BAB I
PENGERTIAN HAM
Hak
Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak
awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat
siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi
nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan,
keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar
HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak
asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan
seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di
Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga
diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah
yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang
tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
SEJARAH HAM
Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta
(hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan
apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti
dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila
seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi
orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada
hakikatnya “Hak Asasi Manusia” terdiri atas dua hak dasar yang paling
fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar
inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak
asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.
Mengingat
begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi
setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu
pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai
dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk
lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang
lain.
SEJARAH INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215
di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang
tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi
ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan
mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir
doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada
hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus
diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada
parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada
hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat
Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan
demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi
konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.
Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih
konkret, dengan lahirnya “Bill of Rights” di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi.
Bill
of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah
berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya
resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau
ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori
Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu
dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna
mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan
HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of
Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi,
walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di
Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah
dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya,
sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration,
dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law.
Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang
semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa
surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula
presumption of innocence, artinya orang-orany yang ditangkap kemudian
ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia
bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas
mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut
keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan
terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French
Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin
tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah
dicanangkan sebelumnya.
Perlu
juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang
dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia
Americana, p.654 tersebut di bawah ini :
“The
first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The
second is freedom of every person to worship God in his own way-every
where in the world. The third is freedom from want which, translated
into world terms, means economic understandings which will secure to
every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in
the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world
terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in
such a through fashion that no nation will be in a position to commit an
act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world.”
Semua
hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan
berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan
HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal
Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.
SEJARAH NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Deklarasi
HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10
Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban
umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan
keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang
Dunia II.
Deklarasi
HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar
negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua
bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke
luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar
terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang
dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam,
mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa
menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam
menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi
negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan
demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia
si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern
rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah
bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka
absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu
negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM
internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi
internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun
hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang
termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai
kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar
belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka
bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya
berlaku untuk semua.
Di
Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di
Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam
buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana)
bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus
mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka
rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot
sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini
kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya
lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam
perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human
Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang
bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang
bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights
mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human
Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan
kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada
hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula
menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap
masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada
kewajiban.
Contoh
: seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih
dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan
demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau
kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya
sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak
boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah
keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain
itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab.
Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
1. Pembentukan Hukum HAM Internasional
Secara
internasional, HAM termasuk kedalam sistem hukum internasional
(dibentuk oleh masyarakat internasional yang terdiri dari
negara-negara). Negara mempunyai peranan penting dalam membentuk sistem
hukum tersebut melalui kebiasaan, perjanjian internasional, atau bentuk
lainnya seperti deklarasi maupun petunjuk teknis. Kemudian negara
menyatakan persetujuannya dan terikat pada hukum internasional tersebut.
Dalam HAM, yang dilindungi dapat berupa individu, kelompok atau harta
benda. Negara atau pejabat negara sebagai bagian dari negara mempunyai
kewajiban dalam lingkup internasional untuk melindungi warga negara
beserta harta bendanya.
Standar
HAM Internasional dibentuk dan dikembangkan dalam berbagai forum
internasional. Proses pembentukan standar ini dilakukan oleh perwakilan
negara-negara dalam forum internasional melalui proses yang panjang dan
dalam kurun waktu yang cukup lama. Proses pembentukan ini tidak hanya
membahas bentuk dan substansi dari rancangan deklarasi dan perjanjian
yang akan disepakati tetapi juga dibahas secara detail pasal per pasal
dan kata perkata dari isi perjanjian yang kemudian disepakati menjadi
perjanjian internasional oleh negara-negara.
Dalam
sistem PBB, setiap perwakilan dari anggota PBB diundang untuk melakukan
persiapan dan negosiasi terkait dengan pembentukan standar HAM
internasional. Hal ini dilakukan agar semua pandangan dari berbagai
negara dengan sistem hukum yang berbeda dapat diakomodasi dalam
rancangan perjanjian atau deklarasi. Dalam membahas racangan tersebut
dilakukan penelitian yang mendalam dan perdebatan yang panjang sampi
disepakati teks akhir dari perjanjian dan deklarasi. Walaupun pada
akhirnya seperti dalam perjanjian internasional masih dibutuhak tindakan
lebih lanjut dari negara-negara untuk menandatangani, mesahan atau
mengsksesi dan mentransformasikannya ke dalam hukum nasional dari
perjanjian tersebut.
Beberapa Badan PBB yang terkait dengan Penegakan Hukum dan Pembentukan standar HAM Internasional:
a. Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly)
Majelis
Umum PBB merupakan salah satu organ utama dari PBB yang setiap negara
anggota PBB terwakili di dalamnya. Kewengan dari Majelis Umum PBB yang
terkait dengan HAM adalah membuat rekomendasi dalam bentuk resolusi,
yang diantaranya menghasilkan Resolusi A/RES/217, tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan kewenangan untuk membuat organ tambahan (subsidiary organs) yang kemudian membentuk Dewan Hak Asasi Manusia melalui Resolusi A/RES/60/251.
b. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and Social Council)
Dewan
Ekonomi dan Sosial PBB, seperti halnya Majelis Umum PBB, merupakan
organ utama dari PBB. Tugasnya adalah memberikan bantuan kepada Majelis
Umum PBB untuk peningkatan kerjasama dalam bidan ekonomi dan sosial.
Salah satu badan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial adalah Komisi HAM PBB
(United Nations Commission for Human Rights) yang kemudian digantikan oleh Dewan HAM PBB.
Sebagian besar perjanjian internasional HAM, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights), merupakan perjanjian yang dihasilkan oleh organ PBB ini.
c. Dewan Hak Asasi Manusia (United Nations Human Rights Council)
Dewan
HAM PBB, merupakan organ PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis
Umum PBB A/RES/60/251, yang menggantikan posisi dari Komisi HAM PBB.
Tugas utamanya adalah melakukan tindak lanjut terhadap pelanggaran HAM
yang terjadi di dunia. Kedudukan Dewan HAM adalah sebagai badan tambahan
dari Majelis Umum PBB.
d. Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM (Sub-Commission on Promotion dan Protection of Human Rigths)
Sub
Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM adalah badan dibawah Dewan HAM
yang bertugas melakukan penelitian atas perlakuan yang tidak adil dan
membuat rekomendasi bahwa HAM dapat terlindungi secara hukum. Sub Komisi
ini terdiri atas 26 ahli HAM.
e. Pertemuan Berkala mengenai Pencegahan Tindak Pidana dan Penanganan Pelaku Tindak Pidana (Periodic Congresses on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders)
2. Sumber Hukum Internasional HAM
Norma
dan standar HAM berasal dari hukum internasional. Sumber hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Piagam
Mahkamah Internasional terdiri dari 3 sumber utama dan 2 sumber
tambahan. Sumber hukum tersebut adalah:
a. Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian
internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh anggota masyarakat
internasional yang terdiri dari negara-negara, bertujuan untuk membentuk
hukum sehingga mempunyai akibat hukum. Bentuknya dapat berupa kovenan,
konvensi, perjanjian dan lain-lain.
b. Hukum Kebiasaan Internasional
Kebiasaan internasional (Customary International Law) adalah kebiasaan internasional antar negara-negara di dunia, merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai ‘hukum’.
c. Prinsip Hukum Umum
Prinsip
Hukum Umum adalah asas hukum umum yang terdapat dan berlaku dalam hukum
nasional negara-negara di dunia. Prinsip ini mendasari sistem hukum
positif dan lembaga hukum yang ada di dunia.
d. Putusan Hakim
Putusan
pengadilan internasional merupakan sumber hukum tambahan dari tiga
sumber hukum utama di atas. Keputusan pengadilan ini hanya mengikat para
pihak yang bersengketa saja. Namun demikian, keputusan tersebut dapat
digunakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai
suatu perkara, yang didasarkan pada tiga sumber hukum utama di atas.
e. Pendapat para ahli hukum internasional
Pendapat
ahli hukum internasional yang terkemuka adalah hasil penelitian dan
tulisan yang sering dipakai sebagai pedoman untuk menemukan apa yang
menjadi hukum internasional. Meskipun demikian, Pendapat tersebut bukan
merupakan suatu hukum.
Dalam
hukum internasional sebagaimana juga dalam hukum HAM internasional
terdapat beberapa bentuk produk hukum, diantaranya adalah:
a.
Resolusi adalah keputusan yang diambil oleh suatu badan dalam
organisasi internasional dalam hal ini adalah PBB. Di PBB terdapat dua
resolusi yang sangat penting, pertama adalah resolusi yang dihasilkan
oleh Majelis Umum PBB. Resolusi ini tidak mempunyai kekuatan hukum
walaupun ada beberapa Resolusi yang cukup otoritatif seperti Resolusi
tentang DUHAM. Kedua resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB.
Resolusi Dewan Keamana PBB mempunyai kekuatan hukum, dimana negara
anggota PBB harus mengikuti isi dari resolusi yang dikeluarkan oleh DK
PBB.
b. Konvensi
adalah perjanjian internasional yang jelah mempunyai kekuatan hukum.
Konvensi mempunyai nama yang bermacam-macam seperti Kovenant, Pakta,
Agreement, Charter (Piagam) dan lain-lain.
c. Protocol
dan Annex adalah penjelasan atau aturan lebih lanjut dari Konvensi atau
perjanjian internasional. Protokol dan Annex tidak berdiri sendiri
dalam pelaksanaannya, karena terkait erat dengan perjanjian induknya.
3. Instrumen Hukum HAM
Dalam
Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi,
melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara
universal ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1
(3):
”Untuk
memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah
internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan
menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis
kelamin, bahasa atau agama …”
Komitmen
ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan
instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:
a. Instrumen Hukum yang Mengikat
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang
diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang
terdapat dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan
diterima oleh negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa.
DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum
dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam
DUHAM merupakan realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam
PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10
dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut menetapkan hak untuk
hidup; hak atas kebebasan dan keamanan diri; pelarangan
penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan
merendahkan martabat manusia; pelarangan penangkapan sewenang-wenang;
hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti
bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan,
DUHAM merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
Hak-hak
dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara
internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:
§ Hak hidup;
§ Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau direndahkan martabat;
§ Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
§ Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual;
§ Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan
§ Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut mengaksesinya
atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga
mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi
oleh Komite Hak Asasi Manusia.
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
Kovenan
ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun
2005 mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam
Kovenan ini adalah:
§ Hukum
berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan
budaya masyarakat.
§ Asumsi
bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam
pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi
terdapat prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan
paksa.
§ Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling terkait satu sama lain.
Seperti
halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam
pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide)
Kovensi
ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu
pelanggaran HAM berat. Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai
kejahatan internasional dan menetapkan perlunya kerjasama internasional
untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida.
Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang
Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan
Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih
lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan
Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah
legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya
guna: 1) mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler),
atau pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan
yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam
keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar
setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu
wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar
kasusnya diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang secara
tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya
dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat
dari pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban
memperoleh ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi yang adil
dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh Komite
Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang
terdapat didalamnya.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
Konvensi
ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui
UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk
diskriminasi rasial dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang untuk
diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal
usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan
Diskriminasi Rasial, yang mengawasi pelaksanaannya.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
Kovensi
ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia
melalui UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah
menjadi instrumen internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap
perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil.
Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara yang tepat
dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus
diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada
mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga
mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW).
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi
Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia
melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus
menghormati dan menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara juga harus
mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak
dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan
pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan orang
tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga
membentuk Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi
Konvensi.
Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees)
Konvesi
ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi
ini walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan
dengan istilah “internaly displaced person” atau pengungsi yang
berpindah daerah dalam satu negara. Pengungsi dalam konvensi ini
didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan negaranya karena takut
disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau
keanggotaan pada kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang
karena ketakutan. Kovensi Pengungsi menentukan empat prinsip HAM dalam
menangani pengungsi, yaitu: persamaan hak, tidak adanya pengasingan
terhadap hak-hak mereka, universalitas dari hak-hak mereka, serta hak
untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.
b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat
Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials)
Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169 tentang Pedoman
Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan bagi
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang
mengatur mengenai tanggung jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM,
penggunaan kekerasan, penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan
penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia, perlindungan kesehatan tahanan,
pemberantasan korupsi, serta penghargaan terhadap hukum dan
undang-undang.
Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)
Prinsip-prinsip
ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa penggunaan
kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta
sesuai dengan tugas pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan
perundangan.
Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance)
Deklarasi
ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di dalamnya
terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan
tindakan penahanan tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini mensyaratkan adanya
langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, maupun langkah-langkah
efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan tindakan penghilangan
paksa.
Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence against Women)
Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi mengenai
Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak
dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta
menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin
pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar dalam penyusunan rancangan
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)
Deklarasi
ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi Pembela
HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan
kegiatan mereka. Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih
pada memberikan panduan bagi para pembela HAM terkait dengan pekerjaan
mereka. Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam pemenuhan HAM, serta
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para pembela HAM, disamping
juga menjelaskan hubungan antara HAM dan hukum nasional suatu negara.
Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan aktivitasnya dengan cara-cara
damai.
Prinsip-prinsip
tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir
(Principles on the Effective Prevention and Investigation of
Extra-legal, Arbitrary and Summary Executions )
Prinsip-prinsip
tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman Mati yang
Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang
direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003.
Prinsip-prinsip ini memberikan panduan bagi penegak hukum dalam
mengadili para pelaku tindak pidana. Prinsip-prinsip ini menekankan
pentingnya pengawasan (termasuk kejelasan dalam rantai komando) terhadap
lembaga-lembaga penegak hukum. Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan
secara rinci mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk hidup.
4. Pengawasan terhadap Pemenuhan HAM
Pengawasan
HAM dibagi dua, yaitu pengawasan di tingkat nasional dan tingkat
internasional. Di tingkat nasional, pengawasan dilakukan antara lain
oleh:
§ Lembaga pemerintah termasuk Polisi;
§ Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Anak;
§ Lembaga Swadaya Masyarakat;
§ Pengadilan;
§ Dewan Perwakilan Rakyat;
§ Media Masa;
§ Organisasi Profesi seperti IDI dan Peradi;
§ Organisasi Keagamaan;
§ Pusat Kajian di Universitas.
Adapun pengawasan di tingkat internasional atau PBB didasarkan pada perjanjian internasional mengenai HAM:
Perjanjian Hak Asasi Manusia (Instrumen)
|
Badan Pengawas Pelaksanaan Perjanjian
|
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
|
Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on Economic Social and Cultural Rights)
|
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
|
Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee)
|
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras
|
Komite Penghapusan Diskriminasi Ras (Committee on Elimination Racial Discrimination)
|
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
|
Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on Eliminations Discrimination Against Women)
|
Konvensi
menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kenjam,
Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
|
Komite Menentang Penyiksaan (Committee on Against Torture)
|
Konvensi Hak Anak ( Convention on the Rights of the Child)
|
Komite Hak Anak (Committee on Rights of the Child)
|
Setiap
perjanjian internasional HAM mempunyai sistem pengawasan yang
berbeda-beda. Walaupun sistem pengawasan dari setiap konvensi mengenai
HAM berbeda-beda tetapi satu dengan yang lainnya saling melengkapi.
Pengawasan ini berfungsi untuk mengiventarisasi secara periodik dan
sistematik terhadap kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara
terkait dengan pelaksanaan kewajiban yang terdapat di dalam konvensi.
Pengawasan ditujukan agar terjadi dialog antara komite HAM terkait
dengan negara-negara peserta yang bertujuan untuk membantu transformasi
konvensi HAM internasional kedalam perundang-undangan nasional serta
membantu pelaksanaan kewajiban yang harus dilakukan oleh negara. Dialog
ini dilakukan secara terbuka antara Komite dan wakil dari negara.
BAB II
PELANGGARAN
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak
Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia
adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM meliputi :
- Kejahatan genosida;
- Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
- Membunuh anggota kelompok;
- mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
- menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
- memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
- memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
- pembunuhan;
- pemusnahan;
- perbudakan;
- pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
- perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
- penyiksaan;
- perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
- penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
- penghilangan orang secara paksa; atau
- kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Penyiksaan
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun
rohani, pada seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari
seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan
yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau
orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga,
atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi,
apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas
hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau
pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM)
Penghilangan orang secara paksa
adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang
tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat 2
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak
Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia
adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM meliputi :
- Kejahatan genosida;
- Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
- Membunuh anggota kelompok;
- mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
- menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
- memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
- memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
- pembunuhan;
- pemusnahan;
- perbudakan;
- pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
- perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
- penyiksaan;
- perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
- penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
- penghilangan orang secara paksa; atau
- kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Penyiksaan
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun
rohani, pada seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari
seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan
yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau
orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga,
atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi,
apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas
hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau
pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM)
Penghilangan orang secara paksa
adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang
tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat 2
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
6. Trisakti, Semanggi I dan II
Beberapa kasus pelanggaran berat HAM seperti peristiwa G30S, Tanjung Priok, Warsidi Lampung sampai Kasus Semanggi I dan II kemungkinan bakal digarap KKR. Mungkinkah menuai sukses?
Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan sosial yang mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi dipicu oleh menyalaknya senapan aparat yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti.
Kerusuhan, menurut laporan Relawan Kemanusiaan, tidak berlangsung begitu saja. Fakta yang aneh, menurut mereka, setelah terjadi aksi kerusuhan yang sporadis, aparat tampak menghilang, sementara sebagian kecil saja hanya memandangi aksi penjarahan yang berlangsung didepan mereka.
Masih
menurut laporan Relawan, kerusuhan itu tampak direkayasa. Aksi itu
dipimpin oleh sekelompok provokator terlatih yang memahami benar aksi
gerilya kota. Secara sporadis mereka mengumpulkan dan menghasut massa
dengan orasi-orasi. Ketika massa mulai terbakar mereka
meninggalkan kerumunan massa dengan truk dan bergerak ke tempat lain
untuk melakukan hal yang sama.
Dari lokasi yang baru, kemudian mereka kembali ke lokasi semula dengan ikut membakar, merampon mal-mal. Sebagian warga yang masih dalam gedung pun ikut terbakar. Data dari Tim Relawan menyebutkan sekurangnya 1190 orang tewas terbakar dan 27 lainnya tewas oleh senjata.
Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.
Pam
Swakarsa terdiri dari tiga kelompok, dari latar belakang yang berbeda.
Pembentukan Pam Swakarsa belekangan mendapat respon negatif dari
masyarakat. Mereka kemudian mendukung aksi mahasiswa, yang sempat
bentrok dengan Pam Swakarsa.
Dalam tragedi Semanggi I yang menewaskan lima mahasiswa, salah satunya Wawan seorang anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara begitu agresif memburu dan menembaki mahasiswa. Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa, seperti ditayangkan oleh sebuah video dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR Selasa 6 Maret 2001.
Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara yang berada di garis depan berhadapan dengan aksi massa mahasiswa yang tenang. Pasukan AD yang didukung alat berat militer ini melakukan penembakan bebas ke arah mahasiswa.
Para tentara terus mengambil posisi perang, merangsek, tiarap di sela-sela pohon sambil terus menembaki mahasiswa yang berada di dalam kampus. Sementara masyarakat melaporkan saat itu dari atap gedung BRI satu dan dua terlihat bola api kecil-kecil meluncur yang diyakini sejumlah saksi sebagai sniper. Serbuan tembakan hampir berlangsung selama dua jam.
Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22, mahasiswa Fakultas Teknik UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB).
Kasus ini, menurut Hermawan Sulistyo dari Tim Pencari Fakta Independen menyebut seperti sudah diperkirakan sebelumnya oleh aparat. Dia menurutkan begini; ''Yun Hap ditembak pukul 20:40 oleh konvoi aparat keamanan yang menggunakan sekurangnya enam truk militer yang mendekat dari arah Dukuh Atas. Konvoi menggunakan jalan jalur cepat sebelah kanan alias melawan arus. Paling depan tampak mobil pembuka jalan menyalakan lampu sirine tanpa suara. Sejak masuk area jembatan penyeberangan di depan bank Danamon, truk pertama konvoi mulai menembak. Sejumlah saksi mata
melihat berondongan peluru dari atas truk pertama, menyusul tembakan dari truk-truk berikutnya.''
Berdasarkan fakta di lapangan TPFI menegaskan tidak mungkin ada kendaraan lain selain kendaraan aparat. Sebab, jalur cepat yang dilalui truk-truk itu masih ditutup untuk umum. Lagi pula truk-truk itu bergerak melawan arus, jadi tidak mungkin ada mobil lain yang mengikuti.
Kini akibat peritiwa itu, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum. Mereka adalah Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya), Irjen (Pol) Hamami Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdan jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).
7.KEKERASAN TERHADAP ANAK
A. KASUS PENYIKSAAN ANAK KANDUNG OLEH KEDUA ORANG TUA CINCINNATI –
Perbuatan
sepasang suami istri asal Ohio ini sudah sangat kelewatan. Tanpa alasan
yang jelas, Paul dan Robin Kraft menganiaya lima anak kandung mereka
yang usianya berkisar antara 1 hingga 5 tahun. Maka, pantas jika
Pengadilan Hamilton County mengganjar mereka masing-masing hukuman
penjara lima kali seumur hidup dan 40 tahun.
Jaksa
penuntut yang menangani kasus Kraft mengatakan bahwa penyiksaan
terhadap anak kandung tersebut dilakukan pada tahun 2004 lalu. Juni
lalu, Robin dinyatakan bersalah atas dua dakwaan perkosaan dan empat
dakwaan penyiksaan anak yang dikenakan kepadanya. Wanita 26 tahun asal
Winton Hills itu mengaku telah menyiksa sedikitnya salah satu anak
kandungnya dan memaksa empat lainnya untuk saling berhubungan seks.
Atas
perbuatan biadab yang dilakukannya, Hakim Common Pleas Hamilton County
David Davis menjatuhkan hukuman maksimal 40 tahun kepada Robin, Jumat
lalu. Menurut Davis, hukuman maksimal itu diberikan untuk mencegah Robin
bebas dan kembali mengasuh anak-anaknya. “Anak-anak tersebut memang
tidak dipukuli, tidak ada memar atau bekas luka. Tapi pemulihan akibat
perlakuan Robin membutuhkan waktu lama,” kata asisten jaksa Mark
Piepmeier.
Undang-undang
penyiksaan anak, sebenarnya, cukup jarang digunakan di Ohio. Pasalnya,
untuk mengajukan tuntutan harus ada bukti-bukti yang lengkap. Sementara,
penyiksaan yang dialami anak-anak Kraft itu bukan berupa siksaan fisik.
“Anak-anak tersebut mengalami siksaan psikologi yang cukup serius.
Untuk menyelesaikan kasus ini, kami menerapkan sebuah teori baru. Dan,
untungnya teori tersebut berhasil,” imbuh Piepmeier.
Maret
lalu, pengadilan yang sama juga menjatuhkan hukuman berat kepada Paul
atas kejahatan yang sama. Pria 32 tahun tersebut diganjar hukuman lima
kali seumur hidup atas lima dakwaan perkosaan. Sementara untuk 12
dakwaan merangsang anak di bawah umur secara seksual, Paul mendapatkan
hukuman tambahan 96 tahun penjara. Selain itu, dia juga tidak
mendapatkan hak bebas sementara dari penjara di bawah perjanjian khusus,
seperti tahanan yang lain.
Suami
istri bejat tersebut ditangkap deputi sherif Hamilton County, Maret
lalu. Kejahatan keduanya terungkap setelah seorang agen Badan Rahasia
AS, yang sudah cukup lama mengamati sepak terjang Paul di internet,
berhasil mengontak pria tersebut. Agen rahasia yang berada di Miami itu
kemudian chatting dengan Paul di ruang bincang maya (chat room) bertajuk
seks bayi dan pra remaja.
Dalam
sebuah percakapan maya online, Paul memberikan sebuah tawaran yang
sangat mengejutkan kepada agen rahasia tersebut. Dia menawarkan diri
untuk memerkosa putri kandungnya yang masih berusia tiga tahun dan
menayangkannya langsung via internet. Paul tidak segan-segan melakukan
itu, jika orang lain bersedia melakukan hal yang sama dan dia diizinkan
melihat tayangannya secara live.
Mencium
gelagat yang tidak baik, agen rahasia itu pun segera mengontak deputi
sherif Hamilton County. Setelah menerima laporan itu, deputi sherif
tersebut segera meluncur ke rumah keluarga Kraft serta menangkap Paul
dan istrinya. Selama orang tua mereka menjalani pemeriksaan, lima anak
kandung Kraft dirawat di panti pengasuhan. Trauma yang mereka alami,
membuat lima anak tak berdosa itu sulit
berkomunikasi.
Namun dengan terapi teratur, belakangan mereka sudah bisa menceritakan
kebusukkan orang tua mereka kepada petugas. (ap/*/hep)
Jawa Pos, Selasa, 01 Agt 2006,
Jawa Pos, Selasa, 01 Agt 2006,
B. PENELANTARAN ANAK
REPUBLIKA.CO.ID,
MEDAN--Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait,
mengatakan, jutaan anak Indonesia mengalami pelanggaran Hak Asasi
Manusia setiap tahun. Jenis bentuk pelanggaran HAM pun beragam.
Dalam seminar pendidikan anak bertema "Anakku Mada Depanku" di Medan, akhir pekan lalu, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, perlindungan terhadap hak anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penghormatan terhadap HAM. "Pengabaian hak anak sama halnya dengan pelanggaran
Dalam seminar pendidikan anak bertema "Anakku Mada Depanku" di Medan, akhir pekan lalu, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, perlindungan terhadap hak anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penghormatan terhadap HAM. "Pengabaian hak anak sama halnya dengan pelanggaran
HAM," katanya.
Arist Merdeka menyatakan, pelanggaran HAM anak yang terjadi itu mulai dari pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga penularan HIV/Aids. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kasus pembuangan bayi yang umumnya dilakukan kalangan orang tua mengalami tren peningkatan.
Pada tahun 2008, Komnas PA menerima pengaduan kasus pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Sedangkan tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 904 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam, mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api, hingga selokan dan tempat sampah.
Dari laporan yang didapatkan dari masyarakat, sekitar 68 persen bayi yang dibuang tersebut meninggal dunia. "Sedangkan sisanya diasuh masyarakat atau dititipkan di panti asuhan," katanya.
Kemudian, dari data yang didapatkan dari Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Komnas PA menemukan sekitar 5,4 juta anak yang mengalami kasus penelantaran pada tahun 2009. Sedangkan anak yang hampir ditelantarkan mencapai 17,7 juta orang, kata Arist Merdeka.
Kasus pelanggaran HAM anak yang lain adalah gizi buruk (marasmus kwasiokor) yang berdasarkan dari UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak, jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia. Dalam data Komnas PA, salah satu wilayah yang paling terjadi kasus gizi buruk itu adalah Sumatera Barat.
"Di daerah ini (Sumatera Barat), 23 ribu anak dari 300 ribu usia balita mengalami gizi buruk," katanya. Namun Arist Merdeka Sirait menyatakan, kasus gizi buruk dan kekurangan gizi juga banyak terdapat di daerah lain.
Adapun kasus penularan HIV/Aids di Indonesia, terdapat 18.442 kasus orang tua yang menderita penyakit mematikan tersebut hingga September 2009. Mereka, kata Aries, tentu berpotensi menularkan terhadap anak berdasarkan laporan yang didapatkan dari Kementerian Kesehatan.VVV
8. KASUS KDRT
Sehari Lapor Dua Kasus KDRT
Sriwijaya Post - Minggu, 14 Maret 2010 21:14 WIB
PALEMBANG - Nureha (40) ibu rumah tangga warga jl Ratu Sianom Lr H Umar No 700 RT 19 RW 4 Kelurahan 1 Ilir Kecamatan IT II melaporkan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialaminya.
Kejadian
berawal ketika ia cekcok dengan suaminya, Ahmad Yani (42), Minggu (7/3)
pukul 15.30. Mereka bertengkar mengenai permasalahan anak. Entah setan
apa yang masuk ke suaminya,
tiba-tiba
Ahmad memukul istrinya dengan menggunakan kayu. Karena kalah tenaga,
korban tidak sempat mengelak bahkan menyelamatkan diri.
Atas
kejadian tersebut Nureha dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan
perawatan karena mengalami luka lecet di siku tangan sebelah kiri, luka
lecet di kaki sebelah kanan, rasa sakit di
bagian
kepala. Seminggu sesudah kejadian, Nureha yang ditemani anaknya
melaporkan kasus KDRT tersebut ke Poltabes Palembang, Sabtu (13/3) pukul
09.44.
Sedangkan
di tempat berbeda, Ria Fatmawati (22) ibu rumah tangga warga Jl
Gubernur H A Bastari Lr Budi Mulya I RT 26 Jakabaring belakang kantor
PLN juga mengalami kasus KDRT yang dilakukan oleh suaminya Jasmian (32),
swasta.
Kejadian
berawal ketika Ria dan suaminya terlibat selisih paham masalah ekonomi,
Sabtu (13/3) pukul 07.30. Dalam pertengkaran itu, Jasmian memukul
istrinya dengan tangan kosong. Karena
tidak
sempat mengelak, Ria mengalami luka memar, bengkak di dahi sebelah kiri
dan rasa sakit di telinga sebelah kanan. Akhirnya ibu muda ini
melaporkan suaminya ke Poltabes Palembang atas pemukulan tersebut, Sabtu
pukul 08.23.
Kapoltabes
Palembang Kombes Pol Luki Hermawan melalui Wakasat Reskrim AKP Hans
Rakmatulloh telah menerima laporan tersebut dan dalam proses
penyelidikan.
B.Penggusuran
Penggusuran
adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tak langsung
yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan
sumber-daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha.
Penggusuran terjadi di wilayah urban karena keterbatasan dan mahalnya lahan. Di wilayah rural penggusuran biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya bendungan.
Di
kota besar, penggurusan kampung miskin menyebabkan rusaknya jaringan
sosial pertetanggaan dan keluarga, merusak kestabilan kehidupan
keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan aset hunian.
Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki
penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait
dilakukan untuk menghindari penggusuran.
Akan
tetapi, penggusuran adalah hal yang mutlak untuk menanggulangi penduduk
liar. Hal ini karenakan mereka sama sekali tidak membayar tanah. Dan
lagi, mereka harus dipulangkan ke daerah asalnya, seperti transmigrasi
Penggusuran
adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tak langsung
yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan
sumber-daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha.
Penggusuran terjadi di wilayah urban karena keterbatasan dan mahalnya lahan. Di wilayah rural penggusuran biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya bendungan.
Di
kota besar, penggurusan kampung miskin menyebabkan rusaknya jaringan
sosial pertetanggaan dan keluarga, merusak kestabilan kehidupan
keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan aset hunian.
Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki
penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait
dilakukan untuk menghindari penggusuran.
Akan
tetapi, penggusuran adalah hal yang mutlak untuk menanggulangi penduduk
liar. Hal ini karenakan mereka sama sekali tidak membayar tanah. Dan
lagi, mereka harus dipulangkan ke daerah asalnya, seperti transmigrasi
PENGGUSURAN RUMAH WARGA
Gubernur
DKI Jakarta Janjikan Rumah Susun Jakarta, Kompas – Penggusuran paksa
terus dilakukan oleh aparat Satuan Pelaksana Ketentraman Ketertiban dan
Perlindungan Masyarakat (Tramtib dan Linmas) Jakarta Utara terhadap
bangunan warga yang masih bertahan di bantaran kali Banjir Kanal Barat
Teluk Gong, Jakarta Utara.
Dalam kaitan itu, Wali Kota Jakarta Utara menjanjikan warga yang digusur bisa menempati rumah susun.
Sejumlah
petugas lapangan PT Jakarta Propertindo selaku pemborong proyek
pengurukan bantaran kali, Jumat (17/1), menggusur sebuah tenda yang
ditempati oleh 15 warga yang bertahan. Sebuah buldoser memorakporandakan
tenda ketika warga sedang beristirahat di dalam tenda.
Yadi
(41), seorang warga bantaran kali, menuturkan, sekitar pukul 10.50,
seorang petugas lapangan PT Jakarta Propertindo bernama Rela dan dua
temannya langsung membongkar tenda.
Menurut
Juriah, warga lainnya, ada sebanyak 23 keluarga atau sebanyak 50 warga
yang masih bertahan. “Banyak juga dari warga sini yang akhirnya menerima
dan pindah mencari tempat lain, bahkan ada yang balik ke kampung. Tapi
kami akan tetap bertahan sampai keadilan ditegakkan. Selain uang ganti
rugi yang cuma Rp 500.000 untuk satu rumah, sampai sekarang kami juga
enggak tahu rumah susunnya di mana dan kapan kami bisa menempatinya,”
kata Juriah.
Tetap gusur
Menanggapi
masalah warga penghuni bantaran kali Banjir Kanal Barat Teluk Gong yang
masih bertahan, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol
Pemerintah Kota Jakarta Utara Anas Djabir mengatakan, pihaknya akan
tetap melakukan penggusuran. Alasannya, hal itu sesuai dengan Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 mengenai Ketertiban Umum.
Menurut
Anas, sebenarnya penggusuran tersebut telah disampaikan kepada warga
oleh Camat Penjaringan dan Lurah Pejagalan. “Data di kelurahan
menunjukkan bahwa semua penghuni bantaran kali Banjir Kanal sudah
mendapatkan uang kerohiman atau uang kebijaksanaan, yang jumlahnya
memang Rp 500.000. Tapi itu bukan uang ganti rugi, tanahnya kan milik
negara,” paparnya.
Anas
menambahkan, Gubernur DKI Jakarta juga telah menyiapkan rumah susun
Tipe 36 sebagai tempat tinggal alternatif mereka di Kalideres, Jakarta
Barat. Rumah susun tersebut terdiri dari 20 blok dan mampu menampung
sebanyak 2.000 keluarga, dan mereka tidak akan dikenai uang muka.
Mereka
membayar Rp 90.000 per bulan sebagai uang kontrakan. “Rencananya, rumah
susun bisa ditempati awal Maret mendatang,” kata Anas.
Menurut
Wali Kota Jakarta Utara Soebagio, pihaknya sejak awal Januari lalu
sudah mendata warganya yang bakal dan sudah kena gusur, khususnya di
daerah Muara Baru, Kelurahan Penjaringan, dan di bantaran Kali Muara
Angke, Kecamatan Penjaringan.
“Pendataan
tersebut saya harapkan bisa segera dilakukan agar kami bisa segera
memperkirakan berapa luas tanah yang diperlukan untuk membangun rumah
susun bagi warga yang bakal digusur,” tutur Soebagio. (NIC/B17)
- Gubernur DKI Jakarta Janjikan Rumah Susun
Jakarta,
Kompas – Penggusuran paksa terus dilakukan oleh aparat Satuan Pelaksana
Ketentraman Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat (Tramtib dan Linmas)
Jakarta Utara terhadap bangunan warga yang masih bertahan di bantaran
kali Banjir Kanal Barat Teluk Gong, Jakarta Utara.
Dalam kaitan itu, Wali Kota Jakarta Utara menjanjikan warga yang digusur bisa menempati rumah susun.
Sejumlah
petugas lapangan PT Jakarta Propertindo selaku pemborong proyek
pengurukan bantaran kali, Jumat (17/1), menggusur sebuah tenda yang
ditempati oleh 15 warga yang bertahan. Sebuah buldoser memorakporandakan
tenda ketika warga sedang beristirahat di dalam tenda.
C. PENYIKSAAN TERHADAP TKW
KASUS SUMIATI
Duta
Besar Arab Saudi untuk Indonesia Abdulrahman al-Khayyath mengatakan
kasus yang menimpa Sumiati, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Dompu, Nusa
Tenggara Barat itu tergolong kasus ‘nyeleneh’. “Kasus yang dialami
Sumiati jarang terjadi di Saudi. Dan baru kali terjadi kasus seperti
ini,” kata al-Khayyath dalam jumpa pers di kediamannya di Jalan Teuku
Umar, Jakarta, Kamis (18/10).
Al-Khayyath
mengaku prihatin dengan tragedi yang menimpa Sumiati yang tergolong
sadis. Walau demikian, kata dia, pihak berwajib di Arab Saudi telah
melakukan penyelidikan mendalam untuk mengungkap kasus memilukan ini.
“Aparat berwenang di Kerajaan Saudi akan melakukan upaya-upaya hukum
dalam memproses kasus tersebut. Akan ada pemberitahuan secara transparan
terkait perkembangan kasus ini. Kami akan bekerjasama dengan pihak KBRI
di Riyadh,” jelas al-Khayyath.
Peristiwa
yang menimpa Sumiati sangat memiriskan dan melukai harga diri bangsa.
Perempuan berusia 23 tahun itu diperlakukan secara tak manusiawi oleh
majikannya di Madinah. Ia disiksa, diperlakukan tidak semestinya,
disetrika dan mulutnya digunting. Penyiksaan terhadap Sumiati terkuak
pada Senin (7/10) lalu. Saat itu Sumiati dibawa ke rumah sakit swasta di
Madinah. Namun karena luka yang dideritanya terlalu parah, ia pun
dirujuk ke Rumah Sakit King Fahd.
Sejauh
ini memang tidak terdapat Memorandum of Understanding (MoU) terkait
dengan perlindungan TKI/TKW antara pemerintah RI dengan Kerajaan Arab
Saudi. Namun al-Khayyath mengatakan pemerintahnya menjamin penuh
keselamatan para pekerja asing di negerinya. Apalagi tenaga kerja asal
Indonesia yang dianggap paling sopan dan santun dibandingkan tenaga
kerja asing lainnya.
“Kami
menjamin keselamatan tiap orang yang datang ke Saudi, baik itu tenaga
kerja maupun wisatawan, walau tanpa MoU. Dan kami menjamin bahwa proses
hukum terhadap pelaku penyiksaan akan terus berjalan sesuai dengan
mekanisme dan undang-undang yang berlaku di Saudi,” tegasnya.
Al-Khayyath
menambahkan, Arab Saudi menganut prinsip adanya persamaan di muka
hukum. Siapa pun yang terlibat dan melanggar hukum akan diproses tanpa
pandang bulu. Dalam kasus Sumiati, pemerintah Saudi membentuk pengadilan
khusus untuk memprosesnya. “Kepada tersangka akan dijatuhkan vonis
sesuai dengan perbuatannya, bisa berupa pemenjaraan ataupun denda,”
katanya.
“Dan
kami akan terus memberikan informasi secara transparan kepada KBRI di
Riyadh terkait dengan perkembangan kasus ini hingga dijatuhkannya vonis.
Kami juga akan memberikan informasi kepada media-media di Indonesia
tanpa ada satupun yang ditutup-tutupi,” al-Khayyath menegaskan.
Guna
mempercepat proses hukum atas kasus tersebut, Kedutaan Besar Arab Saudi
di Indonesia telah mengeluarkan sejumlah visa untuk para pejabat teras
Indonesia yang akan berangkat ke Saudi. Mereka adalah para pejabat yang
ditugaskan oleh Presiden RI untuk memberikan advokasi terhadap Sumiati.
Sebelumnya,
pemerintah RI telah melayangkan nota diplomatik melalui KBRI di Arab
Saudi yang isinya mengecam perlakuan sadis terhadap Sumiati, Rabu
(17/19). Apa pun alasannya, penyiksaan yang dilakukan sang majikan
terhadap Sumiati tidak bisa diterima. "Apapun sebab dan alasannya, kita
tidak terima Sumiati disiksa seperti itu," kata Duta Besar Indonesia
untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur.
DAFTAR PUSAKA
Koran Kabar Priangan//KATA PENGANTAR
Untuk memenuhi tugas dari guru yang telah diberikan pada kelompok kami, maka dengan ini kami menjalankan tugas yang telah diberikan oleh guru PKN, kami yaitu Bapak Wawan.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Wawan yang telah memberikan tugas kepada kami. Dan alhamdulilah kami bisa menyelesaikan tugas ini, meskipun masih banyak kekurangan. Ini sebagai pelajaran yang berhak kami dapat, agar kami bisa lebih memahami tentang Hak Asasi Manusia ( HAM ) dan agar kami bisa bekerja kelompok sebagai rasa kebersamaan kami. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih.
Penyusun :
Sylvia Mahaedalli
Aghnia R W
Mina Parhatus
Qurrata A’ yuni
Roni Sujana
BAB I
PENGERTIAN HAM
Hak
Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak
awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat
siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi
nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan,
keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar
HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak
asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan
seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di
Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga
diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah
yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang
tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
SEJARAH HAM
Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta
(hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan
apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti
dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila
seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi
orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada
hakikatnya “Hak Asasi Manusia” terdiri atas dua hak dasar yang paling
fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar
inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak
asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.
Mengingat
begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi
setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu
pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai
dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk
lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang
lain.
SEJARAH INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215
di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang
tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi
ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan
mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir
doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada
hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus
diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada
parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada
hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat
Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan
demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi
konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.
Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih
konkret, dengan lahirnya “Bill of Rights” di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi.
Bill
of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah
berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya
resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau
ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori
Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu
dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna
mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan
HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of
Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi,
walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di
Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah
dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya,
sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration,
dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law.
Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang
semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa
surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula
presumption of innocence, artinya orang-orany yang ditangkap kemudian
ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia
bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas
mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut
keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan
terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French
Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin
tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah
dicanangkan sebelumnya.
Perlu
juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang
dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia
Americana, p.654 tersebut di bawah ini :
“The
first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The
second is freedom of every person to worship God in his own way-every
where in the world. The third is freedom from want which, translated
into world terms, means economic understandings which will secure to
every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in
the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world
terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in
such a through fashion that no nation will be in a position to commit an
act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world.”
Semua
hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan
berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan
HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal
Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.
SEJARAH NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Deklarasi
HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10
Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban
umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan
keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang
Dunia II.
Deklarasi
HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar
negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua
bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke
luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar
terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang
dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam,
mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa
menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam
menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi
negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan
demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia
si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern
rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah
bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka
absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu
negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM
internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi
internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun
hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang
termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai
kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar
belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka
bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya
berlaku untuk semua.
Di
Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di
Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam
buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana)
bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus
mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka
rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot
sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini
kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya
lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam
perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human
Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang
bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang
bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights
mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human
Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan
kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada
hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula
menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap
masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada
kewajiban.
Contoh
: seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih
dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan
demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau
kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya
sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak
boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah
keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain
itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab.
Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
1. Pembentukan Hukum HAM Internasional
Secara
internasional, HAM termasuk kedalam sistem hukum internasional
(dibentuk oleh masyarakat internasional yang terdiri dari
negara-negara). Negara mempunyai peranan penting dalam membentuk sistem
hukum tersebut melalui kebiasaan, perjanjian internasional, atau bentuk
lainnya seperti deklarasi maupun petunjuk teknis. Kemudian negara
menyatakan persetujuannya dan terikat pada hukum internasional tersebut.
Dalam HAM, yang dilindungi dapat berupa individu, kelompok atau harta
benda. Negara atau pejabat negara sebagai bagian dari negara mempunyai
kewajiban dalam lingkup internasional untuk melindungi warga negara
beserta harta bendanya.
Standar
HAM Internasional dibentuk dan dikembangkan dalam berbagai forum
internasional. Proses pembentukan standar ini dilakukan oleh perwakilan
negara-negara dalam forum internasional melalui proses yang panjang dan
dalam kurun waktu yang cukup lama. Proses pembentukan ini tidak hanya
membahas bentuk dan substansi dari rancangan deklarasi dan perjanjian
yang akan disepakati tetapi juga dibahas secara detail pasal per pasal
dan kata perkata dari isi perjanjian yang kemudian disepakati menjadi
perjanjian internasional oleh negara-negara.
Dalam
sistem PBB, setiap perwakilan dari anggota PBB diundang untuk melakukan
persiapan dan negosiasi terkait dengan pembentukan standar HAM
internasional. Hal ini dilakukan agar semua pandangan dari berbagai
negara dengan sistem hukum yang berbeda dapat diakomodasi dalam
rancangan perjanjian atau deklarasi. Dalam membahas racangan tersebut
dilakukan penelitian yang mendalam dan perdebatan yang panjang sampi
disepakati teks akhir dari perjanjian dan deklarasi. Walaupun pada
akhirnya seperti dalam perjanjian internasional masih dibutuhak tindakan
lebih lanjut dari negara-negara untuk menandatangani, mesahan atau
mengsksesi dan mentransformasikannya ke dalam hukum nasional dari
perjanjian tersebut.
Beberapa Badan PBB yang terkait dengan Penegakan Hukum dan Pembentukan standar HAM Internasional:
a. Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly)
Majelis
Umum PBB merupakan salah satu organ utama dari PBB yang setiap negara
anggota PBB terwakili di dalamnya. Kewengan dari Majelis Umum PBB yang
terkait dengan HAM adalah membuat rekomendasi dalam bentuk resolusi,
yang diantaranya menghasilkan Resolusi A/RES/217, tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan kewenangan untuk membuat organ tambahan (subsidiary organs) yang kemudian membentuk Dewan Hak Asasi Manusia melalui Resolusi A/RES/60/251.
b. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and Social Council)
Dewan
Ekonomi dan Sosial PBB, seperti halnya Majelis Umum PBB, merupakan
organ utama dari PBB. Tugasnya adalah memberikan bantuan kepada Majelis
Umum PBB untuk peningkatan kerjasama dalam bidan ekonomi dan sosial.
Salah satu badan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial adalah Komisi HAM PBB
(United Nations Commission for Human Rights) yang kemudian digantikan oleh Dewan HAM PBB.
Sebagian besar perjanjian internasional HAM, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights), merupakan perjanjian yang dihasilkan oleh organ PBB ini.
c. Dewan Hak Asasi Manusia (United Nations Human Rights Council)
Dewan
HAM PBB, merupakan organ PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis
Umum PBB A/RES/60/251, yang menggantikan posisi dari Komisi HAM PBB.
Tugas utamanya adalah melakukan tindak lanjut terhadap pelanggaran HAM
yang terjadi di dunia. Kedudukan Dewan HAM adalah sebagai badan tambahan
dari Majelis Umum PBB.
d. Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM (Sub-Commission on Promotion dan Protection of Human Rigths)
Sub
Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM adalah badan dibawah Dewan HAM
yang bertugas melakukan penelitian atas perlakuan yang tidak adil dan
membuat rekomendasi bahwa HAM dapat terlindungi secara hukum. Sub Komisi
ini terdiri atas 26 ahli HAM.
e. Pertemuan Berkala mengenai Pencegahan Tindak Pidana dan Penanganan Pelaku Tindak Pidana (Periodic Congresses on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders)
2. Sumber Hukum Internasional HAM
Norma
dan standar HAM berasal dari hukum internasional. Sumber hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Piagam
Mahkamah Internasional terdiri dari 3 sumber utama dan 2 sumber
tambahan. Sumber hukum tersebut adalah:
a. Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian
internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh anggota masyarakat
internasional yang terdiri dari negara-negara, bertujuan untuk membentuk
hukum sehingga mempunyai akibat hukum. Bentuknya dapat berupa kovenan,
konvensi, perjanjian dan lain-lain.
b. Hukum Kebiasaan Internasional
Kebiasaan internasional (Customary International Law) adalah kebiasaan internasional antar negara-negara di dunia, merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai ‘hukum’.
c. Prinsip Hukum Umum
Prinsip
Hukum Umum adalah asas hukum umum yang terdapat dan berlaku dalam hukum
nasional negara-negara di dunia. Prinsip ini mendasari sistem hukum
positif dan lembaga hukum yang ada di dunia.
d. Putusan Hakim
Putusan
pengadilan internasional merupakan sumber hukum tambahan dari tiga
sumber hukum utama di atas. Keputusan pengadilan ini hanya mengikat para
pihak yang bersengketa saja. Namun demikian, keputusan tersebut dapat
digunakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai
suatu perkara, yang didasarkan pada tiga sumber hukum utama di atas.
e. Pendapat para ahli hukum internasional
Pendapat
ahli hukum internasional yang terkemuka adalah hasil penelitian dan
tulisan yang sering dipakai sebagai pedoman untuk menemukan apa yang
menjadi hukum internasional. Meskipun demikian, Pendapat tersebut bukan
merupakan suatu hukum.
Dalam
hukum internasional sebagaimana juga dalam hukum HAM internasional
terdapat beberapa bentuk produk hukum, diantaranya adalah:
a.
Resolusi adalah keputusan yang diambil oleh suatu badan dalam
organisasi internasional dalam hal ini adalah PBB. Di PBB terdapat dua
resolusi yang sangat penting, pertama adalah resolusi yang dihasilkan
oleh Majelis Umum PBB. Resolusi ini tidak mempunyai kekuatan hukum
walaupun ada beberapa Resolusi yang cukup otoritatif seperti Resolusi
tentang DUHAM. Kedua resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB.
Resolusi Dewan Keamana PBB mempunyai kekuatan hukum, dimana negara
anggota PBB harus mengikuti isi dari resolusi yang dikeluarkan oleh DK
PBB.
b. Konvensi
adalah perjanjian internasional yang jelah mempunyai kekuatan hukum.
Konvensi mempunyai nama yang bermacam-macam seperti Kovenant, Pakta,
Agreement, Charter (Piagam) dan lain-lain.
c. Protocol
dan Annex adalah penjelasan atau aturan lebih lanjut dari Konvensi atau
perjanjian internasional. Protokol dan Annex tidak berdiri sendiri
dalam pelaksanaannya, karena terkait erat dengan perjanjian induknya.
3. Instrumen Hukum HAM
Dalam
Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi,
melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara
universal ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1
(3):
”Untuk
memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah
internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan
menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis
kelamin, bahasa atau agama …”
Komitmen
ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan
instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:
a. Instrumen Hukum yang Mengikat
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang
diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang
terdapat dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan
diterima oleh negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa.
DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum
dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam
DUHAM merupakan realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam
PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10
dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut menetapkan hak untuk
hidup; hak atas kebebasan dan keamanan diri; pelarangan
penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan
merendahkan martabat manusia; pelarangan penangkapan sewenang-wenang;
hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti
bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan,
DUHAM merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
Hak-hak
dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara
internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:
§ Hak hidup;
§ Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau direndahkan martabat;
§ Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
§ Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual;
§ Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan
§ Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut mengaksesinya
atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga
mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi
oleh Komite Hak Asasi Manusia.
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
Kovenan
ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun
2005 mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam
Kovenan ini adalah:
§ Hukum
berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan
budaya masyarakat.
§ Asumsi
bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam
pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi
terdapat prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan
paksa.
§ Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling terkait satu sama lain.
Seperti
halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam
pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide)
Kovensi
ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu
pelanggaran HAM berat. Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai
kejahatan internasional dan menetapkan perlunya kerjasama internasional
untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida.
Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang
Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan
Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih
lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan
Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah
legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya
guna: 1) mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler),
atau pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan
yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam
keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar
setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu
wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar
kasusnya diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang secara
tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya
dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat
dari pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban
memperoleh ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi yang adil
dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh Komite
Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang
terdapat didalamnya.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
Konvensi
ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui
UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk
diskriminasi rasial dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang untuk
diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal
usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan
Diskriminasi Rasial, yang mengawasi pelaksanaannya.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
Kovensi
ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia
melalui UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah
menjadi instrumen internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap
perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil.
Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara yang tepat
dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus
diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada
mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga
mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW).
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi
Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia
melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus
menghormati dan menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara juga harus
mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak
dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan
pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan orang
tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga
membentuk Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi
Konvensi.
Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees)
Konvesi
ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi
ini walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan
dengan istilah “internaly displaced person” atau pengungsi yang
berpindah daerah dalam satu negara. Pengungsi dalam konvensi ini
didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan negaranya karena takut
disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau
keanggotaan pada kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang
karena ketakutan. Kovensi Pengungsi menentukan empat prinsip HAM dalam
menangani pengungsi, yaitu: persamaan hak, tidak adanya pengasingan
terhadap hak-hak mereka, universalitas dari hak-hak mereka, serta hak
untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.
b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat
Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials)
Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169 tentang Pedoman
Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan bagi
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang
mengatur mengenai tanggung jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM,
penggunaan kekerasan, penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan
penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia, perlindungan kesehatan tahanan,
pemberantasan korupsi, serta penghargaan terhadap hukum dan
undang-undang.
Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)
Prinsip-prinsip
ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa penggunaan
kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta
sesuai dengan tugas pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan
perundangan.
Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance)
Deklarasi
ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di dalamnya
terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan
tindakan penahanan tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini mensyaratkan adanya
langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, maupun langkah-langkah
efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan tindakan penghilangan
paksa.
Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence against Women)
Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi mengenai
Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak
dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta
menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin
pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar dalam penyusunan rancangan
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)
Deklarasi
ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi Pembela
HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan
kegiatan mereka. Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih
pada memberikan panduan bagi para pembela HAM terkait dengan pekerjaan
mereka. Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam pemenuhan HAM, serta
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para pembela HAM, disamping
juga menjelaskan hubungan antara HAM dan hukum nasional suatu negara.
Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan aktivitasnya dengan cara-cara
damai.
Prinsip-prinsip
tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir
(Principles on the Effective Prevention and Investigation of
Extra-legal, Arbitrary and Summary Executions )
Prinsip-prinsip
tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman Mati yang
Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang
direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003.
Prinsip-prinsip ini memberikan panduan bagi penegak hukum dalam
mengadili para pelaku tindak pidana. Prinsip-prinsip ini menekankan
pentingnya pengawasan (termasuk kejelasan dalam rantai komando) terhadap
lembaga-lembaga penegak hukum. Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan
secara rinci mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk hidup.
4. Pengawasan terhadap Pemenuhan HAM
Pengawasan
HAM dibagi dua, yaitu pengawasan di tingkat nasional dan tingkat
internasional. Di tingkat nasional, pengawasan dilakukan antara lain
oleh:
§ Lembaga pemerintah termasuk Polisi;
§ Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Anak;
§ Lembaga Swadaya Masyarakat;
§ Pengadilan;
§ Dewan Perwakilan Rakyat;
§ Media Masa;
§ Organisasi Profesi seperti IDI dan Peradi;
§ Organisasi Keagamaan;
§ Pusat Kajian di Universitas.
Adapun pengawasan di tingkat internasional atau PBB didasarkan pada perjanjian internasional mengenai HAM:
Perjanjian Hak Asasi Manusia (Instrumen)
|
Badan Pengawas Pelaksanaan Perjanjian
|
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
|
Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on Economic Social and Cultural Rights)
|
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
|
Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee)
|
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras
|
Komite Penghapusan Diskriminasi Ras (Committee on Elimination Racial Discrimination)
|
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
|
Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on Eliminations Discrimination Against Women)
|
Konvensi
menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kenjam,
Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
|
Komite Menentang Penyiksaan (Committee on Against Torture)
|
Konvensi Hak Anak ( Convention on the Rights of the Child)
|
Komite Hak Anak (Committee on Rights of the Child)
|
Setiap
perjanjian internasional HAM mempunyai sistem pengawasan yang
berbeda-beda. Walaupun sistem pengawasan dari setiap konvensi mengenai
HAM berbeda-beda tetapi satu dengan yang lainnya saling melengkapi.
Pengawasan ini berfungsi untuk mengiventarisasi secara periodik dan
sistematik terhadap kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara
terkait dengan pelaksanaan kewajiban yang terdapat di dalam konvensi.
Pengawasan ditujukan agar terjadi dialog antara komite HAM terkait
dengan negara-negara peserta yang bertujuan untuk membantu transformasi
konvensi HAM internasional kedalam perundang-undangan nasional serta
membantu pelaksanaan kewajiban yang harus dilakukan oleh negara. Dialog
ini dilakukan secara terbuka antara Komite dan wakil dari negara.
BAB II
PELANGGARAN
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak
Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia
adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM meliputi :
- Kejahatan genosida;
- Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
- Membunuh anggota kelompok;
- mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
- menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
- memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
- memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
- pembunuhan;
- pemusnahan;
- perbudakan;
- pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
- perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
- penyiksaan;
- perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
- penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
- penghilangan orang secara paksa; atau
- kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Penyiksaan
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun
rohani, pada seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari
seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan
yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau
orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga,
atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi,
apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas
hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau
pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM)
Penghilangan orang secara paksa
adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang
tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat 2
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak
Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia
adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM meliputi :
- Kejahatan genosida;
- Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
- Membunuh anggota kelompok;
- mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
- menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
- memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
- memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
- pembunuhan;
- pemusnahan;
- perbudakan;
- pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
- perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
- penyiksaan;
- perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
- penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
- penghilangan orang secara paksa; atau
- kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Penyiksaan
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun
rohani, pada seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari
seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan
yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau
orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga,
atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi,
apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas
hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau
pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM)
Penghilangan orang secara paksa
adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang
tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat 2
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
6. Trisakti, Semanggi I dan II
Beberapa kasus pelanggaran berat HAM seperti peristiwa G30S, Tanjung Priok, Warsidi Lampung sampai Kasus Semanggi I dan II kemungkinan bakal digarap KKR. Mungkinkah menuai sukses?
Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan sosial yang mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi dipicu oleh menyalaknya senapan aparat yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti.
Kerusuhan, menurut laporan Relawan Kemanusiaan, tidak berlangsung begitu saja. Fakta yang aneh, menurut mereka, setelah terjadi aksi kerusuhan yang sporadis, aparat tampak menghilang, sementara sebagian kecil saja hanya memandangi aksi penjarahan yang berlangsung didepan mereka.
Masih
menurut laporan Relawan, kerusuhan itu tampak direkayasa. Aksi itu
dipimpin oleh sekelompok provokator terlatih yang memahami benar aksi
gerilya kota. Secara sporadis mereka mengumpulkan dan menghasut massa
dengan orasi-orasi. Ketika massa mulai terbakar mereka
meninggalkan kerumunan massa dengan truk dan bergerak ke tempat lain
untuk melakukan hal yang sama.
Dari lokasi yang baru, kemudian mereka kembali ke lokasi semula dengan ikut membakar, merampon mal-mal. Sebagian warga yang masih dalam gedung pun ikut terbakar. Data dari Tim Relawan menyebutkan sekurangnya 1190 orang tewas terbakar dan 27 lainnya tewas oleh senjata.
Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.
Pam
Swakarsa terdiri dari tiga kelompok, dari latar belakang yang berbeda.
Pembentukan Pam Swakarsa belekangan mendapat respon negatif dari
masyarakat. Mereka kemudian mendukung aksi mahasiswa, yang sempat
bentrok dengan Pam Swakarsa.
Dalam tragedi Semanggi I yang menewaskan lima mahasiswa, salah satunya Wawan seorang anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara begitu agresif memburu dan menembaki mahasiswa. Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa, seperti ditayangkan oleh sebuah video dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR Selasa 6 Maret 2001.
Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara yang berada di garis depan berhadapan dengan aksi massa mahasiswa yang tenang. Pasukan AD yang didukung alat berat militer ini melakukan penembakan bebas ke arah mahasiswa.
Para tentara terus mengambil posisi perang, merangsek, tiarap di sela-sela pohon sambil terus menembaki mahasiswa yang berada di dalam kampus. Sementara masyarakat melaporkan saat itu dari atap gedung BRI satu dan dua terlihat bola api kecil-kecil meluncur yang diyakini sejumlah saksi sebagai sniper. Serbuan tembakan hampir berlangsung selama dua jam.
Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22, mahasiswa Fakultas Teknik UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB).
Kasus ini, menurut Hermawan Sulistyo dari Tim Pencari Fakta Independen menyebut seperti sudah diperkirakan sebelumnya oleh aparat. Dia menurutkan begini; ''Yun Hap ditembak pukul 20:40 oleh konvoi aparat keamanan yang menggunakan sekurangnya enam truk militer yang mendekat dari arah Dukuh Atas. Konvoi menggunakan jalan jalur cepat sebelah kanan alias melawan arus. Paling depan tampak mobil pembuka jalan menyalakan lampu sirine tanpa suara. Sejak masuk area jembatan penyeberangan di depan bank Danamon, truk pertama konvoi mulai menembak. Sejumlah saksi mata
melihat berondongan peluru dari atas truk pertama, menyusul tembakan dari truk-truk berikutnya.''
Berdasarkan fakta di lapangan TPFI menegaskan tidak mungkin ada kendaraan lain selain kendaraan aparat. Sebab, jalur cepat yang dilalui truk-truk itu masih ditutup untuk umum. Lagi pula truk-truk itu bergerak melawan arus, jadi tidak mungkin ada mobil lain yang mengikuti.
Kini akibat peritiwa itu, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum. Mereka adalah Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya), Irjen (Pol) Hamami Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdan jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).
7.KEKERASAN TERHADAP ANAK
A. KASUS PENYIKSAAN ANAK KANDUNG OLEH KEDUA ORANG TUA CINCINNATI –
Perbuatan
sepasang suami istri asal Ohio ini sudah sangat kelewatan. Tanpa alasan
yang jelas, Paul dan Robin Kraft menganiaya lima anak kandung mereka
yang usianya berkisar antara 1 hingga 5 tahun. Maka, pantas jika
Pengadilan Hamilton County mengganjar mereka masing-masing hukuman
penjara lima kali seumur hidup dan 40 tahun.
Jaksa
penuntut yang menangani kasus Kraft mengatakan bahwa penyiksaan
terhadap anak kandung tersebut dilakukan pada tahun 2004 lalu. Juni
lalu, Robin dinyatakan bersalah atas dua dakwaan perkosaan dan empat
dakwaan penyiksaan anak yang dikenakan kepadanya. Wanita 26 tahun asal
Winton Hills itu mengaku telah menyiksa sedikitnya salah satu anak
kandungnya dan memaksa empat lainnya untuk saling berhubungan seks.
Atas
perbuatan biadab yang dilakukannya, Hakim Common Pleas Hamilton County
David Davis menjatuhkan hukuman maksimal 40 tahun kepada Robin, Jumat
lalu. Menurut Davis, hukuman maksimal itu diberikan untuk mencegah Robin
bebas dan kembali mengasuh anak-anaknya. “Anak-anak tersebut memang
tidak dipukuli, tidak ada memar atau bekas luka. Tapi pemulihan akibat
perlakuan Robin membutuhkan waktu lama,” kata asisten jaksa Mark
Piepmeier.
Undang-undang
penyiksaan anak, sebenarnya, cukup jarang digunakan di Ohio. Pasalnya,
untuk mengajukan tuntutan harus ada bukti-bukti yang lengkap. Sementara,
penyiksaan yang dialami anak-anak Kraft itu bukan berupa siksaan fisik.
“Anak-anak tersebut mengalami siksaan psikologi yang cukup serius.
Untuk menyelesaikan kasus ini, kami menerapkan sebuah teori baru. Dan,
untungnya teori tersebut berhasil,” imbuh Piepmeier.
Maret
lalu, pengadilan yang sama juga menjatuhkan hukuman berat kepada Paul
atas kejahatan yang sama. Pria 32 tahun tersebut diganjar hukuman lima
kali seumur hidup atas lima dakwaan perkosaan. Sementara untuk 12
dakwaan merangsang anak di bawah umur secara seksual, Paul mendapatkan
hukuman tambahan 96 tahun penjara. Selain itu, dia juga tidak
mendapatkan hak bebas sementara dari penjara di bawah perjanjian khusus,
seperti tahanan yang lain.
Suami
istri bejat tersebut ditangkap deputi sherif Hamilton County, Maret
lalu. Kejahatan keduanya terungkap setelah seorang agen Badan Rahasia
AS, yang sudah cukup lama mengamati sepak terjang Paul di internet,
berhasil mengontak pria tersebut. Agen rahasia yang berada di Miami itu
kemudian chatting dengan Paul di ruang bincang maya (chat room) bertajuk
seks bayi dan pra remaja.
Dalam
sebuah percakapan maya online, Paul memberikan sebuah tawaran yang
sangat mengejutkan kepada agen rahasia tersebut. Dia menawarkan diri
untuk memerkosa putri kandungnya yang masih berusia tiga tahun dan
menayangkannya langsung via internet. Paul tidak segan-segan melakukan
itu, jika orang lain bersedia melakukan hal yang sama dan dia diizinkan
melihat tayangannya secara live.
Mencium
gelagat yang tidak baik, agen rahasia itu pun segera mengontak deputi
sherif Hamilton County. Setelah menerima laporan itu, deputi sherif
tersebut segera meluncur ke rumah keluarga Kraft serta menangkap Paul
dan istrinya. Selama orang tua mereka menjalani pemeriksaan, lima anak
kandung Kraft dirawat di panti pengasuhan. Trauma yang mereka alami,
membuat lima anak tak berdosa itu sulit
berkomunikasi.
Namun dengan terapi teratur, belakangan mereka sudah bisa menceritakan
kebusukkan orang tua mereka kepada petugas. (ap/*/hep)
Jawa Pos, Selasa, 01 Agt 2006,
Jawa Pos, Selasa, 01 Agt 2006,
B. PENELANTARAN ANAK
REPUBLIKA.CO.ID,
MEDAN--Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait,
mengatakan, jutaan anak Indonesia mengalami pelanggaran Hak Asasi
Manusia setiap tahun. Jenis bentuk pelanggaran HAM pun beragam.
Dalam seminar pendidikan anak bertema "Anakku Mada Depanku" di Medan, akhir pekan lalu, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, perlindungan terhadap hak anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penghormatan terhadap HAM. "Pengabaian hak anak sama halnya dengan pelanggaran
Dalam seminar pendidikan anak bertema "Anakku Mada Depanku" di Medan, akhir pekan lalu, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, perlindungan terhadap hak anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penghormatan terhadap HAM. "Pengabaian hak anak sama halnya dengan pelanggaran
HAM," katanya.
Arist Merdeka menyatakan, pelanggaran HAM anak yang terjadi itu mulai dari pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga penularan HIV/Aids. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kasus pembuangan bayi yang umumnya dilakukan kalangan orang tua mengalami tren peningkatan.
Pada tahun 2008, Komnas PA menerima pengaduan kasus pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Sedangkan tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 904 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam, mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api, hingga selokan dan tempat sampah.
Dari laporan yang didapatkan dari masyarakat, sekitar 68 persen bayi yang dibuang tersebut meninggal dunia. "Sedangkan sisanya diasuh masyarakat atau dititipkan di panti asuhan," katanya.
Kemudian, dari data yang didapatkan dari Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Komnas PA menemukan sekitar 5,4 juta anak yang mengalami kasus penelantaran pada tahun 2009. Sedangkan anak yang hampir ditelantarkan mencapai 17,7 juta orang, kata Arist Merdeka.
Kasus pelanggaran HAM anak yang lain adalah gizi buruk (marasmus kwasiokor) yang berdasarkan dari UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak, jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia. Dalam data Komnas PA, salah satu wilayah yang paling terjadi kasus gizi buruk itu adalah Sumatera Barat.
"Di daerah ini (Sumatera Barat), 23 ribu anak dari 300 ribu usia balita mengalami gizi buruk," katanya. Namun Arist Merdeka Sirait menyatakan, kasus gizi buruk dan kekurangan gizi juga banyak terdapat di daerah lain.
Adapun kasus penularan HIV/Aids di Indonesia, terdapat 18.442 kasus orang tua yang menderita penyakit mematikan tersebut hingga September 2009. Mereka, kata Aries, tentu berpotensi menularkan terhadap anak berdasarkan laporan yang didapatkan dari Kementerian Kesehatan.VVV
8. KASUS KDRT
Sehari Lapor Dua Kasus KDRT
Sriwijaya Post - Minggu, 14 Maret 2010 21:14 WIB
PALEMBANG - Nureha (40) ibu rumah tangga warga jl Ratu Sianom Lr H Umar No 700 RT 19 RW 4 Kelurahan 1 Ilir Kecamatan IT II melaporkan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialaminya.
Kejadian
berawal ketika ia cekcok dengan suaminya, Ahmad Yani (42), Minggu (7/3)
pukul 15.30. Mereka bertengkar mengenai permasalahan anak. Entah setan
apa yang masuk ke suaminya,
tiba-tiba
Ahmad memukul istrinya dengan menggunakan kayu. Karena kalah tenaga,
korban tidak sempat mengelak bahkan menyelamatkan diri.
Atas
kejadian tersebut Nureha dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan
perawatan karena mengalami luka lecet di siku tangan sebelah kiri, luka
lecet di kaki sebelah kanan, rasa sakit di
bagian
kepala. Seminggu sesudah kejadian, Nureha yang ditemani anaknya
melaporkan kasus KDRT tersebut ke Poltabes Palembang, Sabtu (13/3) pukul
09.44.
Sedangkan
di tempat berbeda, Ria Fatmawati (22) ibu rumah tangga warga Jl
Gubernur H A Bastari Lr Budi Mulya I RT 26 Jakabaring belakang kantor
PLN juga mengalami kasus KDRT yang dilakukan oleh suaminya Jasmian (32),
swasta.
Kejadian
berawal ketika Ria dan suaminya terlibat selisih paham masalah ekonomi,
Sabtu (13/3) pukul 07.30. Dalam pertengkaran itu, Jasmian memukul
istrinya dengan tangan kosong. Karena
tidak
sempat mengelak, Ria mengalami luka memar, bengkak di dahi sebelah kiri
dan rasa sakit di telinga sebelah kanan. Akhirnya ibu muda ini
melaporkan suaminya ke Poltabes Palembang atas pemukulan tersebut, Sabtu
pukul 08.23.
Kapoltabes
Palembang Kombes Pol Luki Hermawan melalui Wakasat Reskrim AKP Hans
Rakmatulloh telah menerima laporan tersebut dan dalam proses
penyelidikan.
B.Penggusuran
Penggusuran
adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tak langsung
yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan
sumber-daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha.
Penggusuran terjadi di wilayah urban karena keterbatasan dan mahalnya lahan. Di wilayah rural penggusuran biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya bendungan.
Di
kota besar, penggurusan kampung miskin menyebabkan rusaknya jaringan
sosial pertetanggaan dan keluarga, merusak kestabilan kehidupan
keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan aset hunian.
Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki
penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait
dilakukan untuk menghindari penggusuran.
Akan
tetapi, penggusuran adalah hal yang mutlak untuk menanggulangi penduduk
liar. Hal ini karenakan mereka sama sekali tidak membayar tanah. Dan
lagi, mereka harus dipulangkan ke daerah asalnya, seperti transmigrasi
Penggusuran
adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tak langsung
yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan
sumber-daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha.
Penggusuran terjadi di wilayah urban karena keterbatasan dan mahalnya lahan. Di wilayah rural penggusuran biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya bendungan.
Di
kota besar, penggurusan kampung miskin menyebabkan rusaknya jaringan
sosial pertetanggaan dan keluarga, merusak kestabilan kehidupan
keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan aset hunian.
Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki
penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait
dilakukan untuk menghindari penggusuran.
Akan
tetapi, penggusuran adalah hal yang mutlak untuk menanggulangi penduduk
liar. Hal ini karenakan mereka sama sekali tidak membayar tanah. Dan
lagi, mereka harus dipulangkan ke daerah asalnya, seperti transmigrasi
PENGGUSURAN RUMAH WARGA
Gubernur
DKI Jakarta Janjikan Rumah Susun Jakarta, Kompas – Penggusuran paksa
terus dilakukan oleh aparat Satuan Pelaksana Ketentraman Ketertiban dan
Perlindungan Masyarakat (Tramtib dan Linmas) Jakarta Utara terhadap
bangunan warga yang masih bertahan di bantaran kali Banjir Kanal Barat
Teluk Gong, Jakarta Utara.
Dalam kaitan itu, Wali Kota Jakarta Utara menjanjikan warga yang digusur bisa menempati rumah susun.
Sejumlah
petugas lapangan PT Jakarta Propertindo selaku pemborong proyek
pengurukan bantaran kali, Jumat (17/1), menggusur sebuah tenda yang
ditempati oleh 15 warga yang bertahan. Sebuah buldoser memorakporandakan
tenda ketika warga sedang beristirahat di dalam tenda.
Yadi
(41), seorang warga bantaran kali, menuturkan, sekitar pukul 10.50,
seorang petugas lapangan PT Jakarta Propertindo bernama Rela dan dua
temannya langsung membongkar tenda.
Menurut
Juriah, warga lainnya, ada sebanyak 23 keluarga atau sebanyak 50 warga
yang masih bertahan. “Banyak juga dari warga sini yang akhirnya menerima
dan pindah mencari tempat lain, bahkan ada yang balik ke kampung. Tapi
kami akan tetap bertahan sampai keadilan ditegakkan. Selain uang ganti
rugi yang cuma Rp 500.000 untuk satu rumah, sampai sekarang kami juga
enggak tahu rumah susunnya di mana dan kapan kami bisa menempatinya,”
kata Juriah.
Tetap gusur
Menanggapi
masalah warga penghuni bantaran kali Banjir Kanal Barat Teluk Gong yang
masih bertahan, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol
Pemerintah Kota Jakarta Utara Anas Djabir mengatakan, pihaknya akan
tetap melakukan penggusuran. Alasannya, hal itu sesuai dengan Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 mengenai Ketertiban Umum.
Menurut
Anas, sebenarnya penggusuran tersebut telah disampaikan kepada warga
oleh Camat Penjaringan dan Lurah Pejagalan. “Data di kelurahan
menunjukkan bahwa semua penghuni bantaran kali Banjir Kanal sudah
mendapatkan uang kerohiman atau uang kebijaksanaan, yang jumlahnya
memang Rp 500.000. Tapi itu bukan uang ganti rugi, tanahnya kan milik
negara,” paparnya.
Anas
menambahkan, Gubernur DKI Jakarta juga telah menyiapkan rumah susun
Tipe 36 sebagai tempat tinggal alternatif mereka di Kalideres, Jakarta
Barat. Rumah susun tersebut terdiri dari 20 blok dan mampu menampung
sebanyak 2.000 keluarga, dan mereka tidak akan dikenai uang muka.
Mereka
membayar Rp 90.000 per bulan sebagai uang kontrakan. “Rencananya, rumah
susun bisa ditempati awal Maret mendatang,” kata Anas.
Menurut
Wali Kota Jakarta Utara Soebagio, pihaknya sejak awal Januari lalu
sudah mendata warganya yang bakal dan sudah kena gusur, khususnya di
daerah Muara Baru, Kelurahan Penjaringan, dan di bantaran Kali Muara
Angke, Kecamatan Penjaringan.
“Pendataan
tersebut saya harapkan bisa segera dilakukan agar kami bisa segera
memperkirakan berapa luas tanah yang diperlukan untuk membangun rumah
susun bagi warga yang bakal digusur,” tutur Soebagio. (NIC/B17)
- Gubernur DKI Jakarta Janjikan Rumah Susun
Jakarta,
Kompas – Penggusuran paksa terus dilakukan oleh aparat Satuan Pelaksana
Ketentraman Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat (Tramtib dan Linmas)
Jakarta Utara terhadap bangunan warga yang masih bertahan di bantaran
kali Banjir Kanal Barat Teluk Gong, Jakarta Utara.
Dalam kaitan itu, Wali Kota Jakarta Utara menjanjikan warga yang digusur bisa menempati rumah susun.
Sejumlah
petugas lapangan PT Jakarta Propertindo selaku pemborong proyek
pengurukan bantaran kali, Jumat (17/1), menggusur sebuah tenda yang
ditempati oleh 15 warga yang bertahan. Sebuah buldoser memorakporandakan
tenda ketika warga sedang beristirahat di dalam tenda.
C. PENYIKSAAN TERHADAP TKW
KASUS SUMIATI
Duta
Besar Arab Saudi untuk Indonesia Abdulrahman al-Khayyath mengatakan
kasus yang menimpa Sumiati, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Dompu, Nusa
Tenggara Barat itu tergolong kasus ‘nyeleneh’. “Kasus yang dialami
Sumiati jarang terjadi di Saudi. Dan baru kali terjadi kasus seperti
ini,” kata al-Khayyath dalam jumpa pers di kediamannya di Jalan Teuku
Umar, Jakarta, Kamis (18/10).
Al-Khayyath
mengaku prihatin dengan tragedi yang menimpa Sumiati yang tergolong
sadis. Walau demikian, kata dia, pihak berwajib di Arab Saudi telah
melakukan penyelidikan mendalam untuk mengungkap kasus memilukan ini.
“Aparat berwenang di Kerajaan Saudi akan melakukan upaya-upaya hukum
dalam memproses kasus tersebut. Akan ada pemberitahuan secara transparan
terkait perkembangan kasus ini. Kami akan bekerjasama dengan pihak KBRI
di Riyadh,” jelas al-Khayyath.
Peristiwa
yang menimpa Sumiati sangat memiriskan dan melukai harga diri bangsa.
Perempuan berusia 23 tahun itu diperlakukan secara tak manusiawi oleh
majikannya di Madinah. Ia disiksa, diperlakukan tidak semestinya,
disetrika dan mulutnya digunting. Penyiksaan terhadap Sumiati terkuak
pada Senin (7/10) lalu. Saat itu Sumiati dibawa ke rumah sakit swasta di
Madinah. Namun karena luka yang dideritanya terlalu parah, ia pun
dirujuk ke Rumah Sakit King Fahd.
Sejauh
ini memang tidak terdapat Memorandum of Understanding (MoU) terkait
dengan perlindungan TKI/TKW antara pemerintah RI dengan Kerajaan Arab
Saudi. Namun al-Khayyath mengatakan pemerintahnya menjamin penuh
keselamatan para pekerja asing di negerinya. Apalagi tenaga kerja asal
Indonesia yang dianggap paling sopan dan santun dibandingkan tenaga
kerja asing lainnya.
“Kami
menjamin keselamatan tiap orang yang datang ke Saudi, baik itu tenaga
kerja maupun wisatawan, walau tanpa MoU. Dan kami menjamin bahwa proses
hukum terhadap pelaku penyiksaan akan terus berjalan sesuai dengan
mekanisme dan undang-undang yang berlaku di Saudi,” tegasnya.
Al-Khayyath
menambahkan, Arab Saudi menganut prinsip adanya persamaan di muka
hukum. Siapa pun yang terlibat dan melanggar hukum akan diproses tanpa
pandang bulu. Dalam kasus Sumiati, pemerintah Saudi membentuk pengadilan
khusus untuk memprosesnya. “Kepada tersangka akan dijatuhkan vonis
sesuai dengan perbuatannya, bisa berupa pemenjaraan ataupun denda,”
katanya.
“Dan
kami akan terus memberikan informasi secara transparan kepada KBRI di
Riyadh terkait dengan perkembangan kasus ini hingga dijatuhkannya vonis.
Kami juga akan memberikan informasi kepada media-media di Indonesia
tanpa ada satupun yang ditutup-tutupi,” al-Khayyath menegaskan.
Guna
mempercepat proses hukum atas kasus tersebut, Kedutaan Besar Arab Saudi
di Indonesia telah mengeluarkan sejumlah visa untuk para pejabat teras
Indonesia yang akan berangkat ke Saudi. Mereka adalah para pejabat yang
ditugaskan oleh Presiden RI untuk memberikan advokasi terhadap Sumiati.
Sebelumnya,
pemerintah RI telah melayangkan nota diplomatik melalui KBRI di Arab
Saudi yang isinya mengecam perlakuan sadis terhadap Sumiati, Rabu
(17/19). Apa pun alasannya, penyiksaan yang dilakukan sang majikan
terhadap Sumiati tidak bisa diterima. "Apapun sebab dan alasannya, kita
tidak terima Sumiati disiksa seperti itu," kata Duta Besar Indonesia
untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur.
DAFTAR PUSAKA
http://www.scribd.com/doc/36910715/Tugas-PKn
http://www.kiapride.com/search/contoh-kata-pengantar-tugas-pkn/
http://www.kiapride.com/search/tugas+dan+catatan+sekolah%3A+kata+pengantar
http://donaemons.wordpress.com/2009/01/29/pelanggaran-pelanggaran-ham-di-indonesia/
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/11/30/149703-komnas-jutaan-anak-indonesia-alami-pelanggaran-ham
Koran Kabar Priangan//
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fpalembang.tribunnews.com%2Fview%2F29667%2Fsehari_lapor_dua_kasus_kdrt&rct=j&q=kasus%20KDRT&ei=LdBcTdGdIpGOvQPP88XkDA&usg=AFQjCNEng6Oo0rsT7eZamPhzgkd-FO1hqQ&cad=rja
0 komentar:
Posting Komentar