Saat
ini, demokrasi telah berkembang di hampir seluruh dunia. Anggapan bahwa
demokrasi hanyalah merupakan benda antik khas barat yang tidak dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik dinegara lain, tidak menemukan
pembenarannya. Kemudian, kenapa demokrasi mampu menjadi sebuah sistem
yang begitu menarik bagi para ilmuwan politik untuk dikaji dan terus
dikembangkan.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Demokrasi
kontemporer di Indonesia selalu memfokuskan diri pada issu sekitar
perimbangan kekuatan antara negara dan masyarakat, isu representasi
dalam pemerintahan, dan yang terakhir mengenai peran partai-partai
politik dan perpecahannya. Sangat sedikit perhatian untuk tidak
mengatakan tidak ada sama sekali diberikan kepada isu mengenai bagaimana
teknologi berperan dalam proses demokratisasi. Sebaliknya, para ahli
teknologi kita jarang sekali melihat signifikasi aspek-aspek sosial
politik dalam proses pengembangan teknologi sehingga tidak jarang
menimbulkan diskrepansi antara teknologi yang dikembangkan dengan
realitas sosial politik.
Ada dua alasan diperlukannya suatu pemahaman
yang baik tentang keterkaitan antara demokrasi dan teknologi. Pertama
adalah bahwa sistem demokrasi yang baik pada situasi tertentu akan
sangat tergantung pada teknologi. Sebagai contoh adalah teknologi
telekomunikasi yang digunakan dalam proses penyebaran berita-berita
politik yang merupakah hak setiap warga negara. Atau misalnya teknologi
komputasi yang digunakan dalam proses penghitungan suara dalam pemilihan
umum. Peran teknologi menjadi penting ketika kita menyadari bahwa
sistem demokrasi yang baik dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak yang
berkepentingan melalui penguasaan teknologi tersebut.
Jika alasan
pertama menyorot pada bagaimana teknologi mempengaruhi sistem demokrasi,
maka alasan kedua berada pada anak panah yang sebaliknya, yakni
demokrasi mempengaruhi proses pengembangan teknologi. Pengembangan
teknologi di suatu negara, baik negara dimana peran pemerintah sangat
kuat maupun negara liberal seperti di Amerika Serikat, tidak pernah
lepas dari peran pemerintah. Pemerintahlah yang memiliki kekuasaan untuk
membuat suatu kebijakan teknologi. Point of interest di sini adalah
fakta bahwa pengembangan teknologi merupakan hasil dari suatu proses
politik. Di Indonesia, kebijakan teknologi menjadi penting jika kita
melihat fakta bahwa telah begitu banyak dana pengembangan teknologi
dikeluarkan oleh pemerintah tetapi tidak memberikan dampak signifikan
bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Ketika era
reformasi digulirkan oleh kalangan mahasiswa di Jakarta dan diikuti oleh
kampus-kampus dikota yang lain, ada satu hal yang membedakan secara
signifikan gerakan mahasiswa 1998 ini dengan apa yang dilakukan oleh
senior-senior mereka di tahun-tahun sebelumnya. Faktor penting tersebut
adalah penggunaan internet.
Secara fungsional internet adalah media
pertukaran informasi yang tidak berbeda fungsinya dari sebutlah itu
telepon, koran, faksimil. Tetapi internet memiliki empat karakteristik
yang membuatnya menjadi superior dibanding media komunikasi lainnya.
Pertama adalah biaya penggunaan yang relatif murah. Kedua adalah
sifatnya yang real time. Ketiga adalah sifatnya yang tanpa batas. Tidak
ada sekat-sekat ruang di media ini yang memungkinkan tiap orang dapat
saling terkoneksi dengan baik. Keempat, dan ini yang paling penting,
internet menyediakan ruang-ruang publik yang tidak dapat ditembus oleh
otoritas penguasa. Ketika Tempo dibredel oleh Harmoko atas nama penguasa
Orde Baru, bukan berarti kematian bagi Tempo. Internet lalu menjadi
alternatif yang sangat jitu dalam penyebaran berita-berita politik
aktual oleh Tempo.
Karakteristik-karakteristik tersebut menjadikan
internet media yang paling efektif dalam gerakan reformasi tahun 1998.
Berita-berita politik dapat disebar tanpa adanya hambatan dari penguasa.
Aksi-aksi demokrasi dapat terkonsolidasi dengan mudah lewat penggunaan
internet khususnya pengiriman surat lewat e-mail. Para pendukung gerakan
reformasi mendapat feedback yang cepat melalui internet. Secara umum
bahkan bisa dilihat bagaimana internet merubah perilaku individual dan
sosial masyarakat khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki
infratsruktur teknologi pendukung internet yang memadai seperti di
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Dari teknologi yang
kelihatannya sepele ini, gerakan reformasi mendapat momentum politik
yang besar. Kajian yang lengkap mengenai internet dan proses reformasi
di Indonesia dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Merlyna Lim, kandidat doktor Science, Technology, and Society Studies
(STS) University of Twente.
Tentunya internet bukanlah satu-satunya
faktor teknologis yang bermain. Telepon selular dan televisi adalah
faktor teknologis yang berperan cukup penting dalam akselerasi momentum
politik gerakan reformasi 1998. Tetapi internetlah yang memberikan suatu
kesempatan yang baru bagi para pelaku refromasi untuk saling
berinteraksi secara lebih intensif.
Berkembangnya suatu teknologi
adalah hasil dari konstruksi sosial. Suatu teknologi berkembang sebagai
suatu hasil bentukan sosial di mana teknologi tersebut berada. Ahli
teknik dan ahli desain yang merancang suatu produk teknologi “hanyalah”
agen-agen teknis yang “tunduk” pada proses sosial antara produk
teknologi dan masyarakat pengguna. Teknologi bukanlah suatu entitas
vakum dan bebas nilai. Ketika berinteraksi dengan masyarakat pengguna,
teknologi mengalami proses appropriation (diterjemahkan secara bebas
sebagai penyesuaian). Appropriation adalah suatu proses pemberian makna
oleh kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan nilai-nilai serta
kepentingan yang ada pada masyarakat tersebut terhadap suatu produk
teknologi Pemberian makna yang beragam, baik antar individu maupun anta
kelompok, menjadikan proses perkembangan (evolusi) teknologi menjadi
multikultural.
Dari penjelasan ini kita bisa memahami bagaimana
“nilai” suatu produk teknologi pada suatu kelompok sosial tertentu
berbeda dengan kelompok sosial lainnya karena perbedaan budaya kedua
kelompok tersebut Sebagai misal, kecenderungan orang Indonesia dalam
memaknai produk teknologi sebagai bagian dari gaya hidup menghasilkan
nilai guna yang berbeda dengan orang Eropa yang memperlakukan produk
teknologi semata-mata sebagai instrumen. Contoh yang gamblang adalah
telepon seluler yang bagi orang Indonesia dianggap bukan hanya sebagai
alat telekomunikasi, seperti yang dilakukan oleh orang Eropa, tetapi
sebagai simbol status. Perbedaan “makna” ini berimplikasi pada proses
penyesuaian yang berbeda terhadap produk teknologi yang sama yang
mempengaruhi proses perkembangan teknologi tersebut.
Proses
penyesuaian teknologi ini terjadi dalam teknologi internet dalam
kaitannya dengan proses demokratisasi di Indonesia. Setiap fungsi teknis
yang terangkum dalam internet mengalami proses penyesuaian yang tidak
hanya berimplikasi pada fungsi teknis, tetapi juga fungsi sosial dan
politik.
Proses penyesuaian menjadi krusial ketika teknologi menjadi
alat (manipulasi) politik yang ampuh. Penguasaan teknologi pencitraan
melalui satelit oleh negara-negara maju adalah salah satu bukti
bagaimana negara-negara tersebut mampu mendominasi konstelasi politik
dunia melalui teknologi. Atau bagaimana CNN yang pro-barat dengan
jaringan teknologi broadcasting yang sangat luas mampu menghegemoni
berita-berita dunia. Di Indonesia, kasus penguasaan teknologi sebagai
alat politik bisa dilihat ketika Golongan Karya masih berkuasa pada era
Orde Baru dimana televisi dan beberapa media lainnya dijadikan alat
propaganda yang ampuh.
Demokratisasi Teknologi
Isu
demokratisasi dalam teknologi dapat dilihat dalam konteks proses
kebijakan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, perkembangan teknologi
sedikit banyak bergantung pada kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini,
pengembangan teknologi adalah political statement dalam arti kata bahwa
teknologi merupakan representasi kepentingan-kepentingan politis. Hal
ini jelas terbukti pada kebijakan teknologi di beberapa negara di mana
perkembangan teknologi sangat tergantung pada keputusan politik
pemerintah untuk mencapai political ends tertentu atas negara lain.
Proyek
pengembangan teknologi dirgantara di era Habibie adalah contoh kasus
yang sangat kontekstual. Pengembangan teknologi canggih, khususnya
industri dirgantara merupakan political statement untuk mengangkat citra
Indonesia di mana internasional. Sebagai political statement, teknologi
canggih yang dikembangkan sangat sarat dengan muatan-muatan politik
yang sayangnya justru menjadikan proyek-proyek tersebut jauh dari
realitas sosial ekonomi masyarakat.
Kebijakan teknologi Habibie tidak
saja gagal dalam proyek pengembangan teknologi canggih, tapi juga telah
mengorbankan sektor lainnya untuk berkembang karena tersedotnya dana ke
sektor teknologi canggih yang menyerap dana triliunan rupiah.
Pengembangan teknologi pertanian misalnya, atau jenis teknologi lainnya
yang lebih menyentuh kebutuhan nyata masyarakat luas menjadi terhambat
dana yang terbatas.
Kegagalan kebijakan teknologi Habibie sangat erat
terkait dengan sistem politik otoriter di era Orde Baru. Kedekatan
Habibie dengan Presiden Suharto menjadikan proses kebijakan teknologi
menjadi sangat tertutup dan cenderung one-man-show sehingga manipulasi
sangat mungkin terjadi. Ketidaktepatan kebijakan yang dibuat Habibie
adalah bentuk governing mentality yang cenderung menafikan keterlibatan
publik dalam proses pengambilan keputusan (Campbell, 2000).
Agenda
demokratisasi teknologi di Indonesia dapat dimulai dengan transparansi
proses pembuatan kebijakan teknologi. Dominasi para elit-elit teknologi
yang berada dilembaga pemerintah seperti BPPT, Kementerian Riset dan
Teknologi, dan berbagai bentuk dewan riset yang ada sudah selayaknya
diimbangi dengan partisipasi publik secara luas.
MASALAH DEMOKRASI DI INDONESIA
Saat
ini, demokrasi telah berkembang di hampir seluruh dunia. Anggapan bahwa
demokrasi hanyalah merupakan benda antik khas barat yang tidak dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik dinegara lain, tidak menemukan
pembenarannya. Kemudian, kenapa demokrasi mampu menjadi sebuah sistem
yang begitu menarik bagi para ilmuwan politik untuk dikaji dan terus
dikembangkan.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Demokrasi
kontemporer di Indonesia selalu memfokuskan diri pada issu sekitar
perimbangan kekuatan antara negara dan masyarakat, isu representasi
dalam pemerintahan, dan yang terakhir mengenai peran partai-partai
politik dan perpecahannya. Sangat sedikit perhatian untuk tidak
mengatakan tidak ada sama sekali diberikan kepada isu mengenai bagaimana
teknologi berperan dalam proses demokratisasi. Sebaliknya, para ahli
teknologi kita jarang sekali melihat signifikasi aspek-aspek sosial
politik dalam proses pengembangan teknologi sehingga tidak jarang
menimbulkan diskrepansi antara teknologi yang dikembangkan dengan
realitas sosial politik.
Ada dua alasan diperlukannya suatu pemahaman
yang baik tentang keterkaitan antara demokrasi dan teknologi. Pertama
adalah bahwa sistem demokrasi yang baik pada situasi tertentu akan
sangat tergantung pada teknologi. Sebagai contoh adalah teknologi
telekomunikasi yang digunakan dalam proses penyebaran berita-berita
politik yang merupakah hak setiap warga negara. Atau misalnya teknologi
komputasi yang digunakan dalam proses penghitungan suara dalam pemilihan
umum. Peran teknologi menjadi penting ketika kita menyadari bahwa
sistem demokrasi yang baik dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak yang
berkepentingan melalui penguasaan teknologi tersebut.
Jika alasan
pertama menyorot pada bagaimana teknologi mempengaruhi sistem demokrasi,
maka alasan kedua berada pada anak panah yang sebaliknya, yakni
demokrasi mempengaruhi proses pengembangan teknologi. Pengembangan
teknologi di suatu negara, baik negara dimana peran pemerintah sangat
kuat maupun negara liberal seperti di Amerika Serikat, tidak pernah
lepas dari peran pemerintah. Pemerintahlah yang memiliki kekuasaan untuk
membuat suatu kebijakan teknologi. Point of interest di sini adalah
fakta bahwa pengembangan teknologi merupakan hasil dari suatu proses
politik. Di Indonesia, kebijakan teknologi menjadi penting jika kita
melihat fakta bahwa telah begitu banyak dana pengembangan teknologi
dikeluarkan oleh pemerintah tetapi tidak memberikan dampak signifikan
bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Ketika era
reformasi digulirkan oleh kalangan mahasiswa di Jakarta dan diikuti oleh
kampus-kampus dikota yang lain, ada satu hal yang membedakan secara
signifikan gerakan mahasiswa 1998 ini dengan apa yang dilakukan oleh
senior-senior mereka di tahun-tahun sebelumnya. Faktor penting tersebut
adalah penggunaan internet.
Secara fungsional internet adalah media
pertukaran informasi yang tidak berbeda fungsinya dari sebutlah itu
telepon, koran, faksimil. Tetapi internet memiliki empat karakteristik
yang membuatnya menjadi superior dibanding media komunikasi lainnya.
Pertama adalah biaya penggunaan yang relatif murah. Kedua adalah
sifatnya yang real time. Ketiga adalah sifatnya yang tanpa batas. Tidak
ada sekat-sekat ruang di media ini yang memungkinkan tiap orang dapat
saling terkoneksi dengan baik. Keempat, dan ini yang paling penting,
internet menyediakan ruang-ruang publik yang tidak dapat ditembus oleh
otoritas penguasa. Ketika Tempo dibredel oleh Harmoko atas nama penguasa
Orde Baru, bukan berarti kematian bagi Tempo. Internet lalu menjadi
alternatif yang sangat jitu dalam penyebaran berita-berita politik
aktual oleh Tempo.
Karakteristik-karakteristik tersebut menjadikan
internet media yang paling efektif dalam gerakan reformasi tahun 1998.
Berita-berita politik dapat disebar tanpa adanya hambatan dari penguasa.
Aksi-aksi demokrasi dapat terkonsolidasi dengan mudah lewat penggunaan
internet khususnya pengiriman surat lewat e-mail. Para pendukung gerakan
reformasi mendapat feedback yang cepat melalui internet. Secara umum
bahkan bisa dilihat bagaimana internet merubah perilaku individual dan
sosial masyarakat khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki
infratsruktur teknologi pendukung internet yang memadai seperti di
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Dari teknologi yang
kelihatannya sepele ini, gerakan reformasi mendapat momentum politik
yang besar. Kajian yang lengkap mengenai internet dan proses reformasi
di Indonesia dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Merlyna Lim, kandidat doktor Science, Technology, and Society Studies
(STS) University of Twente.
Tentunya internet bukanlah satu-satunya
faktor teknologis yang bermain. Telepon selular dan televisi adalah
faktor teknologis yang berperan cukup penting dalam akselerasi momentum
politik gerakan reformasi 1998. Tetapi internetlah yang memberikan suatu
kesempatan yang baru bagi para pelaku refromasi untuk saling
berinteraksi secara lebih intensif.
Berkembangnya suatu teknologi
adalah hasil dari konstruksi sosial. Suatu teknologi berkembang sebagai
suatu hasil bentukan sosial di mana teknologi tersebut berada. Ahli
teknik dan ahli desain yang merancang suatu produk teknologi “hanyalah”
agen-agen teknis yang “tunduk” pada proses sosial antara produk
teknologi dan masyarakat pengguna. Teknologi bukanlah suatu entitas
vakum dan bebas nilai. Ketika berinteraksi dengan masyarakat pengguna,
teknologi mengalami proses appropriation (diterjemahkan secara bebas
sebagai penyesuaian). Appropriation adalah suatu proses pemberian makna
oleh kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan nilai-nilai serta
kepentingan yang ada pada masyarakat tersebut terhadap suatu produk
teknologi Pemberian makna yang beragam, baik antar individu maupun anta
kelompok, menjadikan proses perkembangan (evolusi) teknologi menjadi
multikultural.
Dari penjelasan ini kita bisa memahami bagaimana
“nilai” suatu produk teknologi pada suatu kelompok sosial tertentu
berbeda dengan kelompok sosial lainnya karena perbedaan budaya kedua
kelompok tersebut Sebagai misal, kecenderungan orang Indonesia dalam
memaknai produk teknologi sebagai bagian dari gaya hidup menghasilkan
nilai guna yang berbeda dengan orang Eropa yang memperlakukan produk
teknologi semata-mata sebagai instrumen. Contoh yang gamblang adalah
telepon seluler yang bagi orang Indonesia dianggap bukan hanya sebagai
alat telekomunikasi, seperti yang dilakukan oleh orang Eropa, tetapi
sebagai simbol status. Perbedaan “makna” ini berimplikasi pada proses
penyesuaian yang berbeda terhadap produk teknologi yang sama yang
mempengaruhi proses perkembangan teknologi tersebut.
Proses
penyesuaian teknologi ini terjadi dalam teknologi internet dalam
kaitannya dengan proses demokratisasi di Indonesia. Setiap fungsi teknis
yang terangkum dalam internet mengalami proses penyesuaian yang tidak
hanya berimplikasi pada fungsi teknis, tetapi juga fungsi sosial dan
politik.
Proses penyesuaian menjadi krusial ketika teknologi menjadi
alat (manipulasi) politik yang ampuh. Penguasaan teknologi pencitraan
melalui satelit oleh negara-negara maju adalah salah satu bukti
bagaimana negara-negara tersebut mampu mendominasi konstelasi politik
dunia melalui teknologi. Atau bagaimana CNN yang pro-barat dengan
jaringan teknologi broadcasting yang sangat luas mampu menghegemoni
berita-berita dunia. Di Indonesia, kasus penguasaan teknologi sebagai
alat politik bisa dilihat ketika Golongan Karya masih berkuasa pada era
Orde Baru dimana televisi dan beberapa media lainnya dijadikan alat
propaganda yang ampuh.
Demokratisasi Teknologi
Isu
demokratisasi dalam teknologi dapat dilihat dalam konteks proses
kebijakan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, perkembangan teknologi
sedikit banyak bergantung pada kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini,
pengembangan teknologi adalah political statement dalam arti kata bahwa
teknologi merupakan representasi kepentingan-kepentingan politis. Hal
ini jelas terbukti pada kebijakan teknologi di beberapa negara di mana
perkembangan teknologi sangat tergantung pada keputusan politik
pemerintah untuk mencapai political ends tertentu atas negara lain.
Proyek
pengembangan teknologi dirgantara di era Habibie adalah contoh kasus
yang sangat kontekstual. Pengembangan teknologi canggih, khususnya
industri dirgantara merupakan political statement untuk mengangkat citra
Indonesia di mana internasional. Sebagai political statement, teknologi
canggih yang dikembangkan sangat sarat dengan muatan-muatan politik
yang sayangnya justru menjadikan proyek-proyek tersebut jauh dari
realitas sosial ekonomi masyarakat.
Kebijakan teknologi Habibie tidak
saja gagal dalam proyek pengembangan teknologi canggih, tapi juga telah
mengorbankan sektor lainnya untuk berkembang karena tersedotnya dana ke
sektor teknologi canggih yang menyerap dana triliunan rupiah.
Pengembangan teknologi pertanian misalnya, atau jenis teknologi lainnya
yang lebih menyentuh kebutuhan nyata masyarakat luas menjadi terhambat
dana yang terbatas.
Kegagalan kebijakan teknologi Habibie sangat erat
terkait dengan sistem politik otoriter di era Orde Baru. Kedekatan
Habibie dengan Presiden Suharto menjadikan proses kebijakan teknologi
menjadi sangat tertutup dan cenderung one-man-show sehingga manipulasi
sangat mungkin terjadi. Ketidaktepatan kebijakan yang dibuat Habibie
adalah bentuk governing mentality yang cenderung menafikan keterlibatan
publik dalam proses pengambilan keputusan (Campbell, 2000).
Agenda
demokratisasi teknologi di Indonesia dapat dimulai dengan transparansi
proses pembuatan kebijakan teknologi. Dominasi para elit-elit teknologi
yang berada dilembaga pemerintah seperti BPPT, Kementerian Riset dan
Teknologi, dan berbagai bentuk dewan riset yang ada sudah selayaknya
diimbangi dengan partisipasi publik secara luas
Kamis, 18 Oktober 2012
Masalah Demokrasi Di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
:X
asyik artikel dalam menganalisis demokrasi di indonesia
Posting Komentar