A. Latar Belakang
Demokrasi adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling
sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang.
Istilah "demokrasi" berasal dari
Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara
tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang
berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini
telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di
banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua
kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti
pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau
yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri
dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat
ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Berbicara mengenai demokrasi
adalah memperbincangkan tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya
pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemen
kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang
menghargai martabat manusia. Pelaku utama demokrasi adalah kita semua,
setiap orang yang selama ini selalu diatasnamakan namun tak pernah ikut
menentukan. Menjaga proses demokratisasi adalah memahami secara benar
hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun
menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar hak-hak itu.
Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam
sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara
yang sama di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Sedang
demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia,
pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi
yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan
membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah
keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti
juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk
mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Jadi masalah
keadilan menjadi penting, dalam arti dia mempunyai hak untuk menentukan
sendiri jalan hidupnya, tetapi harus dihormati haknya dan harus diberi
peluang dan kemudahan serta pertolongan untuk mencapai itu.
B. Pembahasan
1. Demokrasi Kerakyatan Pada Masa Revolusi
Periode panjang pergerkan nasional yang didominasi oleh muncuolnya
organisasi modern digantikan periode revolusi nasional. Revolusi yang
menjadi alat tercapainya kemerdekaan merupakan kisah sentral sejarah
indonesia. Semua usaha untuk mencari identitas (jati) diri, semangat
persatuan guna menghadapi kekuasaamn kolonial, dan untuk membangun
sebuah tatanan sosial yang adil akhirnya membuahkan hasil dengan
diproklamasikannya kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada masa revolusi 1945 – 1950 banyak kendala yang dihadapi bangsa
indonesia, misalnya perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan
perjuangan bersenjata dengan kekuatan diplomasi, antara mereka yang
mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya dan antara
kekuatan islam dalam kekutan sekuler. Di awal revolusi tidak satupun
perbedaan di antara bangsa indonesia yang terpecahkan. Semua
permasalahan itu baru dapat diselesaikan setelah kelompok-kelompok
kekuatan itu duduk satu meja untuk memperoleh satu kata sepakat bahwa
tujuan pertama bangsa indonesia adalah kemerdekaan bangsa indonesia.
Pada akhirnya kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan
diplomasi bersama-sama berhasil mencapai kemerdekaan.
2. Demokratisasi Dalam Demokrasi Parlementer
Setelah indonesi merdeka, kini menghadapi prospek menentukan masa
depannya sendiri. Warisan yang ditinggalkan pemerintahan kolonial berupa
kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan tradisi otoriter merupakan
merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan para pemiipin
nasional indonesia. Pada periode tahun 1950-an muncul kaum nasionalis
perkotaan dari partai sekuler dan partai-partai islam yang memegang
kendali pemerintahan. Ada sesuatu kesepakatan umum bahwa kedua kelompok
inilah yang akan menciptakan kehidupan sebuah negara demokrasi di
indonesi.
Undang – Undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer
dimana baedan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara
konstitusional beserta para menteri yang mempunyai tanggung jawab
politik. Setiap kabinet terbentuk berdasarkan koalisi pada satu atau dua
partai besardengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang
mantap dan partai-partai koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung
jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai
dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagi oposisi kontruktif
yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan
segi-segi negatif dari tugas oposisi (Miriam Budiardjo, 70).
Pada umumnya kabinet dalam masa pra pemilu tahun 1955 tidak dapat
bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan dan hal ini menghambat
perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat
kesempatan dalam untuk melaksanakan programnya. Pemilu tahun 1955 tidak
membawa stabilitas yang diharapkan, malah perpecahan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah tidak dapat dihindarkan. Faktor-faktor
tersebut mendorong presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa
demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
Mengingat kondisi yang harus di hadapi pemerintah indonesia pada kurun
waktu 1950-1959, maka tidak mengherankan bahwa pelaksanaan demokrasi
mengaklami kegagalan karena dasar untuk dapat membangun demokrasi hampir
tidak dapat ditemukan. Mereka yang tahu politik hanya sekelompok kecil
masyarakat perkotaan. Para politisi jakarta, meskipun mencita-citakan
sebuah negara demokrasi.
Kebanyakan adalah kaum elite yang menganggap
diri mereka sebagai pengikut suatu budaya kota yang istimewa. Mereka
bersikap paternalistik terhadap orang-orang yang kurang beruntung yakni
masyarakat pedesaan. Tanggung jawab mereka terhadap struktur demokrasi
parlementer yang merakyat adalah sangat kecil. Banguan indah sebuah
demokrasi parlementer hampir tidak dapat berdiri dengan kokoh.
3. Demokratisasi Dalam Demokrasi Terpimpin
Di tengah-tengah krisis tahun 1957 dan pengalaman jatuh bangunnya
pemerintahan, mengakibatkan diambilmnya langkah-langkah menuju suatu
pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan Demokrasi Terpimpin. Ini
merupakan suatu sistem yang didominasi oleh kepribadian soekarno yang
prakarsa untuk pelaksanaan demokrasi terpimpin diambil bersama-sama
dengan pimpinan ABRI (Hatta, 1966 : 7). Pada masa ini terdapat beberapa
penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945, misalnya partai-partai politik
dikebiri dan pemilu ditiadakan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada
berusha berpaling kepada pribadi Soekarno untuk mendapatkan legitimasi,
bimbingan atau perlindungan. Pada tahun 1960, presiden Soekarno
membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan menggantikanya dengan DPRGR,
padahal dalam penjelasn UUD 1945 secara ekspilisit ditentukan bahwa
presiden tidak berwenang membubarkan DPR.
Melalui demokrasi terpimpin Soekarno berusaha menjaga keseimbangn
politik yang mherupakan kompromi antara kepentingan-kepentingan yang
tidak dapat dirujukan kembali dan memuaskan semua pihak. Meskipun
Soekarno memiliki pandangan tentang masa depan bangsanya, tetapi ia
tidak mampu merumuskan sehingga bisa diterima oleh pimpinan nasional
lainnya. Janji dari demokrasi terpimpin pada akhirnya tidak dapat
terealisasi. Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 telah mengakhiri
periode demokrasi terpimpin dan membuka peluang bagi dilaksanakannya
demokrasi Pancasila.
4. Demokratisasi Dalam Demokrasi Pancasila
Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan
pemerintahan Orde Baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan
Soekarno. Pada awal pemerintahan orde hampir seluruh kekuatan demokrasi
mendukungnya karena Orde Baru diharapkan melenyapkan rezim lama.
Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan menerapkan demokrasi
Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan kembali azas
negara hukum dirasakan oleh segenap warga negara, hak azasi manusia baik
dalam aspek kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan
penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional. Dalam
rangka mencapai hal tersebut, lembaga-lembaga dan tata kerja orde baru
dilepaskan dari ikatan-ikatan pribadi (Miriam, 74).
Sekitar 3 sampai 4 tahun setelah berdirinya Orde Baru menunjukkan
gejala-gejala yang menyimpang dari cita-citanya semula. Kekuatan –
kekuatan sosial-politik yang bebas dan benar-benar memperjuangkan
demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik dijinakkan sehingga menjadi
kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai kontrol sosial.
Kekuatan sosial politik yang diikutsertakan dalam pemilu dibatasi.
Mereka tidak lebih dari suatu perhiasan dan mempunyai arti seremonial
untuk dipertontonkan kepada dunia internasional bahwa indonesia telah
benar-benar berdemokrasi, padahal yang sebenarnya adalah kekuasaan yang
otoriter. Partai-partai politik dilarang berperan sebagai oposisi maupun
kontrol sosial. Bahakan secara resmi oposisi ditiadakan dengan adanya
suatu “konsensus nasional”. Pemerintahan Soeharto juga tidak memberikan
check and balances sebagai prasyarat dari sebuah negara demokrasi
(sarbini Sunawinata, 1998 ;8).
Pada masa orde baru budaya feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat
subur. Kedua sikap ini menganggap pemimpin paling tahu dan paling benar
sedangkan rakyat hanya patuh dengan sang pemimpin. Mental paternalistik
mengakibatkan soeharto tidak boleh dikritik. Para menteri selalu minta
petunjuk dan pengarahan dari presiden. Siakp mental seperti ini telah
melahirkan stratifikasi sosial, pelapisan sosial dan pelapisan budaya
yang pada akhirnya memberikan berbagai fasilitas khusus, sedangkan
rakyat lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama sekali. Berbagai
tekanan yang diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang tidak pernah tercapai, mengakibatkan pemerintahan Orde
Baru mengalami krisis kepercayaan dan kahirnya mengalami keruntuhan.
5. Rekonstruksi Demokrasi Dalam Orde Reformasi
Melalui gerakan reformasi, mahasiswa dan rakyat indonesia berjuang
menumbangkan rezim Soeharto. Pemerintahan soeharto digantikan
pemerintahan transisi presiden Habibie yang didukung sepenuhnya oleh
TNI. Lembaga-lembaga di luar presiden dan TNI tidak mempunyai arti
apa-apa. Seluruh maslah negara dan bangsa indonesia menjadi tanggung
jawab presiden/TNI. Reformasi menuntut rakyat indonesia untuk mengoreksi
pelaksanaan demokrasi. Karena selama soeharto berkuasa jenis demokrasi
yang dipraktekkan adalah demokrasi semu. Orde Baru juga meninggalkan
warisan berupa krisis nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan
politik.
Tugas utama pemerintahan Habibie ada dua, yakni pertama bekerja keras
agar harga sembilan pokok (sembako) terbeli oleh rakyat sambil
memberantas KKN tanpa pandang bulu. Kedua, adalah mengembalikan hak-hak
rakyat guna memperoleh kembali hak-hak azasinya.
Agaknya pemerintahan “Orde Reformasi” Habibie mecoba mengoreksi
pelaksanaan demokrasi yang selama inidikebiri oleh pemerintahan Orde
baru. Pemerintahan habibie menyuburkan kembali alam demokrasi di
indonesia dengan jalan kebebasan pers (freedom of press) dan kebebasab
berbicara (freedom of speech). Keduanya dapat berfungsi sebagai check
and balances serta memberikan kritik supaya kekuasaan yang dijalankan
tidak menyeleweng terlalu jauh.
Membangun kembali indonesia yang demokratis dapat dilakukan melalui
sistem keparataian yang sehat dan pemilu yang transparan. Sistem pemilu
multipartai dan UU politik yang demokratis menunjukkan kesungguhan
pemerintahan Habibie. Asalkan kebebasan demokratis seperti kebebasan
pers, kebebasab berbicara, dan kebebasan mimbar tetap dijalankan maka
munculnya pemerintahan yang KKN dapat dihindari.
Dalam perkembanganya Demokrasi di indonesia setelah rezim Habibie
diteruskan oleh Presiden Abdurahman wahid sampai dengan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sangat signifikan sekali dampaknya, dimana
aspirasi-aspirasi rakyat dapat bebas diutarakan dan dihsampaikan ke
pemerintahan pusat. Hal ini terbukti dari setiap warga negara bebas
berpendapat dan kebebasan pers dalam mengawal pemerintahan yang terbuka
sehingga menghindarkan pemerintahan dari KKN mungkin dalam prakteknya
masih ada praktik-praktik KKN di kalangan pemerintahan, namun setidaknya
rakyat tidak mudah dibohongi lagi dan pembelajaran politik yang baik
dari rakyat indonesia itu sendiri yang membangun demokrasi menjadi lebih
baik. Ada satu hal yang membuat indonesia dianggap negara demokrasi
oleh dunia Internasional walaupun negara ini masih jauh dikatakan lebih
baik dari negara maju lainnya adalah Pemilihan Langsung Presiden maupun
Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung. Mungkin rakyat indonesia
masih menunggu hasil dari demokrasi yang yang membawa masyarakat adil
dan makmur secara keseluruhan.
C. Penutup
Pada intinya demokrasi adalah persamaan hak dan kedudukan dari setiap
warga negara di dalam sebuah negara yang demokratis. Demokrasi harus
ditegakkan dalam berbagai bidang, yakni demokrasi politik, demokrasi
ekonomi, demokrasi hukum dan demokrasi pjendidikan. Sedang inti
demokrasi itu sendiri adalah keadilan. Demokrasi yang sesungguhnya
adalah demokrasi tanpa embel-embel dibelakangnya, karena tiga macam
denokrasi yang diterapkan di indonesia ternyata gagal. Dengan demikian,
demokrasi dalam arti universal dan komprehensif dapat diciptakan melalui
tegaknya keadilan politik, keadilan ekonomi, keadilan sosial dan
keadilan hukum.
Kamis, 18 Oktober 2012
Perkembangan Demokrasi Di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno, Irwan. Tanpa tahun. Perkembangan Demokrasi di Indonesia Cabaran dan Pengharapan. Dalam www.google.com.
www.google.com. Tanpa tahun. Demokrasi. Dalam http://id.wikipedia.org.
http://candra.blog.fisip.uns.ac.id/2010/10/18/sejarah-perkembangan-demokrasi-di-indonesia/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar