KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan karya tulis ini.
Shalawat dan salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kaum muslim dari zaman yang gelap gulita dan
penuh kebodohan kepada zaman yang terang benderang. Kepada para
keluarganya, para sahabatnya, para tabi’it-tabi’itnya, dan mudah-mudahan
sampai kepada kita semua sebagai umatnya yang masih taat mengikuti
ajaran beliau, dan sama-sama mengharapkan Safa’atul Uzma darinya di hari
akhir nanti.
Melalui
ini, penulis mencoba menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan
mata kuliah filsafat pancaila dan kewarganegaraan yaitu Identitas
Nasional, Negara, Kewarganegaraan, serta Agama.
Mengingat
keterbatasan ilmu yang penulis miliki, karya tulis ini mungkin jauh
dari kata sempurna. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik serta
saran dari para pembaca yang budiman agar terciptanya karya tulis yang
lebh baik pada waktu yang akan datang.
Tak
lupa penulis mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya, apabila
terdapat kesalahan di dalam karya tulis ini, baik dalam segi penulisan
maupun penyampaian. Semoga karya tulis ini bermanfaat, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca sekalian. Amiin.
Bandung, April 2012
Penulis
i
Daftar isi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
Bab 1 : PENDAHULUAN .................................................................................... iv
1.1 LATAR BELAKANG......................................................................... iv
1.2 RUMUSAN MASALAH.................................................................... iv
1.3 TUJUAN PENULISAN...................................................................... iv
1.4 METODE PENULISAN ................................................................... v
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN .................................................. …… v
Bab 2 : PEMBAHASAN . .................................................... 1
2.1 IDENTITAS NASIONAL ...................................................... 1
2.1.1 PENGERTIAN IDENTITAS NASIOAL ……………….. 1
2.2 KEWARGANEGARAAN .................................................... 3
2.2.1 PENGERTIAN KEWARGANEGARAAN …………… 3
2.3 NEGARA ……………… ..................................................... 4
2.3.1 PENGERTIAN NEGARA ………………………………. 4
2.4 AGAMA ..................................................... 5
2.4.1 PENGERTIAN AGAMA ………………………………. 5
2.4.2 CARA BERAGAMA ………………………………….. 8
2.4.3 FUNGSI AGAMA ……………………………………… 9
2.5 HUBUNGAN ANTARA AGAMA DENGAN NEGARA ............ 9
2.5.1 PENGERTIAN NEGARA ……………………………… 9
2.5.2 PENGERTIAN NEGARA MENURUT PARA AHLI …. 11
2.5.3 ASAL MULA TERJADINYA NEGARA
BERDASARKAN FAKTA EJARAH ……………….. 12
2.5.4 KETERKAITAN ANTARA
AGAMA DENGAN NEGARA …………………….. 12
ii
Bab 3 : PENUTUP ............................................................................................ 20
3.1 KESIMPULAN …………………………………………………. 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 21
iii BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Filsafat
pancasila dan kewarganegaraan adalah salah satu mata kuliah yang
menerangkan tentang, seluk beluk tata kehukuman yang berlaku di Negara
Republik Indonesia saat ini. Banyak sekali hal yang dijelaskan di dalam
mata kuliah ini, beberapa diantaranya adalah penjelasan tentang
Identitas Nasional, Kewarganegaraan, Negara, dan Agama, seperti apa yang
akan kami bahas pada kesempatan kali ini.
Kami
rasa mata kuliah ini adalah salah satu mata kuliah yang patut untuk
dipelajari. Sebab, denan mempelajari mata kuliah ini kita dapat
mengetahui bagaimana awal mula hukum-hukum yang berlaku di Indonesia
saat ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun beberapa masalah yang akan kita kaji dalam makalah ini. diantaranya :
1. Apa yang dimaksud dengan Identitas Nasional ?
2. Apa yang dimaksud dengan Kewarganegaraan ?
3. Apa yang dimaksud dengan Negara ?
4. Apa yang dimaksud dengan Agama ?
5. Apa hubungan antara Agama dengan Negara ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah
1. Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Identitas Nasional,
2. Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Kewarganegaraan,
3. Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Negara,
4. Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Agama,
5. Kita dapat mengetahui apa hubungan antara Agama dengan Negara.
iv
1.4 METOODE PENULISAN
Dalam
penulisan makalah kali ini penulis menggunakan salah satu metode yang
sering digunakan. Yaitu, metode kualitatif, dengan melihat sumber-sumber
dari buku, media dan lain sebagainya.
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini ditulis secara sistematis, terdiri dari bab, lembar ( lembar cover, lembar kata pengantar, lembar daftar isi, lembar Bab I, lembar Bab II, lembar Bab III, lembar daftar pustaka), halaman penjelasan, yang disusun dalam kertas jenis HVS berukuran A4 (21cm x 29,7cm) dan menggunakan ukuran huruf 12 & 16.
Bab II
Pembahasan
2.1 identitas nasional
2.1.1 pengertian identitas nasional
Setiap
bangsa di dunia pasti memiliki lambang yang merupakan ciri dari bangsa
tersebut, lambang biasanya terkait dengan mitos, kepercayaan, dinamika,
karakter bangsa dalam menyongsong masa depan, dan semangat juang serta
cita-cita.
Bangsa
Indonesia pun memiliki ciri khasnya sendiri yang dijadikan identitas
bangsa Indonesia, yaitu lambang Burung Garuda yang biasa disebut dengan Garuda Pancasila, Bahasa Indonesia, dan Bendera Merah Putih.
A. Garuda Pancasila
Menunjukan jiwa yang dinamis serta optimis, lambang garuda pancasila sendiri terdiri atas tiga bagian, yaitu :
a. Burung garuda yang berdiri tegak,
b. Perisai berbentuk jantung,
c. Semboyan atau seloka yang tertulis pada pita yang dicengkram burung garuda yang bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika”.
a. Burung garuda yang berdiri tegak
Burung garuda yang berdiri tegak dan mengembangkan sayapnya kekiri dan kekanan, kepala yang menoleh tegak ke kanan bermakna :
o Garuda diambil dari peradaban bangsa Indonesia, Melambangkan kekuatan, kekuasaan, kesetiaan, dan perjuangan bangsa Indonesia.
o Garuda menoleh kekanan melambangkan kebaikan, optimis, serta langkah mujur.
o Sayap masing-masing berjumlah 17 helai berarti tanggal 17 yang merupakan tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia.
o Bulu ekor yang berjumlah 8 helai berarti bulan agustus yang merupakan bulan ke-8 bertepatan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia.
o Pada
bagian berutu berjumlah 19 dan pada bagian leher berjumlah 45 helai,
yang berarti tahun 1945 dimana Indonesia mencapai kemerdekaannya.
b. Perisai
berbentuk jantung, tergantung dengan rantai pada leher burung garuda.
Perisai terbagi pada 5 ruangan yang didalamnya terklukis lambang
sila-sila pancasila. Bermakna :
o Perisai melambangkan perlindungan
o Garis melintang ditengah perisai melukiskan garis katilistiwa.
o Lima
lukisan (nurcahya, rantai bermata bulat, pohon beringin, kepala
banteng, serta padi dan kapas) didalam perisai melambangkan sila
pancasila.
c. Seloka (semboyan) tertulis pada pita yang sicengkram burung garuda bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika“ bermakna :
o Seloka
dipetik dari buku Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular dikerajaan
Majapahit. Yang berarti beda itu, satu itu. Bhineka berasal dari bahasa
sanskerta dari bhina yang berarti bega, Ika berarti itu, Tunggal Ika
berarti satu itu. Atau dapat disimpulkan (beda itu satu).
Setiap
bangsa dan negara yang ingin kokoh kuat, tidak mudah terombang-ambing
oleh kerasnya persoalan hidup berbangsa dan bernegara, sudah barang
tentu perlu memiliki dasar negara dan ideologi negara yang kokoh dan
kuat pula. Tanpa itu, maka bangsa dan negara akan rapuh.
Selain
sebagai identitas nasional bangsa Indonesia =, pancasila juga merupakan
ideologi bangsa ini. Ideologi diambil dari kata idea (inggris), yang
artinya gagasan, pengertian. Kata kerja Yunani oida = mengetahui,
melihat dengan budi. Kata “logi” yang berasal dari bahasa Yunani logos
yang artinya pengetahuan. Jadi dapat disimpulkan bahwa ideologi memiliki
arti pengetahuan tentang gagasan-gagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar.
Anda bisa lihat tabel dibawah ini yang merupakan tabel konsep Pancasila.
B. Bahasa Indonesia
Bahasa
indonesia berasal dari bahasa melayu Riau yang dijadikan pengantar
berkomunikasi dikalangan pedagang dan dikalangan intelektual bangsa
Indonesia. Lahirnya bahasa Indonesia berkaitan dengan sumpah pemuda pada
anggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia merupakan salah satu puncak
budaya yang diperkaya oleh bahasa daerah dan bahasa asing.
C. Bendera Merah Putih
Pada
bendera merah putih sebagai bersatunya manusia dengan alam lebih jauh
dikemukakan bila manusia terluka mengeluarkan darah berwarna merah,
sedangkan pohon yang terluka mengeluarkan getah berwarna putih. Bendera
merah putih untuk berkibar di langit persada ibu pertiwi melalui
perjuangan-perjuangan bukan saja hanya pengorbanan harta, waktu, dan
tenaga, akan tetapi disertai cucuran darah para syuhada dan air mata
bangsa Indonesia.
2.2 kewarganegaraan
2.2.1 pengertian kewarganegaraan
Kewarganegaraan
merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara
khusus yaitu negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi
dalam kegiatain politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian
disebut warga negara. seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan
merupakan konsep dari kewargaan (dalam bahasa inggris citizenship).
Dalam pengertian ini, warga suatu Kota atau Kabupaten disebut sebagai
warga kota atau warga kabupaten, karena kefuanya juga merupakan satuan
politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena
masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang
berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki memiliki kemiripan dengan kebangsaan (dalam bahasa inggris nationality).
Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam kepolitikan. Ada
kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara
(contoh secara hukum merupakan subjek suatu negara dan berhak atas
perlindungan tanpa memiliki hak untuk berpartisipasi didalam politik).
Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota
bangsa dari suatu negara.
Dibawah
kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan
kewajiban. Dalam filosofi disebut “kewarganegaraan aktif”, seorang warga
negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan
komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela,
dan berbagai kegiatan serupa untuk memperbaiki penghidupan
masyarakatnya.
Seorang
Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh
Undang-Undang (UU) sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang
ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Berdasarkan Kabupaten
atau Provinsi tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang
ini akan diberikan nomor indentitas yang unik Nomor Induk Kependudukan
(NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatat diri dikantor
pemerintahan. Paspor diberikan negara kepada warga negaranya sebagai
bukti identitasyang bersangkutan dengan tata hukum internasional.
Kewarganegaraan
Republik Indonesia diatur dalam UU no.12 tahun 2006 tetntang
kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi
Warga Negara Indonesia adalah seriap orang yang sebelum berlakunya UU
tersebut telah menjadi WNI anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari
seorang ayah WNI dan ibu WNA (Warga Negara Asing), atau sebaliknya.
2.3 negara
2.3.1 PENGERTIAN NEGARA
Negara
dalah salah satu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik
politik, militer, ekonomi, sosial, maupun budayanya diatur oleh
pemerintahan yang berada diwilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu
wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua
individu diwilayah tersebut, dan berdiri secara independent. Syarat
primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan
memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya
adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
Negara
adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu
wilayah tersebut, dengan sejumlah seorang yang menerima keberadaan
organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu
wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang
disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah
tempat negara itu berada.
Keberadaan
negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan
anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan
bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai
konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan
cita-cita bersama, maksud didirikannya negara konstitusi merupakan
dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur
bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai
Undang-Undang.
2.4 agama
2.4.1 pegertian agama
Agama menurut kamus besar bahasa indonesia adalah
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Emile
Dhurkeim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang
terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang
suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus
meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani
yang sempurna kesuciannya.
Adapun pendapat lain yang mengatakan mencari
pengertian agama, dari sudut kebahasaan (Etimologis) terasa akan lebih
mudah jika dibandingkan dari sudut istilah (Terminologis), karena
mendefinisikan agama dari sudut istilah sudah mengandung muatan
subyektivitas dari orang yang mengartikannya. Kesulitan ini diakui oleh
Prof. Mukti Ali (Bapak Ahli Perbandingan Agama) dan juga James H. Leuba
(Orientalis) dalam mendefinisikan agama.
Pada umumnya kata agama dipahami “A” berarti tidak dan “Gama” berarti kacau,
dengan maksud orang yang beragama maka hidupnya tidak akan kacau.
Mengacu terjemahan dari bahasa Sanskerta, yang diartikan secara terpisah
lalu secara terpadu didefinisikan seperti itu, menurut Prof. Sulaiman,
Guru Besar UII dan Bahrum Rangkuti adalah analisa ilmiah yang tidak benar. Menurut Bahrum, kata Agama, A-nya dibaca panjang (A-gama) berarti cara, jalan, karena kata itu berasal dari bahasa Indo-German, yaitu “Gam” yang berarti jalan, cara berjalan, cara-cara sampai keridhoan Tuhan. Mungkin mereka yang menerangkan seperti itu belum mengetahui bahasa Sanskerta.
Agama dalam bahasa Latin adalah Religi asal kata dari Relegere, yaitu “Re” berarti kembali dan “Ligere” berarti terkait/terikat,
maknanya agama mempunyai sifat mengikat bagi pemeluknya. Lalu perkataan
ini berkembang di seluruh penjuru benua Eropa dengan lafal yang
bervariasi, sesuai dengan bahasa bangsa-bangsa yang hidup di benua
tersebut, seperti Religie (Belanda), Religion/Religious (Inggris) dan
sebagainya.
Sedangkan dalam bahasa Arab, agama disebut Dien, sempurnanya Ad-Dien ( الد ين ) masdar dari دَانَ - يَدِيْنُ , menurut lughat mempunyai arti bermacam-macam diantaranya berarti :
Pengertian umum yang dapat dipahami, Ad-Dien artinya Undang-undang atau peraturan Allah I yang mesti ditaati dan dipatuhi oleh manusia.
Dalam
Qur’an, kata Dien dipergunakan, tidak hanya untuk Islam tapi juga untuk
selain Islam, termasuk juga kepercayaan pada berhala, seperti yang
terdapat pada QS. Al-Kafirun 1-6.
Ketiga
pengertian Etimologis diatas baik Agama, Religi ataupun Ad-Dien,
masing-masing mempunyai riwayat dan sejarah sendiri-sendiri. Sedangkan
dari sudut Terminologis (istilah) adalah yang paling sulit, karena ada 3
alasan, ungkap Prof. Mukti Ali, sebagai berikut :
1. Pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis sifatnya.
2. Barangkali
tidak ada orang yang begitu semangat dan emosional daripada orang yang
membicarakan agama. Karenanya emosi selalu melekat dalam pembahasan
tentang agama.
3. Konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.
Walaupun
demikian beliau tetap mencoba memberikan definisi sebagai berikut:”
Agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan
hukum-hukum/aturan-aturan yang diwahyukan Tuhan kepada utusan-utusan-Nya
untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat (Etika Agama dan Pembentukan Kepribadian Nasional, Mukti Ali-1962).
Sedangkan
“Religi adalah kepercayaan dan hubungan manusia dengan yang kudus,
dihayati sebagai hakekat yang ghaib, dimana hubungannya diwujudkan dalam
sistem dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu”. Demikian Sidi Gazalba dalam bukunya “ Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam-1962”.
Dan
istilah Dien, karena berasal dari bahasa Arab dan terdapat dalam kitab
suci Al-Qur’an juga dalam hadits Nabi, maka lebih layaklah kita mengacu
pada definisi yang dibuat oleh para ulama/ilmuwan muslim, diantaranya
adalah pendapat Syaikh Mustafa Abdurraziq dalam “Din, Wahyu Wa Al-Islam”,menyatakan:
“Dien
adalah wahyu Allah semata kepada Nabi-nabi yang dipilih-Nya diantara
umat manusia dan mengutus mereka untuk menjadi imam-imam yang
menunjukkan jalan (untuk kebahagiaan dunia dan akhirat) dengan bimbingan
Allah I”.
Sedangkan Dr. Rauf Syalabi dalam bukunya “ Yaa Ahlal Kitab Ta’alau ila Kalimatin Sawa” setelah beliau berpanjang lebar mengartikan Dien secara rinci baik dari sudut etimologis maupun terminologis yang komprehensif menyimpulkan bahwa “ Dinullah
adalah ajaran yang menyeluruh (sempurna), yang tidak saja mencakup
perorangan dan keluarga,tapi juga masyarakat umum dan negara (politik),
jadi bukan hanya ritual ibadah, bukan hanya ajaran kerohanian, namun
ajaran komprehensif yang mencakup fisik dan metafisik, serta duniawi dan
ukhrowi (akhirat) secara serentak".
Sekian
penyusun menguraikan tentang agama, religi dan dien, walaupun amat
disadari oleh penyusun bahwa teori-teori tentang masalah ini terlalu
banyak dan kompleks karena perkembangan ilmu yang semakin maju, sehingga
agama bisa didekati dengan berbagai metode. Tapi bukanlah tempatnya
disini bagi penyusun untuk membahasnya, mungkin dalam bentuk yang lain,
Insya Allah, penyusun akan menguraikan lebih lanjut. Uraian dimuka
dimaksudkan agar pembaca secara umum mengenal dan memahami Agama, Religi
atau Dien secara mendasar, tidak terlalu ngejelimet ataupun tidak
terlalu dangkal.
Berbagai
macam metode yang dipergunakan untuk memahami agama, dari nilai
historis, arkeologis, psikologis, fisiologis, sosiologis, tipologis
sampai dengan fenomenologis. Berangkat dari berbagai metode pendekatan
inilah yang menimbulkan berbagai persepsi tentang agama.
Enam
agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam,
Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu
melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No.
6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi
sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami
diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama
Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya
termasuk sedikit.
Menurut
Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang
No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam
penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut
oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama
dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan
agama-agama tersebut.
Sebenarnya
tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi
dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena
adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang
pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama
tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa
Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29
Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi
Manusia.
Selain
itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya
akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama
mayoritas.
2.4.2 CARA BERAGAMA
Adapun cara beragama yang berlaku di Indonesia, dan berbagai caranya yaitu:
1. Tradisional,
yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara
beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan
sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal
keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan
tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal
keagamaanya.
2. Formal,
yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di
lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara
beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada
umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika
berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara
beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau
masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan
amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan
nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional,
yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu
mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan
pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang
beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama
sekalipun.
4. Metode Pendahulu,
yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan)
dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati
ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka
selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu
agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari
Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan,
mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
2.4.3 Fungsi Agama
Adapun fungsi dari agama adalah sebagai berikut :
· Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
· Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
· Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
· Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
· Pedoman perasaan keyakinan
· Pedoman keberadaan
· Pengungkapan estetika (keindahan)
· Pedoman rekreasi dan hiburan
· Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.
2.5 HUBUNGAN ANTARA NEGARA DENGAN AGAMA
2.5.1 PENGERTIAN NEGARA
Negara adalah suatuwilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik , militer , ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.Syarat-syarat sebuah negara :
1. memiliki wilayah
2. ada penduduk
3. ada kedaulatan
4. Mendapat pengakuan Negara lain
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatuwilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini.Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakuioleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayahtempat negara itu berada.
Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan
dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga
mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut
sebagai Undang-Undang Dasar .Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis.
Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik , yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian
rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh
rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam
kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya.
Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.
2.5.2 PENGERTIAN NEGARA MENURUT PARA AHLI
•Prof. Farid S.
Negara adalah Suatu wilayah merdeka yang mendapat pengakuan negara lain serta memiliki kedaulatan.
•Georg Jellinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
•Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
•Roelof Krannenburg
Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
•Roger H. Soltau
Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
•Prof. R. Djokosoetono
Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
•Prof. Mr. Soenarko
Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
•Aristoteles
Negara
adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada
akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan
kehormatan bersama.
2.5.3 Asal Mula Terjadinya Negara Berdasarkan fakta sejarah
•Pendudukan (Occupatie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai, kemudian diduduki dan dikuasai. Misalnya, Liberia yang diduduki budak-budak Negro yang dimerdekakan tahun 1847
•Peleburan (Fusi)
Hal ini terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru.Misalnya terbentuknya Federasi Jerman tahun 1871.
•Penyerahan (Cessie)
Hal ini terjadi Ketika suatu Wilayah diserahkan kepada negara lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Misalnya, Wilayah Sleeswijk pada Perang Dunia Idiserahkan oleh Austria kepada Prusia, (Jerman).
•Penaikan (Accesie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan Lumpur Sungai atau dari dasar Laut (Delta). Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah Negara. Misalnya, wilayah Negara Mesir yang terbentuk dari Delta Sungai Nil.
•Pengumuman (Proklamasi)
Hal ini terjadi karena suatu daerah yang pernah menjadi daerah jajahan ditinggalkan begitu saja. Sehingga penduduk daerah tersebut bisa mengumumkan kemerdekaannya. Contahnya, Indonesia yang pernah di tinggalkan Jepang karena pada saat itu jepang dibom oleh Amerika di daerah Hiroshima dan Nagasaki.
2.5.4 KETERKAITAN ANTARA AGAMA DENGAN NEGARA
Agama
dan negara mempunyai kaitan hubungan yang amat rapat. Tapi keduanya
bukan pula seperti lembaga yang satu. Agama ialah `tatacara’ kehidupan
yang dibentuk oleh nilai-nilai mulia tergambar dalam kepercayaan,
perundangan dan etika. Negara pula ialah `ruang’ yang dibentuk oleh alam
sekeliling, manusia dan sejarah kebudayaannya.
Apabila
agama diturunkan, dari perspektif Islam, ia bukan bertujuan bagi
membina negara. Ini kerana negara, semasa agama diturunkan, telah pun
wujud. Menurut Muhamad Natsir dalam bukunya `Agama dan Negara’, apabila
wujud sahaja satu perkumpulan manusia pada sesuatu tempat, secara
langsung terbentuklah negara. Proses ini terjadi secara tabie sejak
zaman berzaman
Bagaimana
kaitan agama dan negara? Agama diturunkan bagi mengukuhkan kewujudan
sesebuah negara. Sebagai satu bentuk ruang, negara memerlukan
aturan-aturan tertentu. Ini bagi memastikan, warga dalam negara tersebut
dapat meneruskan kesinambungan hidup secara harmoni.
Dengan
aturan-aturan khusus, segala khazanah yang dimiliki negara atau warisan
pengentahuan dari sejarah kebudayaannya dapat dimanafaatkan dan
diwariskan secara saksama dan berterusan oleh generasi warganya.
Aturan-aturan yang adil akan menentukan kesinambungan hayat sesebuah
negara. Dalam hubungan ini, agamalah yang menentukan nilai keadilan
dalam aturan tersebut.
Sebagai
satu tatacara yang dipandu oleh pedoman Tuhan, agama mengemukakan
prinsip-prinsip kehidupan yang tetap dan sejagat bagi tujuan mengatur
perjalanan hidup masyarakat manusia. Prinsip aturan tersebut meliputi
meliputi segenap aspek kehidupan warganya.
Bidang
aturannya meliputi tatacara keperibadian manusia dan tatacara kehidupan
sosial meliputi aspek perundangan, ekonomi, politik dan hubungan
antarabangsa. Aturan ini memiliki keunikannya tersendiri kerana ia
dibentuk oleh paksi keyakinan tertinggi akan keluhurannya yang abadi
sejajar dengan statusnya sebagai pedoman dari Ilahi. Pengamalannya pula
dihiasi dengan nilai-nilai akhlak yang mulai dan sejagat untuk
kesesuaian seluruh manusia.
Bagaimanakah
aturan ini dijelmakan? Prinsip-prinsip aturan kehidupan yang dianjurkan
itu seumpama `bahan mentah’. Dalam kata lain, prinsip ajaran agama
tersebut terlebih dahulu perlu melalui proses penyerasiannya dengan
realiti setempat negara. Tanpa proses ini, penjelmaan ini akan menjadi
kaku dan barangkali membawa kepada konflik pula.
Proses
penyerasian di kenal dalam istilah agama sebagai `ijtihad’. Ia adalah
satu kegiatan keilmuan tinggi yang dipertanggungjawabkan kepada para
ahli ilmu dalam sesebuah negara tersebut. Peranan ilmuwan ini ialah
melakukan penjelmaan prinsip-prinsip tetap aturan agama secara harmoni
dalam masyarakat berdasarkan latar sejarah, sensitiviti budaya, adat dan
pantang larang serta nilai-nilai warisan yang dikandung warga negara
tersebut.
Proses
ini memerlukan interaksi yang unik dan dinamik. Paling mustahak ialah
kecerdasan para ilmuwan dalam menentukan langkah-langkah dalam
menjayakan interaksi yang harmoni dalam proses penjelmaan tersebut. Para
ilmuwan yang cerdas akan menentukan keutamaan-keutamaan yang harus
didahulukan serta yang harus ditangguhkan berdasarkan kepada tahap-tahap
perkembangan kesedaran, kefahaman dan kematangan masyarakat terhadap
prinsip-prinsip aturan agama tersebut.
Dalam
konteks negara kita Malaysia, para ilmuwan tidak sahaja harus memahami
secara mendalam tentang prinsip-prinsip kenegaraan tersebut, malah dalam
masa yang sama, menghayati latar sejarah sosio-budaya masyarakat negara
ini yang terbentuk menerusi satu pengalaman kemanusiaan yang panjang.
Sifat
negara ini yang terjajah semenjak 1511 sehingga berakhir pada 1957
telah melahirkan satu warga masyarakat yang rencam dengan kepelbagaian
watak dan budaya yang saling bangkit dan bangun membina jatidiri negara
Malaysia. Kerencaman budaya dan kepercayaan oleh kaum-kaum terbesar
serta etnik yang pelbagai menuntut para ilmuwan bukan sekadar menjadi
seorang pakar agama , tetapi dalam masa yang sama seorang ahli sejarah
dan budayawan.
Dengan
ciri ini, ilmuwan agama akan lebih arif lagi teliti dalam mengungkapkan
persoalan agama supaya ia diterima sebagai satu nilai yang boleh
diterima tidak sahaja oleh orang-orang Islam tetapi juga seluruh rakyat
Malaysia. Agama sebagai satu bentuk rahmat kepada seluruh manusia hanya
mampu terjelma bila mana ia dapat dikongsi penghayatannya oleh seluruh
warga dan bukan oleh kelompok-kelompok tertentu sahaja.
Inilah
cabaran para ilmuwan agama dalam usaha merealisasikan fungsi agama
dalam urusan bernegara. Dengan ketelitian dan sikap cermat dalam
memperjuangkan nasib dan martabat agama oleh para ilmuan, agama akan
ditanggap secara lebih positif dan dapat berperanan dengan lebih
berkesan dalam menyumbang kepada pengukuhan negara.
Adapun
yang berkata bahwa Dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi
faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping
dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah
menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara
bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah
agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama
(pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Pola
hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa
masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa
terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa
cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus
terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan
pribadi, negara untuk urusan publik.
Sejauh
ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan
opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa
memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian
pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi
apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola
hubungan sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat oleh
masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya
jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan
merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur
bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. “Kebaikan bukan soal Barat atau
di Timur, melainkan soal ketakwaan” (Q: Al Baqarah/176).
Tapi
memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam
menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak
umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat.
Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama
bera¬bad abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai
sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan
nyata.
Sementara
itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama,
Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke
ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di
Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan
negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya
masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik.
Mencoba
memahami konteks sekularisme di Barat dan konteks Islam di Timur
mungkin dapat membantu kita keluar dari cara pikir dokotomis yang naif.
Pertama, dalam konteks Barat sekularisme adalah modus penyelesaian
konflik antara otoritas lembaga negara di satu pihak versus otoritas
lembaga agama dalam tubuh Gereja di lain pihak. Dalam Islam, otoritas
keagamaan seperti gereja, lebih lebih gereja abad per¬tengahan yang
monolitik dan sentralistik, tidak diketemukan.
Bukan
tidak ada otoritas sama sekali, akan tetapi dalam mainstream Islam
otoritas itu terdesentrali¬sasi sedemikian rupa pada pribadi pribadi
tokoh (ulama) atau pada organisasi-organisasi keagamaan yang satu sama
lain bisa berbeda fatwa atau bahkan saling menolak. Oleh sebab itu tidak
pernah bisa dikatakan bahwa ada satu masa dalam sejarah Islam dimana
negara (sultan) sepenuhnya berhadapan dengan otoritas agama (ulama);
Juga tidak pernah terjadi sebaliknya, otoritas agama sepenuhnya
ditaklukkan oleh otoritas negara.
Kedua,
dalam konteks Barat abad pertengahan, sekularisme yang berkonotasi
menghukum otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat, memang
beralasan. Pada waktu itu, agama (baca: Gere¬ja) telah menjadi instrumen
dominatif bagi elite politik maupun ekonomi untuk mempertahankan
previlagenya. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan watak
profetiknya sebagai pembela masyarakat, khususnya petani dan buruh yang
tertindas.
Jujur
saja, dosa-dosa agama (gereja) yang terjadi di Barat tersebut juga
terdapat dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal penting yang
membedakan. Dalam Islam, seperti dikatakan di atas, tidak ada otoritas
tunggal yang telah memainkan dosa dosa itu secara utuh dan terpusat.
Pada saat seba¬gian ulama Islam berkolusi dengan penguasa, mayoritas
ulama tetap setia hidup di tengah tengah dan bersama rakyat. Di antara
mereka ada yang sekadar apatis (uzlah) dari politik kekuasaan, sebagian
terus melancarkan kritik, bahkan beberapa dengan tinda¬kan, gerakan.
Ketiga,
dalam konteks kelahiran negara modern, ada juga fakta yang tidak boleh
dilupakan. Di Barat negara modern lahir dari atau bebarengan dengan
gerakan pemakzulan terhadap otoritas agama (gereja). Di Timur, di dunia
Islam termasuk Indone¬sia, negara modern lahir justru dari semangat
heroisme keagamaan (kesyahidan) untuk memerdekaan bangsanya dari tirani
penjajahan, yang nota bene adalah Barat.
Itulah
sebabnya hubungan agama negara dalam abad modern di Timur umumnya dan
di dunia Islam khususnya, tidak bisa begitu saja diacukan kepada
pengalaman Barat dan dipecahkan dengan resep Barat, sekularisme itu.
Tapi jangan salah. Dengan mengatakan begitu bukan berarti sekularisme
musti kita tolak mentah dan kita kembali ke teokratisme, seperti usul
kaum revivalis-fundamentalis. Kita tahu bahwa dalam teokratisme, secara
formal negara ditaklukkan pada kepentingan agama, padahal kenyataannya
ia ditaklukkan pada kepentingan elitenya belaka.
Dengan
demikian, mematrik negara hanya dalam kolom sekularis atau teokratis,
kiranya terlalu menyederhanakan masalah. Lebih-lebih dalam konteks
Islam, hubungan agama negara terlalu komopleks untuk dilihat secara
hitam putih begitu saja. Disamping karena faktor kesejarahan yang
berbeda dengan Barat, dalam konteks ajaran (normatif) mengkotakkan agama
hanya pada ruang privat dan negara pada urusan publik juga mengandung
mafsadah tersendiri.
Bahkan
di Barat pun sekularisme yang secara ketat memenjarakan agama di ruang
privat sudah dikritik. Sikap cuci tangan agama terhadap derita
kemanusiaan yang terjadi di ruang publik akibat kesewenang-wenangan
negara (state) secara moral jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Telah muncul opsi baru yang oleh Jose Casanova disebut deprivatisasi
agama. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin maupun Political
Theology di Eropa bagaimana pun merupakan refleksi dari kritik tersebut.
Jika
di Barat sendiri sekularisme mulai dipersoalkan, maka bagaimana dalam
Islam? Dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan
beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara
yang berbeda.
Pertama,
ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan (akidah) kepada
Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Keyaki¬nan keyakinan seperti ini
adalah perkara yang benar benar pribadi; apa yang diyakini sesama
muslim tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin bisa
diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara
bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak
punya kemampuan apa pun untuk menjangkaunya.
Kedua,
ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal
peribadatan (doa, salat, pusa, haji dan yang terkait dengannya). Masuk
dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (al ahwal al
syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak borhak mengerahkan polisi
untuk, misalnya, memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan
intervensi negara atau pemerintah yang selama ini terjadi dalam urusan
penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu perni¬kahan, adalah
salah kaprah yang perlu segera diakhiri.
Ketiga,
ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya ajaran ajaran
Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah
(etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Pada tingkat ajaran
kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansiasi
hukum agama terhadap hukum negara.
Tidak
bisa dikatakan bahwa dalam negara kebangsaan hukum agama haram ikut
memperkaya bangunan hukum publik dari negara yang bersangkutan.
Jangankah hukum agama yang dianut oleh masyarakat di negeri itu; hukum
warisan penjajah yang telah memeras kita ratusan tahun dan kita usir
dengan darah para syuhada pun bisa diusung menjadi hukum di negeri kita.
Akan
tetapi kita semua harus menyadari bahwa sesuci dan sekuat apa pun
tawaran-tawaran hukum (syariat) keagamaan tersebut tidak dapat
diberlakukan begitu saja sebagai hukum positif. Dalam konteks negara
kebangsaan hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun,
baru merupakan bahan mentah (row material) seperti halnya hukum adat
(adat manapun) atau hukum hukum yang dicomot dari bangsa lain.
Untuk
bisa menjadi bagian dari hukum publik, maka hukum-hukum tersbut harus
memenuhi dua syarat. Pertama, syarat substansial menyangkut isi hukum
yang harus beroreintasi pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan
kelompok tertentu. Kedua, syarat prosedural artinya hukum itu dapat
meyakinkan nalar publik untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum
secara demokratis yang juga disepakati oleh publik. Hukum apapun yang
memenuhi kedua syarat ini berhak mengisi bangunan hukum positif dan
perundang-undangan suatau negara. Tidak terkecuali hukum yang berbasis
agama.
Bahkan
untuk negara modern yang kini telah menjadi semakin repressif,
koruptif, ekploitatif dan tidak perduli dengan nasib masyarakat lemah,
maka kontribusi agama-agama dengan kekayaan nilai-nilai etik dan
moralnya sangatlah diperlukan. Kita butuh sekali kontribusi etika sosial
Kristiani dengan basis kasih-nya terutama bagi mereka yang
terpinggirkan. Kita butuh sentuhan etika Hinduisme dengan semangat
ahimsa (non-violence)-nya; etika Budhis dengan etos kesederhanaannya;
dan etika Islam dengan spirit keadilan-nya. Juga dari agama-agama lain.
Oleh
sebab itu, tidak ada manfaat apa pun bagi umat Islam untuk meributkan
nasib 7 kata yang terbuang, kecuali sekedar untuk trik-trik politik
belaka. Jika memang sungguh-sungguh ingin memberikan kontribusi kepada
negara yakinkanlah nalar publik bangsa ini bahwa syariat agama yang
mereka yakini dapat lebih menjamin pemenuhan hak dan kemaslahatan rakyat
banyak, apa pun agama, suku, etniknya; bukan hanya untuk kepentingan
kelompok sendiri semata.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Identitas nasional adalah lambang
yang merupakan ciri dari bangsa tersebut, lambang biasanya terkait
dengan mitos, kepercayaan, dinamika, karakter bangsa dalam menyongsong
masa depan, dan semangat juang serta cita-cita.
Kewarganegaraan adalah keanggotaan
seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus yaitu negara)
yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatain politik.
Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Negara merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik , militer , ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Agama yaitu sistem
yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.
Dan hubungan antara Negara dengan Agama yaitu Agama
diturunkan bagi mengukuhkan kewujudan sesebuah negara. Sebagai satu
bentuk ruang, negara memerlukan aturan-aturan tertentu. Ini bagi
memastikan, warga dalam negara tersebut dapat meneruskan kesinambungan
hidup secara harmoni.
DAFTAR PUSTAKA
buku pendidikan dan kewarganegaraan kelas VIII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar