perasaan hangat dan penuh kasih
sayang pada orang lain, yang disebabkan karena terjadinya kegagalan
dalam menginternalisasi nilai-nilai orang tua dan kegagalan untuk
mengembangkan empati.
Perspektif Kognitif
Pengalaman sosial mempengaruhi perilaku individu. Contohnya : remaja
yang anti sosial cenderung mengartikan perilaku orang lain sebagai
ancaman yang dikarenakan oleh pengalaman keluarga dan komunitasnya yang
cenderung menganggap bahwa orang lain bermaksud menyakiti mereka.
Perspektif Biologis
Faktor Genetis ; Genetik mempunyai peranan
dalam derajat yang bervariasi terhadap pengembangan sifat yang mendasari
gangguan kepribadian. Orang dengan kecenderungan genetik dengan sifat
yang mendasari gangguan kepribadian lebih rentan untuk mengembangkan
gangguan kepribadian, jika mereka menghadapi pengaruh lingkungan
tertentu, seperti menjadi terbelakang dalam keluarga disfungsional.
Respon Emosi Yang Kurang ; Orang dengan
kepribadian antisosial dapat mengendalikan diri dalam situasi tekanan di
mana pada kebanyakan orang akan menyebabkan kecemasan. Ketidakcemasan
dalam menghadapi situasi yang mengancam dapat menjelaskan kegagalan
hukuman untuk membuat orang-orang antisosial menghentikan perilaku
sosialnya.
Reaktivitas Sistem Saraf Otonom ; Ketika
orang-orang cemas telapak tangannya akan cenderung berkeringat yang
disebabkan oleh kelenjar keringat yang aktivitasnya meningkat. Respon
kulit ini disebut Galvanic Skin Response (GSR). Orang dengan
kepribadian antisosial memiliki tingkat GSR yang lebih rendah dari pada
orang normal. Hal ini menunjukkan bahwa sistem syaraf otonom kurang
responsif.
The Crafting for Stimulation Model ; Quaiy
menyatakan bahwa kepribadian antisosial membutuhkan rangsangan di atas
ambang normal untuk mengoperasikan emosi pada puncak efisiensi. Mereka
juga lebih cepat jenuh oleh perubahan rangsangan daripada orang normal.
Ambang yang lebih tinggi ini menyebabkan terjadinya kejahatan atau
perilaku yang nekat.
Perbedaan Pola Gelombang Otak ; Electroencephalograph
(EEG) telah digunakan untuk mendeteksi perbedaan biologis kepribadian
antisosial. Disimpulkan bahwa cerebral cortex yang berperan dalam
berpikir dan belajar matang lebih lambat pada orang dengan kepribadian
antisosial. Bentuk gelombang otak yang abnormal dimulai dari kerusakan
sistem limbik yang dianggap mengatur emosi-emosi dasar seperti takut dan
kecemasan. Kerusakan pada bagian ini menjelaskan bagaimana ancaman
hukuman gagal digunakan untuk menghambat perilaku maladaptif pada orang
antisosial.
Perspektif Sosiokultural
Kondisi sosial dapat menyebabkan gangguan kepribadian. Dampak dari
kemiskinan, penyakit urban dan penyalahggunaan obat dapat menuntun pada
disorganisasi dan disintegrasi keluarga, membuat anak semakin kurang
menerima pengasuhan dan dukungan yang mereka perlukan untuk
mengembangkan pola perilaku yang adaptif secara sosial. Hal ini
mengakibatkan anak menjadi kurang empati, tidak mempunyai perasaan, dan
tidak menghormati keselamatan orang lain. Teoretikus sosiokultural yakin
bahwa faktor seperti itu dapat mendasari perkembangan gangguan
kepribadian, terutama gangguan kepribadian antisosial.
TREATMENT
Tidak ada treatmen yang paling tepat, atau tidak mutlak menggunakan
satu pendekatan dari teori tertentu tetapi dapat dikombinasikan antara
pendekatan-pendekatan yang ada. Terapis dari berbagai aliran mencoba
membantu orang yang mengalami gangguan kepribadian umtuk mencapai
kesadaran yang lebih baik dengan mengubah pola perilaku self-defeating
dan belajar untuk lebih beradaptasi dengan orang-orang yang ada di
sekelilingnya. Selain itu, dapat pula diterapkan penggunaan terapi
psikodinamika yang relatif berjangka pendek dan pendekatan penanganan
kognitif-behavioral, yaitu dengan jalan menelusuri jalan pikiran untuk
mencari tahu masalah kemudian memperbaiki encodingnya.
Kuliah XI :
GANGGUAN MAKAN, OBESITAS, DAN GANGGUAN TIDUR
Gangguan Makan
Gangguan Makan (Eating Disorder)
adalah gangguan psikologis yang memiliki karakteristik pola makan yang
terganggu dan cara yang maladaptif dalam mengontrol berat badan.
Anorexia dan bulimia termasuk gangguan makan. Gangguan ini sering
disertai berbagai bentuk psikopatologi, termasuk depresi, gangguan
kecemasan dan penyalahgunaan zat. Mayoritas kasus pada wanita. Gangguan
ini umumnya mulai muncul pada masa remaja dan dewasa awal ketika
tuntutan untuk menjadi kurus sangat kuat. Kira-kira 0,5% (1 : 200)
wanita di lingkungan kita mengidap anorexia nervosa (APA, 2000). Tingkat
prevalensi penderita bulimia nervosa di kalangan wanita diperkirakan
berkisar antara 1% dan 3%. Anorexia dan bulimia pada pria sekitar
sepersepuluh jumlah wanita. Berikut adalah jenis-jenis gangguan makan :
Anorexia Nervosa
Anorexia nervosa adalah suatu gangguan makan yang ditandai oleh
adanya usaha untuk mempertahankan berat badan di bawah standar normal,
citra tubuh yang terdistorsi, ketakutan yang mendalam akan bertambahnya
berat badan, dan pada wanita, amenorrhea. Gangguan ini berkembang antara
usia 12 dan 18 tahun. Setelah menarche wanita mulai sadar akan
pertambahan berat badan dan bersikeras untuk menghilangkannya. Wanita
anoreksik mencoba diet yang ekstrem, serta sering kali melakukan latihan
fisik secara berlebihan. Usaha ini menjadi lebih giat lagi setelah
penurunan berat badan yang diinginkan tercapai. Meskipun individu
anoreksik secara sengaja membuat diri mereka lapar, mereka akan
menghabiskan hari-hari mereka dengan berpikir dan membicarakan makanan,
dan bahkan mempersiapkan makanan untuk orang lain. Berikut adalah
karakteristik diagnostik untuk anorexia nervosa :
Menolak untuk mempertahankan berat badan minimal yang normal sesuai usia dan tinggi seseorang.
Ketakutan yang kuat terhadap pertambahan berat badan atau menjadi gemuk, meskipun tubuhnya kurus.
Citra tubuh yang terdistorsi di mana tubuh seseorang dipandang sangat gemuk, walaupun orang lain memandang orang tersebut kurus.
Dalam kasus wanita yang telah mengalami menstruasi, terjadi ketidakhadiran tiga atau lebih periode menstruasi.
Berikut adalah sub tipe dari gangguan Anoreksia Nervosa :
1) Tipe Makan Berlebihan
Ditandai oleh episode yang sering dari makan berlebihan dan
memuntahkannya. Cenderung memiliki masalah yang berhubungan dengan
kontrol impuls, di mana peningkatan episode makan berlebih mungkin
melibatkan penyalahgunaan zat atau mencuri. Mereka cenderung untuk
berganti-ganti antara periode kontrol yang kaku dan perilaku impulsif.
2) Tipe Menahan
Tidak ditandai dengan memuntahkan makanan. Individu dengan anorexia
tipe ini cenderung secara kaku bahkan obsesif mengontrol diet dan
penampilan mereka. Berkurangnya berat tubuh sebesar 35 % dapat
menimbulkan anemia. Wanita anorexia biasanya juga memiliki masalah kulit
seperti kulit kering, kulit pecah, rambut lepek, perubahan warna
menjadi kekuningan. Komplikasi kardiovaskular melibatkan gangguan hati,
hopotensi, dan pusing saat berdiri, terkadang menyebabkan pingsan.
Menurunnya proses pencernaan menyebabkan masalah gastrointestinal
seperti konstipasi, sakit pada perut, dan obstruksi atau kelumpuhan dari
bowel atau intestines. Otot melemah dan pertumbuhan yang tidak normal
pada tulang menyebabkan tinggi tubuh yang berkurang dan osteoporosis.
Angka kematian pada anorexia diperkirakan antara 5 – 8 % dalam periode
10 tahun, dengan kebanyakan kematian disebabkan oleh bunuh diri atau
komplikasi medis yang dihubungkan dengan penurunan berat badan yang
parah.
Bulimia Nervosa
Bulimia Nervosa
adalah gangguan makan yang memiliki karakteristik episode yang berulang
untuk menelan makanan dalam jumlah besar, diikuti dengan penggunaan
cara-cara yang tidak tepat untuk mencegah pertambahan berat badan.
Seperti mengeluarkan makanan dengan memaksa diri untuk memuntahkannya
menggunakan obat pencahar, diuretics, atau enemas, berpuasa atau latihan
fisik yang berlebihan. Individu yang bulimia biasanya memiliki berat
badan normal, namun mereka memiliki perhatian berlebih mengenai bentuk
tubuh dan berat badan. Usia rata-rata terjadinya bulimia adalah remaja
akhir. Komplikasi medis dari bulimia adalah iritasi pada kulit sekitar
mulut, terhambatnya air liur, peluruhan enamel gigi, dan karang gigi,
rusaknya reseptor pada lidah, sakit pada perut, hiatal hernia,
pankreatitis, gangguan menstruasi, dan lain-lain.
Penyebab anorexia dan bulimia nervosa
Faktor Sosiokultural
Menitikberatkan pada tekanan sosial dan harapan dari masyarakat pada
wanita muda sebagai kontributor terhadap perkembangan gangguan makan.
Tekanan untuk mencapai standar kurus yang tidak realistis,
dikombinasikan dengan pentingnya faktor penampilan sehubungan dengan
peran wanita dalam masyarakat, dapat menyebabkan wanita muda menjadi
tidak puas dengan tubuh mereka sendiri. Model sosiokultural didukung
dengan adanya bukti yang menunjukkan bahwa gangguan makan tidak lebih
umum, bahkan jarang terjadi, di negara-negara non barat.
Faktor Psikososial
Faktor yang paling sering dihubungkan dengan bulimia adalah
setidaknya ada riwayat diet yang kaku. Diet yang kaku ini dapat
mengakibatkan berkurangnya kontrol yang diikuti dengan pelanggaran diet
dan menghasilkan makan berlebihan yang bersifat bulimik. Ketidakpuasan
terhadap tubuh dapat menghasilkan usah-usaha yang maladaptif untuk
mencapai berat badan atau bentuk tubuh yang diinginkan. Faktor kognitif
berperan dalam pembentukan sikap yang perfeksionis pada wanita anorexia,
sehingga mereka berjuang mencapai prestasi yang tinggi. Wanita bulimik
cenderung memiliki tipe kognitif disfungsional yang dapat menghasilkan
keyakinan berlebihan mengenai konsekuensi negatif dari pertambahan berat
badan.
Faktor Keluarga
Gangguan makan sering kali berkembang dari adanya konflik dalam
keluarga. Beberapa remaja menggunakan penolakan untuk makan sebagai cara
menghukum orang tua mereka karena perasaan kesepian dan keterasingan
yang mereka rasakan di rumah. Keluarga dari individu dengan gangguan
makan cenderung lebih sering mengalami konflik, kurang memiliki
kedekatan dan kurang saling memberi dukungan, namun lebih bersikap
overprotektif dan kritis. Orangtua kuran gmampu membangkitkan
kemandirian dalam diri anak mereka. Dari perspektif sistem, keluarga
adalah sistem yang dikelola sedemikian rupa sehingga meminimalkan
ekspresi terbuka dari konflik dan mengurangi kebutuhan segera untuk
perubahan nyata. Individu anoreksik dipandang sebagai penolong untuk
mempertahankan keseimbangan dan harmoni yang muncul dalam keluarga
disfungsional dengan mengalihkan perhatian atas konflik keluarga dan
tekanan pernikahan ke dalam diri mereka.
Faktor Biologis
Para ilmuwan menduga bahwa terdapat ketidaknormalan dalam mekanisme
otak yang mengatur rasa lapar dan kenyang pada penderita bulimia,
kemungkinan besar terkait dengan serotonin kimiawi otak yang berperan
dalam pengaturan mood dan nafsu makan. Gangguan makan cenderung menurun
dalam keluarga, yang terkait dengan komponen genetis. Dalam pandangan
model diatesis-stres, diduga predisposisi genetis yang melibatkan
disfungsi aktivitas neurotransmiter berinteraksi dengan faktor keluarga,
sosial, budaya, dan tekanan lingkungan dalam menyebabkan berkembangnya
gangguan makan.
Penanganan anorexia dan bulimia nervosa
Penderita dapat dirawat di rumah sakit, ditempatkan dalam ruangan
dengan pengawasan terus-menerus. Terapi perilaku juga bisa digunakan,
dengan sasaran membuat penderita mematuhi aturan dari jadwal makan.
Biasanya penguatan yang digunakan mencakup tempat istimewa dan
kesempatan sosial. Terapi Psikodinamika terkadang dikombinasikan dengan terapi perilaku untuk menggali lebih dalam konflik psikologis yang ada. Terapi Keluarga juga dapat digunakan untuk membantu mengatasi konflik keluarga yang mendasari. Terapi Kognitif-Behavioral (CBT) berguna dalam membantu penderita bulimia untuk mengatasi pikiran dan keyakinan yang self-defeating, seperti
pemikiran yang tidak realistis dan perfeksionis mengenai diet dan berat
badan. Untuk menghilangkan kebiasaan memaksa diri memuntahkan makanan,
terapis dapat menggunakan teknik pemaparan terhadap pencegahan respons
yang dikembangkan untuk penanganan gangguan obsesif-kompulsif. Terapi
interpersonal menekankan pada penyelesaian masalah interpersonal dengan
keyakinan bahwa fungsi interpersonal yang semakin efektif akan
menghasilkan kebiasaan dan sikap makan yang lebih sehat. Obat
antidepresan juga memberikan manfaat terapeutik dalam menangani bulimia.
Gangguan makan berlebihan
Binge-eating disorder (BED) menunjukkan pola makan secara
berlebihan berulang kali tetapi tidak mengeluarkan makanan tersebut
sesudahnya. Makan berlebihan ini setidaknya terjadi 2 hari dalam
seminggu selama 3 bulan. BED lebih umum ditemukan di antara individu
yang mengalami obesitas. BED mempengaruhi 2% dari populasi. Sering kali
diasosiasikan dengan depresi dan usaha yang gagal dalam menurunkan berat
badan. Orang BED cendrung berusia lebih tua daripada penderita
anoreksia dan bulimia, dan lebih banyak ditemukan pada wanita. Teknik
kognitif-behavioral telah menunjukkan efek positif dalam menangani BED.
Obesitas
Obesitas merupakan suatu kondisi kelebihan lemak tubuh, biasanya
ditentiukan oleh IMT di atas 30. Dihitung dengan membagi berat badan
(dalam kg) dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Sekitar 1 dari 3
anak-anak mengalami obesitas. Obesitas digolongkan sebagai gangguan
medis kronis, bukan gangguan psikologis. Obesitas juga merupakan faktor
resiko terbesar untuk penyakit kronis yang secara potensial membahayakan
jiwa seperti sakit jantung, diabetes, dan beberapa bentuk dari kanker.
Obesitas melibatkan faktor psikologis pada perkembangan dan penangannya.
Adapun penyebab obesitas yaitu :
Faktor Genetis
Faktor genetis dan lingkungan sama-berpengaruh pada obesitas
Faktor metabolisme
Ketika kita kehilangan berat badan, terutama dalam jumlah yang
signifikan, tubuh bereaksi seakan-akan kelaparan. Tubuh merespons
penurunan berat badan dengan memperlambat tingkat metabolisme. Hal ini
mempersulit penurunan berat badan lebih lanjut atau sekedar
mempertahankan penurunan berat badan.
Sel Lemak
Orang-orang obesitas memiliki lebih banyak sel lemak. Orang yang
memiliki lebih banyak jaringan lemak mengirimkan lebih banyak sinyal
pengosongan lemak keotak, sehingga mereka lebih cepat merasa membutuhkan
makanan.
Faktor Pola Hidup
Orang-orang obesitas biasanya secara fisik kurang aktif. Mereka menetapkan pola makan tinggi lemak dan makan dalam porsi besar.
Faktor Psikologis
Teoretikus psikodinamika yakin bahwa orang-orang yang pada tahap oral
terfiksasi oleh konflik ketergantungan dan kemandirian, cenderung akan
mengatasi stress dengan aktivitas oral yang berlebihan seperti makan
berlebihan. Rendahnya self-esteem, kurangnya self-efficacy, konflik keluarga, dan emosi negatif juga merupakan mempengaruhi obesitas.
Faktor Sosio-ekonomi
Obesitas lebih umum terjadi di kalangan orang-orang dari tingkat sosio-ekonomi rendah.
Akulturasi
Meskipun akulturasi dapat menolong orang-orang imigran untuk
beradaptasi dengan baik dalam budaya baru, hal ini juga dapat
menjatuhkan jika melibatkan penerapan diet yang tidak sehat dari budaya
baru ini.
Faktor Metabolisme
Faktor bilogis, seperti perbedaan genetis dalam tingkat metabolisme,
juga dapat berperan dalam memunculkan obesitas. Persoalan dengan terapi obat
adalah manajemen pengaturan berat badan untuk jangka panjang melibatkan
perubahan gaya hidup dalam pola makan dan olahraga. Orang-orang
obesitas dapat mengontrol berat badan mereka dalam batas-batas tertentu
dengan melakukan diet yang tepat, meningkatkan level aktivitas dan
olahraga, serta melakukan perubahan kebiasaan makan. Program modifikasi perilaku
berfokus pada membantu individu mengubah kebiasaan makan yang salah
dengan mengubah anteseden dari makan dengan melibatkan pengubahan
lingkungan sehingga orang tidak terus-menerus menerima isyarat yang
berhubungan dengan makanan, perilaku makan itu sendiri, dan konsekuensi
dari makan berlebihan. Orang obesitas memerlukan komitmen jangka panjang
untuk mengikuti diet yang tepat dan olahraga yang teratur.
Gangguan Tidur
Gangguan tidur merupakan masalah yang berhubungan dengan tidur yang
berulang kali dan terus ada yang menyebabkan distress atau hendaya untuk
berfungsi dengan baik. Orang dengan gangguan tidur biasanya
menghabiskan beberapa malam di pusat tidur, di mana mereka dihubungkan
dengan kabel kealat-alat yang mencatat respons fisiologis mereka selama
tidur atau berusaha untuk tidur, tingkat jantung dan pernafasan, dan
seterusnya. Evaluasi ini disebut pencatatan polisomnografik (PSG). DSM mengelompokkan gangguan tidur dalam 2 kategori utama, yaitu :
Dissomnia
Adalah gangguan tidur yang memiliki karakteristik terganggunya
jumlah, kualitas, atau waktu tidur. Lima tipe khusus disomnia yaitu :
a) Insomnia
Insomnia ditandai dengan kesulitan untuk tertidur, tetap
tidur, atau mencapai tidur yang restoratif. Insomnia yang tidak normal
adalah insomnia yang terus ada dan memiliki karakteristik kesulitan
berulang-ulang untuk tidur atau tetap tidur. Insomnia primer merupakan
insomnia kronis dalam jangka waktu sebulan atau lebih yang tidak
disebabkan oleh gangguan fisik atau psikologis, atau oleh efek obat atau
pengobatan.
b) Hipersomnia
Yaitu sebuah pola munculnya rasa kantuk yang berlebihan pada siang
hari. Hipersomnia primer merupakan rasa kantuk yang berlebihan sepanjang
hari yang berlangsung sampai sebulan atau lebih. Dapat berbentuk
kesulitan untuk bangun setelah periode tidur yang panjang, atau ada
episode tidur siang yang muncul setiap hari dalam bentuk yang diharapkan
ataupun tidak.
c) Narkolepsi
Merupakan gangguan tidur yang memiliki ciri episode tidur yang tidak
dapat dielakkan dan terjadi secara tiba-tiba. Diagnosis diberikan ketika
serangan tidur muncul setiap hari selama periode 3 bulan atau lebih dan
dikombinasikan dengan kehadiran salah satu atau kedua kondisi berikut :
- Cataplexy (kehilangan kontrol secara mendadak), biasanya disebabkan oleh reaksi emosional yang kuat;
- Gangguan tidur REM dalam tahap transisi antara sadar dan tidur;
- Gngguan tidur yang terkait dengan pernapasan yaitu terganggunya tidur secara berulang kali karena kesulitan bernapas;
- Gangguan tidur sirkadia; terganggunya siklus tidur-bangun internal karena perubahan waktu pada pola tidur.
Parasomnia
Gangguan yang terjadi baik saat tidur maupun saat ambang batas antara tidur dan terjaga.
a) Gangguan Mimpi Buruk
Berulang kali terbangun karena mengalami mimpi buruk.
b) Gangguan Teror Dalam Tidur
Berulang kali mengalami terror saat tidur yang menyebabkan terjaga secara tiba-tiba.
c) Gangguan Berjalan Sambil Tidur
Berulang kali mengalami episode berjalan sambil tidur.
Penanganan yang disarankan untuk menangani masalah gangguan tidur, adalah sebagai berikut :
Pendekatan Biologis
Terapi obat dapat digunakan untuk penyembuhan jangka pendek bagi
insomnia dan untuk mengatasi gangguan tidur lelap, narkolepsi, dan tidur
apnea. Pembedahan atau alat bantu mekanik dapat digunakan untuk membuka
jalan udara pada pasien apnea.
Pendekatan Psikologis
Terapi Kognitif-Behavioral membantu
seseorang untuk mengubah kebiasaan tidur yang tidak sehat. CBT dapat
digunakan untuk mengubah kebiasaan tidur yang maladaptif dan pemikiran
atau keyakinan yang disfungsional mengenai tidur.
Kuliah XII :
KEKERASAN, PENGANIAYAAN, DAN IMPULSIVE CONTROL DISORDER
I. KEKERASAN DAN PENGANIAYAAN
Tindakan kekerasan digolongkan kedalam abnormalitas
jika konteks kekerasan itu diluar kesepakatan sosial yang ada dalam
suatu konteks budaya atau lokasi, serta membahayakan bagi orang yang
menjadi objek kekerasan tersebut. Orang dengan gangguan psikologis
biasanya rentan melakukan kekerasan. Meskipun demikian, penyalahgunaan
obat, alkanol, dan riwayat kriminalitas lebih dekat dengan konteks
kekerasan dibandingkan gangguan mental (Bonta, Law, & Hanson, 1998).
Kekerasan juga biasanya merupakan karakteristik gangguan kepribadian
antisosial dan gangguan perilaku pada anak-anak dan remaja. Kekerasan
berkaitan dengan agresi manusia itu. Berikut adalah beberapa point of view terhadap kekerasan.
1) Pendekatan Biologis.
Agresi merupakan hasil dari insting manusia yaitu pola perilaku yang
menetap yang dibawa secara genetis sejak individu itu lahir dari
parentalnya, dan sifatnya spesifik bagi tiap-tiap individu. Menilik
pendapat Sigmund Freud, bahwa insting mendasari agresi manusia yang
disebut insting kematian. Insting menurutnya bersifat self-destructive
termasuk bunuh diri. Insting ini perlu untuk diekspresikan dan
dilepaskan dalam bentuk tertentu. Ego bertanggung jawab terhadap
ekspresi insiting dari id ini. Ego mempertimbangkan situasi sosial yang
ada di sekitarnya, apakah memungkinkan untuk penyaluran insting tersebut
atau tidak. Jika ya, maka insting itu disalurkan, jika tidak akan
direalisasikan dalam bentuk perilaku lainnya atau akan direpresikan oleh
defense mechanism ego. Apabila terjadi
penumpukan dalam represi ego atau ego menjadi lemah maka sewaktu-waktu
insting ini akan keluar dalam wujud perilaku agresi, karena kelebihan
ego tekanan.
2) Pendekatan Sosiobiologis.
Agresi menurut pandangan ini, merupakan hasil pembelajaran individu
atas fenomena sosial yang ada di sekitarnya. Individu mungkin mewarisi
disposisi-disposisi perilaku secara genetis, tetapi yang menentukannya
kemudian adalah lingkungan sosialnya. Budaya, proses belajar, dan
pilihan pribadi individulah yang menjadi penentu perilaku agresi itu
akan dimunculkan atau tidak (Eagly, & Wood, 1991). Berarti disini
terjadi kombinasi antara faktor genetis dan faktor sosial lainnya dalam
pemunculan perilaku agresif tersebut (Buss, & Shacelford).
3) Pandangan Neurobiologis Agresivitas.
Dalam pandangan ini, dijelaskan bahwa agresi muncul karena adanya peran hipotalamus
pada mekanisme otak dalam memfokuskan perhatian individu. Hipotalamus
mungkin mengontrol kendali perilaku agresif itu sendiri pada beberapa
kingdom animalia. Pada manusia, perilaku tergantung pada proses belajar
dibandingkan refleks-refleks saraf ini. Selain itu, adanya peran serotonin
dalam dalam proses transmitters pada saraf manusia. Selain itu, juga
perilaku agresi diasumsikan dengan derajat hormon testosteron laki-laki.
Semakin tinggi derajat kuantitas hormon testosteron
pada individu maka semakin besar kecenderungan dalam memunculkan
perilaku agresi. Serotonin berperan dalam mengatur tepatnya menghambat
kerja sistem limbik pada otak. Sistem limbik ini berperan dalam mengatur
dorongan-dorongan primitif seperti makan, pengaturan emosi, belajar,
ingatan, dan agresi. Tingkat serotonin yang rendah yang menunjukkan
abnormalitas otak tentunya cenderung memungkinkan memunculkan perilaku
agresif tersebut. Sedangkan, testosteron yang tinggipun demikian adanya
pada laki-laki maupun perempuan.
4) Pandangan Sosio-Kognitif.
Albert Bandura (1973, 1986) berpendapat bahwa agresivitas seseorang merupakan perilaku yang dipelajari dari social learning process. Adanya modelling dan reinforcement
atas perilaku agresif ini memungkinkan inidividu mempelajari bahwa
perilaku itu baik adanya. Dengan melihat contoh ayahnya yang bertindak
kasar terhadap ibunya, mungkin saja seorang anak akan menirukan perilaku
ayahnya tersebut (modelling). Atau mungkin karena penguatan yang
diberikan oleh lingkungan sosialnya terhadap perilaku agresif tertentu
memungkinkan sang anak menirukan perilaku tersebut. Selain itu, adanya peran harapan dan kompetensi
dalam perilaku agresif ini jelas adanya. Seseorang yang berharap
perilaku agresif yang akan dimunculkan akan menghasilkan implikasi
psositif akan lebih mungkin melakukan tindakan tersebut. Berkaitan
dengan kompetensi atau kemampuan individu dalam mengelola dan mengontrol
sifat agresif dalam dirinya juga nampak bahwa individu yang kurang
mampu dalam mengelola dan mengontrol sifat agresif dalam dirinya
memiliki prevalensi yang cukup besar dalam memunculkan perilaku agresif
dalam overt behavior.
Para teoretikus sosio-kognitif juga memfokuskan pada cara-cara
manusia dalam mengintepretasikan situasi konfrontatif dan konflik
(Berkowitz, 1994). Ketika seseorang memandang motif orang lain kepada
dirinya penuh dengan kenegativan, maka perilaku agresif ini cenderung
untuk muncul. Asumsi orang serupa ini yakin bahwa orang tersebut
bermaksud menyakiti, melukai, atau sejenisnya, dimana kebenarannya
berlainan adanya. Menurut pandangan ini, sifat agresivitas dan
desdruktif tidak dapat dikatarsis melalui beberapa perilaku yang dapat
diterima secara sosial misalnya olahraga seperti pandangan klasikal
Freudian, menurut mereka ini malahan memberi mereka suatu reinforcement
pada sifat agresivitas dan desdruktifnya. Mereka juga mengakui adanya peran modelling dan tentunya reinforcement pada perilaku agresif tersebut. Disini mereka menjelaskan peran orangtua
dalam menjelaskan kepada anak bahwa kekerasan yang ditayangkan pada
media hanyalah sebuah sensasi belaka adanya, karena pada kenyataannya
manusia sebagai individu menangani situasi-situasi konflik dengan cara
damai.
5) Pandangan Sosio-Kultural.
Dalam pandangan sosio-kultural dijelaskan bahwa perilaku agresif berakar dari penyebab sosial yang menyatu secara kompleks
mencakup kemiskinan, kesempatan, keretakan keluarga, dan pemaparan
modelling dari pihak tertentu termasuk orang tua dalam mencontohkan
perilaku agresif. Anak yang dibesarkan dalam status sosial yang miskin
memungkinkan mereka mengalami tekanan hidup yang lebih dari
lingkungannya, hal ini memungkinkan pemunculan perilaku agresif itu
sendiri. Ini sejalan dengan hipotesis frustrasi-agresi
yang mengatakan bahwa agresivitas muncul karena terjadinya frustrasi
pada individu tersebut. Rasa frustrasi ini disebabkan karena adanya
tekanan-tekanan sosial pada mereka. Disposisi budaya
seperti pada budaya barat (Amerika, misalnya) yang menunjukkan ciri
individualitas dan mungkin memberikan tekanan pada peran maskulin
laki-laki dalam hal ini menunjukkan ciri kelaki-lakiannya secara agresif
juga mendukung kecenderungan munculnya perilaku agresif individu.
Nilai-nilai budaya dan metode pengasuhan yang keras dapat mengembangkan sifat kekerasan dan agresif pada anak. Pembunuhan lebih sering terjadi pada kelompok ras dan etnik minoritas
dibandingkan etnik yang mayoritas (Council Of Economic Advisors, 1998).
Penyebabnya mungkin karena ras dan etnik minoritas merasa dirrugikan
oleh budaya mayor yang ada. Selain itu, juga mungkin peran penggunaan
obat tertentu acapkali terkait dengan kriminalitas di jalanan, terutama
di kalangan masyarakat miskin.
Penggunaan alkanol memungkinkan
terdistorsinya pikiran dan proses neuron tertentu dalam mengatur
perilaku sehingga secara tak sadar perilaku agresif dimunculkannya. Efek
alkanol dalam merusak kemampuan pengamibilan keputusan pada diri
inidividu telah jelas berpengaruh. Alkanol juga memungkinkan menimbulkan
efek ketenangan dan mendistorsi kemampuan empati sehingga individu
berkurang kepakaannya terhadap rangsangan stimulus eksternal dan
petunjuk yang pada dasarnya membangkitkan kecemasan yang terkait dengan
kemungkinan hukuman diterima apabila perilaku agresif dimunculkan
terdistorsi (dalam pandangan Freud, superego mengalami distorsi fungsi).
6) Pandangan Eklektistif Agresivitas.
Menggabungkan semua pandangan mengenai kekerasan dan agresivitas
merupakan alternatif bijak dalam menjelaskan perilaku agresif itu
sendiri. Dalam pandangan ini, agresif disebabkan oleh multifaktoral disposisi.
Individu mungkin mewarisi insitingsecara genetis dari parental atau
orangtuanya, tetapi kita juga mempertimbangkan peran pembelajaran dan
peran budaya dalam hal ini. Individu belajar dari teman sebaya,
televisi, internet, film, tokoh panutan modelling, dan bagaimana peran
kognitif individu dalam mempertimbangkan perilakunya, serta bagaimana
peran harapan, kompetensi, copping stress, penyaluran
agresivitas itu sendiri, faktor fisiologis ,serta faktor neurobiologis,
dan lainnya mungkin berperan penting dalam perwujudan perilaku agresif
individu tersebut. Beberapa terapi yang disarankan dalam hal ini yaitu :
Pelatihan Empati, yang menolong individu mengidentifikasikan perasaan-perasaan mereka dan menjadi lebih peka terhadap perasaan orang lain.
Pelatihan Pengelolaan Rasa Amarah, dimana individu diajarkan teknik penguasaan keterampilan mengendalikan amarah.
Pelatihan Pengendalian Impuls, dimana individu diajarkan keterampilan menyelesaikan masalah dalam mengelola stiuasi-situasi bermasalah.
Beberapa jenis kekerasan antara lainnya sebagai berikut :
1) Kekerasan Domestik.
Kekerasan domestik meliputi kekerasan pada rumah tangga atau yangs
sering disebut KDRT. Selain resiko fisik yang diterima, korban kekerasan
domestik juga rentan terhadap gangguan psikologis lainnya misalnya
depresi, self-esteem yang rendah, PTSD (Posttraumatic Stress
Disorder), gangguan emosi, gangguan perilaku, kesulitan dalam behubungan
sosial secara efektif yang sehat, kekurangan kapasitas empati,
kegagalan dalam mengembangkan suara hati dan kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain, keinginan untuk bunuh diri, gangguan mood,
perilaku yang tidak matang misalnya mengisapi jempolnya, kesulitan untuk
mengeksplorasi dunia sosialnya, dan bahkan bertindak agresif pada
individu yang lebih rentan. Seorang anak yang menyaksikan perilaku
agresif dalam keluarganya, meskipun kekerasan itu nonfisik sifatnya
misalnya membanting perabotan di rumah, anak tersebut
memilikikecenderungan untuk mengalami gangguan emosiona, depresi, dan
perilaku anak tersebut (Jouriles, dkk, 1996). Sebagian para ahli
mengatakan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan domestik akan lebih
baik dipahami bila dilihat dari survivor trauma daripada masokisme (Strube, 1988). Seperti yang diungkapkan Leonore Walker (1979) dalam istilahnya yaitu sindrom perempuan yang mengalami kekerasan (battered woman syndrome).
Sindrom ini mencakup perasaan tidak tertolong dan rusaknya kemampuan
penguasaan yang membuatnya sulit untuk meninggalkan pelaku kekerasan dan
menjalani hidup baru lagi sendirian. Alasan ekonomi mungkin bisa
menjadi salah satu penyebabnya juga. Artinya perempuan yang berani
meninggalkan rumah, adalah mereka yang berani meninggalkan ketakutannya.
Beberapa faktor psikologis yang mempengaruhi efektivitas kemampuan
coping perempuan (Follingstad, Neckerman, & Vormbrock, 1988) yaitu :
Menghancurkan anggapan subjektif perempuan mengenai
ketidakrentanannya yang membantu mempertahankan rasa aman secara
personal dalam sebuah keluarga.
Menurunkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah dan kemampuan
menimbang solusi-solusi alternatif dari masalahnya, yang diakibatkan
oleh kekerasan tersebut.
Kecenderungan mengalami PTSD yang pada implikasinya menyebabkan makin buruknya kemampuan coping masalah.
Konversi pikiran perempuan dalam memandang pelaku kekerasan terhadap
diri mereka secara positif, penuh empati, dan pada saat yang sama
mengembangkan asumsi negatif pada individu yang mencoba berperan sebagai
penolong.
Menemukan makna dari kekerasan. Hal ini diungkapkan oleh Viktor
Frankl (1959) bahwa perempuan yang mengalami kekerasan domestik akan
lebih berusaha menemukan makna dari peristiwa tersebut,
merasionalisasinya, dan terkadang membenarkannya.
Belajar akan ketidakberdayaan mereka. Hal ini dapat menurunkan motivasinya dalam problem solving
masalah, dan dapat membuat pasif individu sehingga mereka enggan
mencari bantuan untuk menyelesaikan masalahnya (Walker, 1979; Wilson,
dkk, 1992).
Mengalami kesulitan dalam mengelola emosi-emosi terutama yang
bersifat menmberatkan dirinya, sehingga mereka susah dalam mengontrol
kemarahannya, depresi, menimbulkan perasaan suicide, dan cenderung menyalahkan diri mereka sendiri.
Faktor budaya yang menempatkan peran perempuan untuk selalu
mengorbankan diri juga mendorong kesemua hal di atas terjadi riil. Lalu
bagaimana penanganan bagi korban dan pelaku kekerasan domestik ?. Terapi pasangan
dapat dilakukan sebagai salah satu tindakan penanganannya. Hal ini
berguna bagi pasangan atau keluarga dengan sejarah kekerasan domestik
(O’Leary, 1995). Dalam terapi ini terapis membantu kedua dari pasangan
untuk memahami kemarahan mereka sebagai ekspresi ketidakberdayaan, dan
untuk memahami kesakitan emosional keduanya secara lebih empati dan
baik. Selain itu, terapi ini juga mengajarkan keduanya dalam pegelolaan
amarah, penyelesaian konflik yang efektif, dan beragam cara yang lebih
produktif (Mones, & Panitz, 1994). Terapi kelompok
juga dapat dilakukan. Terapi ini diaplikasikan guna memberikan
penjelasan pada korban kekerasan terhadap siklus kekerasan,
mengembangkan strategi penyelamatan diri, alternatif laijn dalam
perkawinan, meningkatkan harga diri, dan mengurangi sikap self-blame mereka.
2) Penganiayaan Terhadap anak.
Ada beberapa jenis jenis penganiayaan terhadap anak, yaitu :
Penganiayaan fisik, mencakup pencelakaan fisik anak.
Penelantaran fisik, mencakup pembiaran fisik tanpa perhatian orangtuanya.
Penganiayaan seksual.
Perlakuan salah secara emosional, termasuk kritik dan selalu menyalahkan sang anak seara berlebihan.
Dalam menjelaskan kekerasan fisik, ada banyak hal yang menyertainya antara lainnya yaitu faktor kognitif
seperti terus menerus menyalahkan anak terhadap sebuah kelakuannya yang
sewajarnya dalam batasan anak secara sosial. Orangtua seperti ini,
cenderung melihat perilaku anak selalu disengaja meski itu tak
disengaja. Anggapan orangtua bahwa penggunaan atau pemberian punishment fisik dapat mengatasi perilaku nakal anaknya, dan tentunya dianggap secara sosial hal itu diterima adanya. Disini terlihat peran budaya yang mengajarkan pembenaran dalam penggunaan hukuman fisik terhadap anak tanpa batasan yang jelas.
Beberapa faktor resiko dalam penganiayaan anak antara lainnya (Belsky, 1993; Pogge, 1992) :
Stress mencakup stress kerja, dan sebagainya.
Menyaksikan kekerasan dalam keluarga sendri, dan modelling.
Pernah mengalami kekerasan pada masa kecilnya.
Kurang baiknya kemampuan mengelola amarah, dan coping stress.
Penyalahgunaan alkanol, dan obat-obatan tertentu.
Aturan-aturan budaya yang kaku dalam pengasuhan anak.
Berikut ini adalah efek dari penganiayaan terhadap anak, antara lainnya :
Luka-Luka secara fisik.
Luka emosional yang biasanya berlangsung cukup lama.
Kesulitan dalam membina hubungan relasi yang sehat dan ketertarikan yang sehat dengan teman sebayanya.
Mengalami kekurangan kapasitas emosionalnya.
Gagal mengembangkan suara hati, dan kepedulian terhadap orang lain.
Menurunnya self-esteem, depresi, dan kinerja yang buruk.
Menimbulkan pikiran-pikiran dengan tema bunuh diri (suicide), dan lain sebagainya.
Penanganan dapat dilakukan dengan program pelatihan bagi orangtua
yang bertujuan membantu orangua dalam menguasai stress dengan lebih
baik, dan meningkatkan interaksi yang sehat dengan anak mereka
(DeAngelis, 1995b). Terapi keluarga dalam hal ini juga penting adanya.
3) Agresi Seksual.
Pemerkosaan tidak digolongkan kedalam gangguan mental, tetapi
kebanyakan hal itu berasosiasi dengan simdrom klinis tertentu, misalnya
sadisme seksual. Dua tipe pemerkosaan yaitu :
Pemerkosaan yang melibatkan paksaan terhadap korbannya.
Pemerkosaan berdasarkan batasan hukum,
dimana korban dianggap belum atau tidak mampu memberikan persetujuan,
atau oleh karena ketidakmampuan mental, meskipun korban tidak menolak
tindakan yang diakukan pemerkosa.
Semua perempuan beresiko mengalami pemerkosaan, termasuk semua
perempuan dari golongan usia, ras, dan tingkat ekonomi manapun. Meskipun
demikian, perempuan muda lebih beresiko, terutama remaja. Lebih dari
itu, bukan hanya perempuan saja, lelaki juga terkadang menjadi korban
pemerkosaan meskipun prevalensinya kecil sekali. Pemerkosaan lebih
terkait dengan impuls kekerasan dan isu kekuatan serta pengendalian,
daripada pemuasan seksual. Pemerkosa biasanya memiliki perasaan canggung
atau malu dan inadekuat dalam dirinya, ketidakmampuan menemukan
pasangan, umumnya antisosial, kurang pertimbangan matang. Acapkali
mereka pernah mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya.
Dalam hal ini nampak peran faktor sosio-kultural, yaitu meliputi budaya
yang kurang kuat mengatur pemerkosaan dan individualitas, dan
sosialisasi atas peran gender masing-masing beserta stereotipe dan
asumsi yang diharapkan dalam sebuah kehidupan yang benar. Budaya yang
mengajarkan peran laki-laki untuk cenderung agresif, dan maskulin
membentuk sebuah anggapan stereotipe pada individu yang mendukung
terjadinya pemerkosaan. Pemerkosaan pastilah membawa efek negatif pada
korbannya. Berikut adalah beberapa efek dari pemerkosaan yang halusnya
disebut pelecehan seksual :
Efek pada perempuan mungkin bisa kehilangan selera makan, sakit
kepala, mudah tersinggung, cepat marah, ketidakteraturan menstruasi,
ketidakrealitisan perilaku dan asumsi.
Bisa menyebabkan depresi, disfungsi seksual misalnya susah mengalami
rangsangan seksual dan orgasme, mengalami ingatan yang mengganggu
mengenai pelaku pemerkosaan, dan dapat menyebabkan gangguan kecemasan
mencakup PTSD, dan lain sebagainya.
Efek pada anak-anak mungkin saja sama dalam beberapa halnya, ditambah
masalah psikologis lainnya seperti self-esteem yang buruk, perilaku
seksual yang prematur, mengisap jempol, takut gelap, masalah dalam
relasi sosial, gangguan kepribadian ambang (Murray, 1993; Weaver, &
Clum, 1995), dan ketidakpercayaan terhadap pelaku pemerkosaan apalagi
jika pelakunya adalah ayah atau keluarga dekatnya sendiri. Hal ini
menyebabkan individu mengalami distorsi pada rasa ketidakpercayaan
terhadap mereka yang dahulunya dipercaya mereka, sehingga hal ini
terbawa hingga dewasa.
Penanganan terhadap kasus pemerkosaan, dilakukan dalam dua tahapan yaitu :
Mendampingi korban dalam mengatasi situasi setelah pemerkosaan.
Membantu dalam penyesuaian diri korban untuk jangka panjang, dan membantu mengembangkan strategi untuk mengatasi trauma psikis.
Penganiayaan seksual pada anak biasanya jarang melibatkan kekerasan
fisik, tetapi lebih kearah penggunaan manipulasi, tipuan, ancaman
kekerasan, dan sejenisnya untuk mendapatkan kepatuhan anak. Beberapa
terapi dapat diajukan dalam proses penanganannya antara lain dengan terapi seks, dalam hal ini anak dibantu untuk mengatasi disfungsi seksual dan ketakutannya pada masa dewasanya nanti. Terapi kelompok
dapat dilakukan untuk membantu menghadapi masalah perasaan dalam
lingkungan suportif dengan orang lain yang mengalami trauma yang serupa.
Pendekatan multikomponental adalah salah satu
cara alternatif yang baik, dimana terapi difokuskan pada penyediaan
dukungan bagi anak, membahas ketidakberdayaan dan pengkhianatan, dan
membantu anak memahami bahwa ia bukanlah pihak yang harus disalahkan.
Lalu bagaimana menagani pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual ?.
Dalam hal ini dapat dilakukan juga terapi kelompok dengan teknik terapi kognitif-behavioral,
serta pelatihan empati dalam meningkatkan kepekaan sosial pelaku
terhadap korban. Penggunaan obat berbasis bologis juga dapat dilakukan,
yaitu pemberian obat antiandrogen yang bisa
menurunkan kadar testosteron. Hal ini diibaratkan karena kebanyakan
kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual melibatkan tingginya tingkat
testosteron dalam tubuh pelakunya. Anti androgen ini dapat membantu
ketika digabungkan penggunaannya dengan konseling psikologis (Leary,
1998).
II. IMPULSIVE CONTROL DISORDER (ICD)
Gangguan Impuls Kontrol (ICD) adalah gangguan yang disebabkan oleh
ketidakmampuan seseseorang dalam mengendalikan dorongan atau godaan
untuk melakukan perbuatan tertentu. Tanda dari gangguan ini adalah
ketidakmampuan individu untuk menghentikan impuls-impuls yang dapat
membahayakan mereka sendiri ataupun orang lain. DSM-IV-TR memasukkan
lima gangguan pengendalian impuls tambahan yaitu :
- Intermitten explosive disorder : dimana seseorang bertindak berdasarkan impuls-impuls agresif yang menghasilkan tindakan tindakan penyerangan serius atau perusakan harta benda (American Psychiatric Association, 2000). Diduga, faktor psikososial seperti stress, gaya asuh orang tua, dan sebagainya. Berpengaruh dalam memicu gangguan tersebut. Biasanya diderita oleh lak-laki, dan meliputi agresivitas yang meledak-ledak yang menuntun untuk melakukan penyerangan dan perusakan properti. Ledakan ini tidak diprovikasi atau kelihatan sebagai bagian dari suatu peristiwa yang mendahului mereka.
- Kleptomania : ketidakmampuan seseorang menolak dorongan berulang untuk mencuri barang barang yang seebenarnya tidak diperlukan untuk kegunaan pribadi atau yang dicuri bukan karena nilai uangnya. Tindakannya mengikuti pola tertentu yaitu merasakan ketegangan tepat sebelum mencuri dan diikuti rasa puas atau lega saat pencurian dilakukan (Mc. Elroy dan Arnold, 2001). Kleptomania biasanya diderita oleh perempuan.
- Piromania : gangguan pengendalian impuls yang melibatkan adanya dorongan yang tidak dapat ditolak untuk melakukan pembakaran. Polanya sama dengan kleptomania, dimana muncul perasaan puas atau lega saat api mulai membakar. Biasanya diderita oleh laki-laki, dan menyangkut pembakaran untuk merasakan kesenangan dan pengurangan ketegangan
- Judi Patologis : Adanya kebutuhan untuk mempertaruhkan uang dalam jumlah yang semakin banyak dari waktu ke waktu dan timbul gejala gelisah ketika berusaha berhenti (withdrawal). Trikotilomania : Adanya dorongan untuk mencabuti rambut sendiri dari bagian tubuh yang manapun, termasuk rambut di kulit kepala, alis dan bulu bulu tangan. Hal ini kerapkali dimulai sejak masih kanak-kanak, dan sering diasosiasikan dengan depresi mayor atau gangguan defisit/ hiperaktif perhatian.
Selain kelima macam gangguan tersebut, juga terdapat dorongan tidak
terkendali lainnya seperti dorongan berbelanja (oniomania), mutilasi
diri, kebiasaan menggigit kuku, kecanduan internet dan sebagainya.
Penyebab sebenarnya dari gangguan impulsif kontrol belum diketahui
pasti. Beberapa kasus gangguan impulsif kontrol kelihatan sebagai efek
dari kondisi pengobatan pada umumnya. Beberapa dewasa akhir dengan
penyakit Parkinson menjadi penjudi kompulsif sebagai perkembangan
penyakitnya. Pemikirannya bahwa perilaku berjudi ini sebagai akibat dari
penggunaan obat-obatan, sebagaimana ini tidak memberi respon terhadap
perlakuan standard untuk judi kompulsif tetapi hanya untuk mengubah
pengobatan pasien. Traumatic Brain Injury mungkin menghasilkan
beberapa individu berkembang perilaku impulsif atau gangguan impulsif
kontrol. Terutama sekali ketika terjadi kerusakan pada daerah korteks
frontal (lebih lanjut, baca Jentsch & Taylor, 1999).
Penyalahgunaan zat kimia, tampaknya umum diasosiasikan dengan
impulsivitas. Meskipun demikian, peneliti telah mengobservasi bahwa
individu yang menyalahgunakan berbagai macam zat kimia lebih menunjukkan
perilaku impulsif dibandingkan yang menyalahgunakan satu macam zat
kimia. Beberapa gangguan mental utama sering diasosiasikan dengan
impulsivitas ketika individu dalam keadaan psikosis. Ini berkaitan
dengan gangguan bipolar dimana perilaku impulsif paling banyak
dihubungkan dengan tahap manik. Gangguan impuls kontrol sering tampak
dalam sejumlah jenis gangguan kepribadian, terutama borderline,
anti-sosial, narsistik, dan histrionik. Diagnosis pada beberapa gangguan
impulsif kontrol hanya dapat dibuat setelah pengobatan dan gangguan
psikiatri yang bisa menyebabkan simtom yang sama telah diputuskan. Intermitten explosive disorder
meliputi tindakan penyerangan keras atau bersifat perusak. Kleptomania
menyangkut pencurian benda-benda yang tidak dibutuhkan dan tidak
menghasilkan uang. Piromania ditandai dengan tindakan yang secara
sengaja membakar sesuatu lebih dari sekali. Judi patologis adalah
gangguan berjudi yang terus berlangsung dan berulang-ulang meskipun
kalah dan adanya ketidakcukupan keuangan. Tipikal gangguan ini dimulai
pada masa muda, dan individu sering merasa kompetitif, mudah bosan,
gelisah, dan dermawan. Trikotilomania adalah gangguan yang ditandai oleh
kerontokan rambut kepala yang berulang-ulang. Kombinasi dari konseling
psikologis dan pengobatan adalah perlakuan yang lebih baik bagi
penderita gangguan impulsif kontrol. Anak-anak penderita trikotilomania
sering ditolong dengan pengobatan antidepresi. Pada kasus gangguan
ekplosif, pengelolaan kemarahan dan pengobatan bisa digunakan dalam
kasus agresi yang ekstrim. Gangguan biasanya dapat dikontrol dengan
penggunaan obat, meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama dan
berkesinambungan untuk membantu mencegah ledakan agresivitas berikutnya.
Konseling jangka panjang adalah hal yang biasanya dibutuhkan. Dukungan
kelompok dan pertemuan-pertemuan juga mampu menolong individu penderita
gangguan ini. Prognosis untuk Intermitten explosive disorder,
Kleptomania dan Piromania cukup wajar. Sedikit yang diketahui tentang
prognosis untuk trikotilomania, dan studi menunjukkan bahwa kondisi
dapat hilang untuk waktu yang lama (bulan hingga tahun) tanpa konseling
psikologi. Untuk judi patologis, prognosis sangat bervariasi dari orang
satu ke orang yang lain. Secara alami, beberapa gangguan impuls kontrol
dapat menghasilkan perilaku kriminal dan ilegal.
SELESAI
Kasih Dapus nya dong kak? :D
BalasHapus