" .
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG MASALAH
Pancasila
sebagai dasar Negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara
di Republik Indonesia. Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik
Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila. Kesadaran etik yang merupakan
kesadaran relational akan
tumbuh
subur
bagi
warga
masyarakat Indonesia ketika nilai-nilai pancasila itu diyakini kebenarannya, kesadaran etik juga akan lebih berkembang ketika nilai dan moral pancasila itu dapat di breakdown kedalam norma-norma yang di berlakukan di Indonesia .
masyarakat Indonesia ketika nilai-nilai pancasila itu diyakini kebenarannya, kesadaran etik juga akan lebih berkembang ketika nilai dan moral pancasila itu dapat di breakdown kedalam norma-norma yang di berlakukan di Indonesia .
Pancasila
juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai
sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum,
norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung
didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional,
sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan
suatu nilai, Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung
menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek
prasis melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar.
Nilai-nilai
pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan
suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan
tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian
yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan
sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila juga merupakan suatu
cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa
Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri
sebagai asal mula (kausa materialis).
Pancasila
bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis
melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum
baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus
dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam
kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan
masalah yang ada di makalah ini adalah
1.
Apa pengertian etika?
2.
bagaimana pengertian nilai, norma dan moral?
3.
Apa itu hierarkhi nilai?
4.
Bagaimana hubungan antara nilai, norma
dan moral?
5.
Bagaimana pengertian etika politik dan
politik?
6.
Apa definisi dimensi politisi manusia?
7.
Nilai-nilai apa yang tergandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik ?
1.3
TUJUAN PENULISAN
Tujuan
dalam makalah ini adalah
1.
Untuk
mengetahui
pengertian
nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik.
2.
Dapat mengerti hubungan antara nilai,
norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik.
3.
Dapat memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Etika
Sebagai suatu usaha
ilmiah, filsafat dibagi, menjadi beberapa cabang menurut lingkungan
masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok
yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat pertama berisi tentang
segala sesuatu yang ada sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam,
hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa
yang kita ketahui dan tentang yang transenden.
Etika termasuk kelompok
filsafat praktis dan dibagi menjadi. dua kelompok yaitu etika umum
dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran danpandangan-pandangan moral. itu dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika adalah suatu ilmu
yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran
moral tertentu, atau bagaimana kita harus menggambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).
Etika umum merupakan prinsip- prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip Etika
khusus dibagi menjadi etika individu yang membahas
kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang
kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan
suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan
berbagai masalah nilai karena etika pada pada umumnya membicarakan
masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai "susila" dan
"tidak susila", "baik" dan "buruk".
Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan
yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang
yang tidak susila. Sebenarnya etika banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip
dasar pembenaran dalam hubungan dengan, tingkah laku manusia
(Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan
dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika adalah kelompok filsafat praktis
(filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok.
Etika
merupakan
suatu
pemikiran
kritis
dan
mendasar
tentang
ajaran-ajaran
dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah ilmu yang
membahas
tentang
bagaimana
dan
mengapa
kita
mengikuti
suatu
ajaran
tertentu
atau
bagaimana
kita
bersikap
dan
bertanggung
jawab
dengan
berbagai
ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1.
Etika Umum,
mempertanyakan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2.
Etika Khusus,
membahas
prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia,
baik
sebagai
individu
(etikaindividual) maupun mahluk sosial
(etikasosial).
2.2
Pengertian Nilai, Norma, dan Moral
2.2.1
Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan
yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menyebabkan
menarik
minat
seseorang
atau
kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka nilai itu adalah suatu kenyataan
yang tersembunyi
dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai
berarti
menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang
dapat
menyatakan
berguna
atau
tidak
berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani,
akal, rasa, karsa
dan
kepercayaan.
Nilai
atau “value” (bahas Inggris) termasuk bidang kajian filsafat,
persoalan-persoalan
tentang
nilai
dibahas
dan
dipelajari
salah
satu
cabang
filsafat
yaitu
filsafat
nilai (Axiology, theory of value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di
dalam
bidang
filsafat
dipakai
untuk
menunjuk kata benda abstrak yang artinya “kebiasaan” (wath) atau kebaikan
(goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229)
Nilai adalah sesuatu yang berharga,
berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat,
martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai
sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan,
disamping sistem sosial dan karya. Cita-cita, gagasan, konsep dan ide tentang
sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai.
Oleh karena itu, nilai dapat dihayati
atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang
abstrak. Manusia dalam memilih nilai-nilai menempuh berbagai cara yang dapat
dibedakan menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan kenyataannya.
Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan menekankan pada
segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik berpusat pada
kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun
politik.
Dengan
demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi
mendorong
dan
mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia.Nilai sebagai suatu system merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping system social dan karya.Oleh karenaitu, Alport mengidentifikasikan nilai-nilai
yang terdapat
dalam
kehidupan
masyarakat
pada
enam
macam, yaitu : nilaiteori, nilaiekonomi, nilaiestetika, nilaisosial,
nilaipolitikdannilaireligi.
Di dalam Dictionary of sosiology and Related Sciences
dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok, ( the believed capacity of any object to
statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri.Di dalam nilai itu sendiri
terkandung cita – cita, harapan – harapan, dambaan – dambaan dan keharusan.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein,
kita masuk kerokhanian bidang makna normatif, bukan kognotif, kita msuk ke
dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian, diatara keduannya saling
berhubungan atau saling berkait secara erat, artinya bahwa das Sollen itu harus
menjelma menjadi das Sein, yng ideal harus menjadi real, yang normatif harus
direalisasikan dalam perbuatan sehari – hari yang merupakan fakta.
2.2.2
Pengertian Norma
Kesadaran akan hubungan yang ideal
akan menumbuhkan kepatuhan terhadap peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk
tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
motivasi tertentu.
Norma sesungguhnya perwujudkan
martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma
merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai
untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma
dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma
kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat
dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a.
Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan
sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri,
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya
berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat,
d.
Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda
yang dipaksakan oleh alat Negara.
2.2.3
Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores)
yang artinya kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang
baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang
yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggao tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa
peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat
berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan
seperti moral ketuhanan atau agama, moral, filsafat, moral etika, moral hukum,
moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma dan moral secara bersama mengatur
kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
2.3
Pengertian Hierarkhi Nilai
Hierarkhi
nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu –masyarakat
terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai
tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang
ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat
tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah
nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita
atau tidak enak,
2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai
penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,
3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai
yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
4.
Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas
nilai dari yang suci.
Walter G . everet menggolongkan nilai – nilai manusiawi
kedalam delapan kelompok yaitu:
a) Nilai – nilai ekonomis
b) Nilai – nilai kejasmanian c) Nilai – nilai hiburan d) Nilai – nilai sosial e) Nilai – nilai watak |
f) Nilai – nilai estetis
g) Nilai – nilai intelektual h) Nilai – nilai keagamaan |
Sementara itu, Notonagoro membedakan
menjadi tiga, yaitu :
1. Nilai material yaitu segala sesuatu yang
berguna bagi jasmani manusia,
2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna
bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan,
3. Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang
bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
a. Nilai kebenaran yaitu nilai yang
bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
b. Nilai keindahan/estetis yaitu
nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral
yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.
d. Nilai religius yaitu nilai
kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.
Dalam
pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria
sehingga merupakan suatu keharusan
anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu,
nilai berperan sebagai pedoman yang
menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani,
kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber
pada berbagai sistem nilai.
Dari uraian
mengenai macam – macam nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa yang
mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan
tetapi juga sesuatu yang berwujud non material atau immatrial. Notonagoro
berpendapat bahwa nilai – nilai pancasila tergolong nilai – nilai kerokhanian,
tetapi nilai – nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital.
Dengan demikian nilai – nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai
matrial, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau
nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, yang dimulai dari
sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’.
2.4
Hubungan
antara Nilai, Norma dan Moral
Keterkaitan
nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu
pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digaris bawahi bila
seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat
tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana
tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku
manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam
kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan
memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat
ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara
moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya.
Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan
seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran
moral.
2.5
Pengertian Etika Politik Dan Politik
2.5.1
Pengertian Etika Politik
Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan
kebaikan dan kejahatan. Etika politik yang demikian, memiliki tujuan
menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan mana yang jelek. Apa
standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik dalam konteks
politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum.
Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan
tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di
negeri ini.Etika politik bangsa Indonesia dibangun melalui karakteristik
masyarakat yang erdasarkan Pancasila sehingga amat diperlukan untuk menampung
tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Karena
itu, etika politik lebih bersifat konvensi
dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah
maka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan
tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih
jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan
merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya ada dua hal: (a) pudarnya nilai-nilai etis yang
sudah ada, dan (b) tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan
moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi
budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau
belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk membuka
seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Tanpa
disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia cenderung mengarah pada kompetisi
yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan
sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat.
Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah
etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian
tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke arah “jual-beli”
menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang.[1][1]
Namun demikian, perlu dibedakan
antara etika politik dengan moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut
mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi (dan memang sangat
diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika
politik menjawab dua pertanyaan:
1. Bagaimana seharusnya bentuk
lembaga-lembaga kenegaraan seperti hokum dan Negara (misalnya: bentuk Negara
seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
2. Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran
segala kebijakan politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik oleh badan
legislatif maupun eksekutif.
Etika politik adalah perkembangan filsafat
di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato,
Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan
pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan
etika politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka
pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima
tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut
ratio/nalar, secara etis. Karena itu, sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan
pokok-pokok etika politik seperti:
a.
Perpisahan antara kekuasaan gereja
dan kekuasaan Negara (John Locke)
b. Kebebasan berpikir dan beragama
(Locke)
c.
Pembagian kekuasaan (Locke,
Montesquie)
d. Kedaulatan rakyat (Rousseau)
e.
Negara hokum demokratis/republican
(Kant)
f.
Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
g.
Keadilan sosial
2.5.2
Pengertian Politik
Pengertian ‘politik’ berasal dari kosakata ‘politics’,
yang memiliki makna bermacam – macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘
negara’, yang menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan dari sistem itu dan
diikuti dengan pelaksanaan tujuan itu. Berdasarkan pengertian – pengertian
pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep
– konsep pokok yang berkaitan dengan negara ( state), kekuasaan ( power),
pengambilan keputusan ( decision making), kebijaksanaan ( policy), pembagian (
distribution), serta alokasi ( allocation).
Pengertian politik secara sempit, yaitu bidang politik
lebih banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan negara, lembaga –
lembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik serta para pejabat serta
birokrat dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara. Pengertian politik yang
lebih luas, yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan
hidup yang disebut masyarakat negara.
2.6
Definisi
Dimensi Politisi Manusia
2.6.1
Manusia sebagai Makhluk Individu – Sosial
Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham
liberalisme, memandan manusia sebagai makhluk individu yang bebas. Segala hak
dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan
dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu.
Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar srana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial.
Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar srana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia sebgai makhluk yang berbudaya, kebebasan
sebagai individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa
tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan manusia sebagai warga
masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam hidupnya mampu
ber-eksistensi karena orang lain dan ia hanya dapt hidup dan berkembang karena
dalam hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang dibutuhkannya
agar berhasil dalam segal kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan
diperolehnya dari masyarkat.
Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam pancasila
yang nilainya terdpt dalm budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat
kodrat manusia adalah bersifat ‘monodualis’. Maka sifat serta ciri khas
kebangsan dan kenegaraan indonesia, bukanlah totalitas individualistis ataupun
sosialistis melainkan monodualistis.
2.6.2
Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagan hukum dan
negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang memberikan legitmimasi
kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagi makhluk individu
dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa berkaitan dengan kehidupan negara
dan hukum, sehingga senantiasa berkaitn dengan kehidupan masyrakat secara
keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis mnakala diambil dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian
dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadarn manusia akan
dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang
menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan kembali oleh kerangka
kehidupanny serta ditentukan kembali oleh tindakan – tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi
fundmental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi
fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek
ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan moral manusia.
2.7
Nilai-nilai
Tergandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta sila kedua
‘ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai –nilai moral
bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika
politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai dengan:
a) Asas legalitas ( legitimasi hukum).
b) Di sahkan dan dijalankan secara demokratis (
legitimasi demokratis)
c) Dilaksanakan berdasarkan
prinsip – prinsip moral / tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga
dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut
kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus
berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila
2). Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu ‘ keadilan’ dalam
hidup bersama ( keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah
merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan
pnyelenggraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian
senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat
dari makalah ini adalah
1. Pancasila adalah sebagai suatu sistem filsafat yang
pada hakikatnya merupakan nilai sehingga merupakan sumber dari segala
penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan laianya.
2. Suatu pemikiran filsafat tidak seccara langsung
menyajikan norma – norma yang merupakan pedoman dakam suatu tindakan atau aspek
praktis melainkan nilai – nilai yang bersifat mendasar.
3. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang
prinsip – prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia yang membicarakan
masalah – masalah yang berkaitan dengan predikat “susila” dan “tindak susila”,
“baik” dan “buruk”.
4. Hubungan sistematik antara nilai, norma dan moral
tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praktis dalam kehidupan manusia.
5. Etika politik adalah termasuk lingkup etika sosial
manusia yang secara harfiah berkaitan dengan bidang kehidupan politik.
Sekian dulu pembahasan Makalah Pancasila, "Pancasila Sebagai Filsafat Bangsa Indonesia" untuk para Sobat searching Makalah Cyber ( MakBer ) setia, semoga makalah yang kami bagikan dapat bermanfaat bagi para MakBer semua. jangan lupa follow twitter kami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar